Chereads / Heartbeat Symphony / Chapter 4 - Mencari Jejak Si Gadis

Chapter 4 - Mencari Jejak Si Gadis

Keesokan harinya ...

Evan sudah bersiap jalan-jalan pagi. Dia memutuskan untuk sejenak berkeliling daerah tempat tinggalnya, sebelum esok hari memulai meeting dengan client barunya yang ada di kota tersebut.

Evan sengaja tak membangunkan Angga, karena dia masih merasa kesal kepadanya. Lebih penting daripada itu, Evan malah berniat untuk mencari gadis yang bernama Lia. Dasarnya memang memiliki gengsi yang agak tinggi, apapun yang sudah diucapkan kepada Angga tentu saja akan dilaksanakan bagaimana juga caranya.

Berbekal sapu tangan dan nama yang diketahui, Evan menyusuri sepanjang jalan dan memulai pencariannya. Tak lupa, dia juga mengenakan masker sesuai saran dari gadis yang bernama Lia itu.

Tempat yang pertama kali didatangi Evan adalah lokasi dimana dirinya bertemu dengan Lia untuk pertama kali. Lebih tepatnya, saat Lia memberikan sapu tangan padanya. Mungkin karena waktu masih terlalu pagi, ruko-ruko yang berjajar di sana masih tutup. Merasa sia-sia jika memaksakan diri, iapun memutuskan untuk mencari pedagang makanan untuk sarapan lebih dahulu.

---

Stevan Harshil Hemachandra adalah CEO muda dari perusahaan turun temurun milik keluarga; yakni, PT Galaxy Hemachandra yang bergerak di bidang retail. Tak terbayangkan betapa kaya dan makmur kehidupannya, bukan?

Namun meskipun begitu, Evan bukanlah pribadi yang jumawa meskipun memiliki jabatan tertinggi atau lahir dari keluarga berada. Sifat baiknya itu berasal dari almarhum sang kakek dari garis Papa yang semenjak kecil merawatnya.

Bila dibandingkan dengan saudaranya, sifat pemuda sangatlah jauh berbeda dengan kakak-kakaknya yang lebih condong mirip dengan sang Mama. Mereka memang memiliki pribadi yang baik, namun agaknya terlihat lebih sering memikirkan perbedaan status diantara sesama. Maklum saja, Mama Evan tak pernah sekalipun hidup menginjakkan kakinya di tanah karena terlahir layaknya seorang putri yang tak pernah merasa kekurangan sama sekali.

Evan tak sungkan untuk makan di pedagang kaki lima seperti saat sekarang ini. Malah, hatinya merasa senang karena bisa berbincang banyak dengan pedagang dan beberapa orang yang ditemuinya.

Mungkin, hal itu adalah salah satu bentuk pelampiasan kepenatan dari keseharian pemuda itu yang terus berkutat dengan pekerjaan dan hingar bingar kehidupan metropolitan. Kesederhanaan semacam itu, sedikit banyak selalu bisa mengingatkan Evan untuk bersyukur.

Itulah pribadi Evan yang sesungguhnya. Namun, agaknya banyak yang tertipu hanya karena melihat visualnya saja. Evan tampan, dengan bentuk rahang yang begitu tegas dan memilki kulit putih bersih. Ditambah lagi, alis lebat dan bulu mata amat lentik yang sukses mengukuhkan kepribadian kuat.

Hingga bila dipandang dengan sekilas, orang yang melihat akan terpana namun juga segan. Karena kontur wajahnya, dengan serta merta menyiratkan kewibawaan yang mendalam bagai seorang raja.

---

"Sebentar lagi, Mas. Di sini, kalau buka ruko pada pagi-pagi sekali. Kalau kesiangan, takut rezekinya di patok ayam," terang si Bapak penjual Bubur Ayam yang kini duduk di samping Evan untuk menemaninya makan setelah selesai melayani pembeli yang lain.

"Saya kagum dengan etos kerjanya, Pak."

"Hehe biar dapur terus ngepul, Mas. Oh ya, sampeyan bukan orang sini, ya? Logat-logatnya seperti orang Jakarta?"

"Iya benar, Pak. Saya dari Jakarta."

"Wahh, tenan orang Ibukota. Sampeyan itu ganteng, bikin segan kalau mau ngobrol lho. Tapi ternyata ramah," puji si Bapak tukang bubur yang hanya dibalas senyum oleh Evan.

Selesai mengenyangkan perut, Evan memutuskan untuk sejenak berjalan-jalan santai mengelilingi tempat itu. Tak lupa, diapun kembali mengenakan maskernya untuk berjaga-jaga. Untung saja alergi serbuk bunga yang dialami Evan masih dalam kategori ringan. Sehingga, sehari setelah minum obat dan istirahat dengan cukup dan benar, dia sudah merasa lebih baik.

Saat sedang asik berkeliling dan sesekali memotret objek yang diinginkan, dering telpon mengalihkan perhatiannya.

Angga Bangke. Begitulah nama kontak yang tertera. Evan mengerlingkan mata karena malas, namun sebagai teman yang baik, dia menerima panggilan itu.

"HEH! PERGI KEMANA WAHAI TUAN STEVAN HARSHIL? TEGA SEKALI ANDA MENINGGALKAN SAYA SENDIRIAN DI RUMAH DENGAN KONDISI KELAPARAN SEPERTI INI!"

Suara itu melengking dan nyaris membuat telinga Evan tuli saking kerasnya. Dengan sengaja, dia menjauhkan ponselnya agar tak merusak pendengaran. Mengetahui tak ada suara lagi, Evan menjawab dengan tenang.

"Ini masih terlalu pagi, tolong kecilkan suaramu, wahai Tuan Erlangga Rahagi Sialan." Dengan tenang namun menusuk, Evan berkata demikian yang seketika membuat muntab sang sahabat.

"KENAPA NGGAK BANGUNIN GUE , SIH? WAH ... ANJIR LO YA, VAN!"

"Bisa kecilin nggak suaranya? Itu di kulkas ada Piesta Ready Meal yang bisa di makan. Tinggal panasin aja di Microwive."

"LO SARAPAN APA GUE TANYA?"

"Bubur ayam." Dengan enteng Evan menjawab demikian. Dia memang sengaja supaya Angga menjadi lebih kesal.

"NAH KAN, LO ... LO WAH, EVAN ... TEGA LO YA! MASA LO DOANG YANG MAKAN BUBUR AYAM?!"

"Ya emang kenapa kalo aku doang yang makan? Udah ah. Nggak usah manja, jijik tauk! Jangan hubungi aku kalo nggak penting. Aku lagi cari cewek yang namanya Lia. Bye!"

Belum sempat Angga memprotes, Evan sudah mematikan sambungan telpon tersebut. Dia tertawa geli karena sudah sukses mengerjai sahabatnya lagi. Evan bisa membayangkan betapa jelek wajah Angga saat berhasil kena usil olehnya. Dan … dia sangat puas karena sudah bisa membalas kekesalan kepada sahabatnya itu!

Tak berapa lama, ruko-ruko itu mulai buka satu per satu. Meskipun tidak yakin dengan pasti, tapi Evan yakin jika gadis yang bernama Lia itu menghampirinya dari arah kios-kios bunga itu. Tapi, dia tidak tahu kios mana yang harus dia interogasi lebih dahulu.

Setelah menunggu beberapa saat, Evan mendekat ke salah satu ruko dan berbincang singkat dengan sang pemilik. Untung saja dia sudah memakai masker, sehingga serbuk bunga yang mungkin sudah berterbangan di udara tak berhasil mengusik hidungnya lagi.

---

"Lia?"

"Iya, Bu. Namanya Lia. Yang mempunyai usaha bunga potong."

"Ohhh Lia, iya-iya tahu. Kemarin memang baru saja antar bunga kemari. Kebetulan hari ini saya juga pesan lagi. Barangkali sebentar lagi datang," kata si Ibu yang seketika membuat hati Evan merasa senang.

Akhirnya, dia memutuskan untuk duduk menunggu gadis yang bernama Lia itu di bangku panjang yang tak jauh dari kios milik sang Ibu. Lalu tak berselang lama, datanglah seorang gadis yang mengantar bunga.

Evan bertanya-tanya dalam hati, gadis itukah yang bernama Lia? Dan pertanyaan yang mengudara dalam pikiran, seketika terjawab saat sang gadis berjalan mendekat ke arahnya setelah mendapat bisikan entah apa dari sang Ibu kios. Evan reflek berdiri dari duduknya untuk menyambut sang gadis. Namun dia belum membuka maskernya.

"Kata Bu Ninis, Anda nyari saya ya? Memangnya anda siapa?" tanpa sang gadis tanpa basa-basi yang sontak saja membuat Evan terkejut.

Entah mengapa, dia merasakan sesuatu yang berbeda dari gadis yang ada di depannya. Namun perasaan itu tertutup seketika oleh rasa senang karena telah berhasil menemukan gadis yang bernama Lia.

"Oh, apa benar Anda yang bernama Lia?" tanya Evan ramah.

"Eh, kok tau namaku?" kini sang gadis merubah dialeknya menjadi non formal.

Sebelum menjawab pertanyaan itu, Evan sengaja melepas maskernya agar lebih nyaman. Dan dengan maksud agar sang gadis tak merasa risih berbincang dengannya.

Seketika mulut sang gadis yang katanya bernama Lia itu, menganga lebar saat melihat wajah Evan secara keseluruhan. Mendadak kakinya terasa lemas. Karena, baru seumur hidup dia menyaksikan sosok pahatan sempurna yang begitu menyilaukan mata.

"Astaga, Malaikat ..." gumam sang gadis tak jelas, sambil menutup mulutnya karena tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Perkenalkan, saya Evan. Kau benar yang bernama Lia, bukan?"

Jiwa sang gadis belum sepenuhnya terkumpul, sehingga sama sekali tak mendengar pertanyaan yang disampaikan oleh Evan. Dan karena tak mendapatkan respon, Evan menggerak-gerakan tangannya di hadapan sang gadis. Berharap, apa yang dilakukan bisa membuatnya kembali tersadar.

"Eh, ummm ... iya, iya benar. Na-namku, namaku Lia." Tergagap sang gadis menjawab.

"Ah, senang sekali akhirnya bisa bertemu lagi. Saya sengaja menunggu di sini, untuk mengembalikan sapu tangan yang Anda berikan kemarin."

Penjelasan dari Evan seketika saja membuat kening sang gadis berkerut. 'Sapu tangan?' gumanya dalam hati.

"Mungkin, jika tidak ada Anda ... Saya akan sangat menderita kemarin," sambung Evan lagi yang semakin menambah kebingungan sang gadis.

"Oh maaf. Mungkin saya terlalu banyak bicara sehingga membuatmu merasa bingung. Ini sapu tangannya, sudah dicuci dengan bersih. Terima kasih, ya."

Evan mengulurkan benda itu, yang diterima dengan tangan ragu-ragu oleh sang gadis. Dan seketika saja mata sang gadis membulat saat melihat benda itu. Lalu anehnya, sebuah senyum yang tak bisa ditebak maknanya, terlukis di bibirnya. Dan pada detik berikutnya, sorot matanya telah berubah menjadi lebih berbinar. Tidak ada kebingungan atau apapun lagi.

"Ah, iya. Salam kenal Evan. Kau benar, aku Lia. Pemilik dari sapu tangan ini."

"Ahhh, syukurlah. Jadi Anda benar-benar gadis yang saya cari." Nampak lega, Evan kembali melempar senyum yang seketika membuat si gadis bernama Lia itu mati gaya.

"Oh hehe, iyaaa. Nggak nyangka ya bisa ketemu lagi, hehe," sahut sang gadis sedikit gugup.

"Heheh, emmm ... apakah Anda sedang sibuk?"

"Oh eh ... tidak. Aku eh saya udah selesai anter bunga."

"Wah, jadi benar Anda ini gadis pengantar bunga. Sangat menarik. Kalau begitu, bolehkah kita mengobrol lebih lama?"

***