Dua minggu telah berlalu ketika Andra dan Dion mulai berseteru karena diriku. Akhirnya aku mendapat kabar dari Andra bahwa mereka sudah mulai akur lagi. "Yum, Dito balik lagi ke kamar nih!" kata Andra melalui pesan WhatsApp yang dia kirimkan.
"Wah, syukur deh. Berarti kalian sudah berdamai dong?" tanyaku mencoba memastikan.
"Belum damai sepenuhnya sih. Tapi setidaknya sudah ada perkembanganlah. Aku pun tidak ingin berbicara dulu dengannya. Aku menunggu dia yang berbicara dulu padaku. Karena memang dialah yang harus meminta maaf kepadaku atas apa yang telah dia lakukan tempo hari," tegas Andra.
"Iya terserah kalian saja. Aku hanya berdoa agar Kamu dan Dion bisa akrab lagi seperti dulu," harapku.
"Iya, semoga saja. Aku sih tidak menaruh dendam padanya. Hanya saja Aku mau dia introspeksi diri, menyadari semua kesalahan yang selama ini dia lakukan kepadaku, kepadamu juga, bahkan kepada Nada," jelasnya.
***
Matahari sudah mulai terik, Aku bersiap untuk menuju ke kampus. Sementara Nada sudah pulang dan baru saja masuk ke kamar dengan wajah penuh dengan senyuman. "Wah, ada apa nih. Kok sepertinya Kamu lagi bahagia sekali," ucapku.
"Iya dong! Gimana enggak bahagia. Dion mengantarku pulang hari ini. Terus tidak hanya itu. Dia bahlan mengajakku makan siang. Entah ada angin apa dia traktir Aku makan segala," ungkap Nada.
"Ciyeee ... akhirnya! Selamat ya, Nad. Usaha dan sabarmu akhirnya membuahkan hasil juga," kataku turut berbahagia mendengarkan cerita Nada.
"Terima kasih juga, Yum. Berkat Kamu yang selalu menyemangatiku, akhirnya Aku mampu sampai pada posisi saat ini," ujar Nada.
"Sama-sama, Nad. Yang penting Kamu bahagia, Aku pun akan ikut bahagia untuknya," ungkapku.
Mendengar semua cerita bahagia Nada, aku pun menceritakannya pada Andra. Dia ikut senang mendengarnya. Dan dia yakin bahwa tidak lama lagi, Dion pun akan bercerita tentang hubungannya dengan Nada.
Benar saja, malam setelah aku bercerita padanya, Dion pun mengatakan bahwa dia sudah mulai move on dariku dan mencoba benar-benar mendekati Nada. "Halo, sudah tidur?" tanya Andra di telepon.
"Belum nih, masih ngerjain tugas. Ada apa?" tanyaku kembali padanya.
"Tau enggak? Dion sepertinya sudah mulai mendekati Nada lagi tuh," ceritanya.
"Sudah tahu kok, tadi siang Nada sempat cerita. Balik dari kampus, dia senyum-senyum terus. Aku tanya, eh ternyata habis dianterin Dion pulang katanya," jelasku.
"Syukur deh kalau sudah tahu. Aku pikir Kamu belum tahu. Kalau Kamu sudah tahukan setidaknya Kamu mulai sedikit tenang," ungkap Andra.
"Iya, Alhamdulillah. Aku senang mendengar kabar itu langsung dari Nada. Akhirnya kesabaran kita semua membuahkan hasil ya. Jadi tidak perlu lagi sungkan atau merasa tidak enak lagi dengan mereka," kataku.
"Iya, Kamu benar. Oh iya, besok Aku ada janji ketemuan sama Sintia. Kau mau gabung?" ajak Andra.
"Wah, sayang sekali. Besok Aku ada perlu nih sama anak-anak organsasi. Ada rapat persiapan seminar nasional. Nah, berhubung Aku menjadi salah satu panitia inti, jadi Aku harus ikut. Maaf ya," jawabku.
"Oke, enggak masalah. Besok biar Aku sendiri saja. Paling nanti Sintia juga sama manajernya kan?" ungkap Andra.
"Iya, paling Sintia nanti ditemenin Indri, manajer dia satunya. Good luck ya untuk pekerjaannya. Semoga lancar dan sukses." Aku mencoba menyemangati Andra.
"Besok mau Aku antar ke kampus?" tanya Andra yang ingin mengantarku besok pagi.
"Apa tidak merepotkan?" jawabku malu-malu tapi sebenarnya sangat berharap dia tetap mengantarku.
"Enggaklah, ngapain repot. Demi Kamu mah mana ada yang dirasa merepotkan," jawab Andra.
"Kalau memang tidak merepotkan, dengan senang hati Aku mau diantar sama Kamu. Duh, tapi Aku harus siap mental dulu nih kayaknya," ungkapku.
"Siap mental kenapa memangnya?" tanya Andra merasa penasaran.
"Ya siap mental. Soalnya kemarin saja Aku diledekin anak-anak kelas sebegitunya, gara-gara tahu Aku dianterin cowok sekaligus dikasih bunga mawar. Mereka enggak nyangka karena Aku yang biasanya pacaran sama buku ini, pacaran dengan manusia juga." Aku menceritakan kejadian hari itu kepada Andra.
"Hahaha ... malah bagus dong. Padahal belum pacaran beneran ya. Syukurlah, anak-anak sudah tahu bahwa Ayumi sudah ada yang punya. Jadi yang mau mendekatimu pun harus berpikir dua kali," ledek Andra.
"Kamu bisa saja! Ya sudah, sampai bertemu besok ya. Besok Aku masakin sarapan deh, sebagai ganti ongkos ojeknya," candaku.
"Senang sih dapat sarapan gratis yang dimasak khusus dari orang tersayang. Tapi masak dianggap sebagai pengganti ongkos ojek sih. Kan Aku bukan abang-abang ojol, Neng." Andra merasa keberatan.
"Bercanda, Sayang!" balasku.
"Asyik, dipanggil sayang! Sering-sering ya, Yum," pinta Andra merasa kegirangan karna kupanggil sayang.
"Wani piro (berani berapa)?" candaku lagi.
"Wani dadi bojomu (berani menjadi suamimu)," balas Andra. Mendengar itu pipiku menjadi merah merona. Andra selalu membuatku malu dengan rayuan dan candaannya yang selalu ringan namun tetap berarti bagiku. Dia sering bercanda, namun selalu berkomitmen dalam semua hal. Terlebih komitmen atas hubungan dan perasaannya untukku.
***
"Yum, Sintia berani juga ya," ucap Andra setelah siang tadi melakukan pemotretan dengan Sintia.
"Ya begitu deh. Baru-baru saja sih dia seperti itu. Dulu-dulu dia sering menolak kalau ada tawaran endorse pakaian yang seksi-seksi begitu," jelasku.
"Oh begitu. Aku saja agak kikuk tadi pas ambil foto dia," terang Andra.
"Deg-degan ya Kamu? Jangan-jangan Kamu keasyikan lagi. Wah parah nih, enggak profesional. Masak tergoda dengan model sendiri," ejekku.
"Hus … ngawur kamu! Kan Aku cuma tanya saja. Kamu juga sih, kenapa dari awal enggak cerita sih?" ungkap Andra sedikit keberatan.
"Aku pikir Kamu enggak masalah. Karena Kamu kan juga sempat melihat foto-foto dia di media sosial miliknya." Aku menjelaskan alasanku kenapa tidak memberitahunya sebelumnya.
"Berhubung dia temanmu sendiri sih enggak masalah. Asal Kamu enggak curiga bahkan cemburu saja ya nanti kalau melihat Aku bekerja dengannya secara langsung," pinta Andra.
"Iyalah, pasti! Aku mah percaya sama Kamu. Makannya dari awal setelah tahu kalau Kamu punya hobi fotografi dan kemampuanmu bagus di bidang itu, Aku langsung merekomendasikanmu pada Sintia," terangku.
"Bagus … bagus …," balas Andra sambil mengacungkan jempolnya ke arahku.
"Tapi Kamu tahan iman, kan?" Aku meledeknya lagi.
"InsyaAllah … selama ini sih tahan uji," kata Andra.
"Eh lihat ke arah sana deh! Bukannya itu Nada dan Dion ya?" Kuarahkan jari telunjukku ke arah kursi pojok di kafe Mawar, tempat aku dan Andra menyantap makan malam.
"Iya, itu mereka. Wah, makin nempel saja mereka," kata Andra.
"Iya ih, yuk kita samperin! ajakku.
"Ogah ah, orang Aku sama Dion saja belum begitu banyak ngobrol. Masih agak canggung gitu," ungkap Andra merasa keberatan.
"Makannya itu, biar kalian akrab lagi," ajakku. Aku menarik tangan Andra yang masih mencoba menahan diri untuk tetap berada di tempat duduknya saat itu.