"Semuanya udah siap, Ngga?"
"Udah. Lebih baik kita berangkat sekarang aja."
Pagi itu, Evan dan Angga bersiap untuk menemui seorang calon rekanan, guna membahas tentang suatu rencana kerjasama. Saat keduanya sudah berada di dalam mobil, dering telpon milik Evan memecah keheningan di antara mereka. Raut wajahnya seketika berubah ketika mengetahui nama dari sang penelpon dari layar ponselnya.
Angga yang melihat perubahan itu, seketika saja jadi mengerti terkait siapa gerangan yang langsung bisa merubah mimik wajah sahabatnya itu. Kali ini, dia tak memberikan komentar apapun dan lebih memilih untuk fokus menyetir.
Suara khas Jhonatan sang Papa mulai terdengar di telinga Evan. Dia menyampaikan ini dan itu terkait tugas yang harus dikerjakan olehnya. Dan tanpa pernah lupa, dia juga berpesan untuk menjaga citra baik perusahaan saat berhadapan dengan rekanannya nanti. Lebih dari lima menit, Evan mendengar nasihat-nasihat dari sang Papa terkait masalah pekerjaan. Namun baginya, hal tersebut jauh lebih baik daripada harus membahas tentang Berlin.
Semula Evan berpikir jika Papanya hanya akan membahas soal pekerjaan saja. Namun dugaannya meleset. Karena, begitu selesai menyampaikan banyak hal yang berkaitan dengan teknis perusahaan, Jhonatan kembali menanyakan soal Berlin kepadanya.
"Sudah, Pa. Tenang saja. Lagipula, Berlin juga pasti sedang sibuk. Aku tidak ingin mengganggunya," sahut Evan dengan nada sedikit malas.
"Setelah pekerjaanmu di sana selesai, segera pulang. Kita akan bahas waktu yang tepat untuk melamar Berlin." Jhonatan—Papa Evan terdengar antusias ketika membicarakan tentang perjodohan itu, sementara Evan hanya bisa menghela napas dalam diam karena dia kembali merasa mual ketika mendengar agenda tersebut digaungkan oleh sang Papa.
Evan hanya menjawab dengan menggumam saja, tanpa mau memberikan tanggapan apapun. Dia mulai merasa tak sabar dan ingin segera mengakhiri panggilan tersebut. Namun, Jhonatan sang Papa agaknya masih ingin terus membahas soal perjodohan itu.
"Nanti kita sambung lagi, Pa. Aku sudah hampir sampai di lokasi client." Setelah berkata demikian, Evan menutup telpon tanpa menunggu persetujuan dari Jhonatan.
Sejenak dia memejamkan mata, lalu menghembuskan napas pelan untuk membuat tubuh dan pikirannya menjadi lebih rileks. Padahal, pagi itu Evan sudah benar-benar siap untuk bertemu dengan calon rekanan baru. Namun, setelah menerima panggilan dari sang Papa, semua mood baik dan antusiasme yang sudah terbangun sejak pagi, runtuh seketika.
"Om Jho bener-bener nggak bisa liat sikon, ya." Setelah selama itu diam, akhirnya Angga memberikan tanggapannya. Karena, sedikit banyak mendengar percakapan yang dilakukan Ayah dan anak tersebut.
"Biarlah, Ngga. Mending nggak usah bahas itu lagi. Capek."
"Kayanya kita memang harus cepet-cepet selesaikan pekerjaan di sini, lalu pulang supaya kamu bisa bicarakan hal tersebut dengan Berlin. Jujur, aku juga kasian padanya."
Evan tak memberikan tanggapan. Dia memilih diam, lalu memejamkannya untuk kembali berusaha menenangkan pikirannya yang mendadak kacau.
"Van, kalau dipikir-pikir lagi, sikap Om Jho memang sudah berlebihan. Ini sih cuman pendapatku aja ya, kayaknya ... alasan Om Jho keukeuh banget pengin jodohin kamu sama Berlin, nggak hanya soal perusahaan aja."
Nampaknya, apa yang dikatakan Angga menarik perhatian Evan. Dia membuka mata, lalu menoleh ke arah sang sahabat dengan raut wajah bingung.
"Maksudmu ... ada alasan lain?" tanyanya.
"Iya. Kalo hanya tentang memajukan perusahaan, kayaknya kurang kuat. Seperti yang udah pernah aku bilang ke kamu, kalau posisi Galaxy itu udah kuat, Van. Bahkan masih banyak potensi yang bisa digali kalo mau semakin maju. Dan Om Jho udah pasti taulah. Ya kerjasama sama Sahasika Jayafood milik orangtua Berlin itu bagus juga, tapi aku pikir bukan hanya itu alasannya."
Evan kembali terdiam karena merenung serta mencerna apa yang Angga katakan. Selama ini dirinya hanya fokus memikirkan betapa menyebalkan acara perjodohan itu dan menginginkan hal tersebut tak akan terjadi sama sekali. Namun kali ini, agaknya dia sedikit mendapatkan pencerahan dari penjelasan sang sahabat.
"Nanti bakal aku bantu, Van," ucap Angga lagi untuk membesarkan hati sahabat sekaligus atasannya itu. "Sekarang, kita fokus sama meeting hari ini dengan client baru. Semoga mereka jadi kerjasama sama kita."
Angga menepuk pundak Evan sebagai bentuk untuk memberikan dukungan, lalu kembali fokus menyetir agar bisa segera sampai ke tempat tujuan.
***
Tujuan utama Evan selaku CEO dari PT Galaxy Hemachandra adalah untuk menemui salah satu orang paling berpengaruh di daerah yang mendapatkan julukan kota bunga tersebut. Mereka hendak melangsungkan pembicaraan mengenai rencana kerjasama pembangunan supermarket beratas nama Galaxy Mart.
Jika nantinya dapat tercapai kesepakatan di antara kedua belah pihak, maka rencana itu akan segera terealisasi. Karena misi itulah Evan dan Angga akan tinggal beberapa waktu di daerah tersebut, hingga berhasil menemukan sebuah kesepakatan antara Galaxy dan pihak yang hendak bekerjasama dengan mereka.
Kota yang menjadi target mereka mendapatkan julukan kota bunga. Karena, mayoritas penduduknya adalah petani yang mengelola kebun bunga botong maupun bunga hias. Selain itu, mereka juga menjadi pemasok utama bunga potong ke daerah-daerah di sekitarnya bahkan hingga keluar pulau.
Berdasarkan hasil survey dan pengamatan yang dilakukan oleh Tim Riset milik Evan, kota tersebut termasuk kota yang bisa dibilang cukup maju. Meskipun sebatas kota kabupaten saja, tapi roda perekonomian terbilang bagus sehingga membuka sebuah peluang bagi Tim Evan untuk membangun sebuah supermarket yang jauh lebih bagus dan modern.
Melihat kesempatan itu, Evan tak mau menyia-nyiakannya dan langsung membuat suatu rancangan program kerja untuk projek tersebut. Setelah mendapatkan persetujuan dari sang Papa, dia langsung bergerak menghubungi orang yang berpengaruh di kota tersebut untuk menawarkan rencananya.
---
Meeting berlangsung dari pagi hingga menjelang siang dan berjalan lancar tanpa ada kendala sama sekali. Meskipun Evan belum mendapatkan jawaban Yes atau No terkait kerjasama yang dia ajukan, tapi paling tidak, rancangan tentang projeknya sudah tuntas disampaikan dengan cukup detil.
Tentu baik Evan maupun Angga sebagai seorang dari pihak Galaxy memiliki harapan besar bahwa kerjasama itu dapat berlangsung. Setelah pembahasan itu selesai, mereka melakukan santap siang bersama di salah satu restoran terkenal yang ada di daerah tersebut. Dan kegiatan pertemuan pada hari itu ditutup dengan pamitnya sang CEO dan asistennya.
---
Selama perjalanan pulang, baik Evan maupun Angga sama sekali tidak terlibat pembicaraan. Evan memilih beristirahat sementara Angga fokus menyetir.
"Ngomong-ngomong tentang cewek ya kata kamu namanya Lia itu, apa udah ada foto profilnya?"
Seketika saja Evan membuka mata begitu nama itu disebut. Jujur saja, dia memang sedikit sanksi jika Angga berbohong padanya. Terlihat dari betapa kerasnya sang sahabat ingin membuktikan bawa dirinya sama sekali tak berbohong tentang sosok Lia yang ditemui. Selain itu, sumpah demi apapun terlontar dari sang sahabat supaya dirinya percaya dengan apa yang dia katakan.
"Bentar, aku cek."
"Eh, nanti ajalah, Van. Silakan kalo mau istirahat dulu, kita bahas nanti aja," sahut Angga segera, yang membuat Evan kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku.
"Oh ya, setelah ini mau kemana? Langsung pulang, Van?"
"Pulang aja, Ngga. Rasanya capek deh, hidungku juga mulai nggak nyaman."
"Oke kalau gitu. Tapi mampir minimarket sebentar, ya."
Evan mengangguk mengiyakan ajakan tersebut, lalu kembali melanjutkan istirahatnya.
***
"Jadi gimana, Van? Ada fotonya nggak?"
Evan dan Angga sedang duduk di teras belakang sambil menikmati jus dan beberapa snack yang tadi dibeli.
"Bentar." Evan meraih ponsel yang ada di atas meja, lalu membuka kontak si gadis yang bernama Lia. "Oh udah ada, Ngga," katanya sambil menyodorkan ponsel itu kepada Evan.
"Waaaahhhh ... ini Lia siapa, Van? Bukan deh, ini bukan Lia si cewek yang nemenin kamu pas bersin-bersin." Dengan sepenuh yakin, Angga berkata demikian. Apalagi dia juga ikut mengeluarkan ponselnya untuk menunjukkan foto Lia yang sesungguhnya.
"Ini Lia yang asli, Van." Angga menyodorkan ponselnya kepada Evan.
Sejenak, pemuda itu memandangi foto si gadis berkulit putih itu. Jika benar dia adalah Lia yang asli, lalu siapa sebenarnya Lia yang dia temui? Apakah Evan sudah kena tipu?
"Fix kamu kena tipu," ucap Angga penuh keyakinan sambil mengambil kembali ponselnya yang berada di tangan Evan. "Secara nih ya, penampilanmu itu menunjukkan siapa kamu sebenarnya, Van. Orang kaya, jadi ... ya mungkin jadi sasaran empuk buat dia. Makanya dia pura-pura jadi, Lia," sambung Angga lagi memberikan analisisnya.
"Tapi, namanya benar-benar Lia, Ngga. Aku tanya ke salah satu Ibu-Ibu yang buka kios bunga di sana. Seperti katamu, Lia yang aku temui ini juga mempunyai kebun bunga dan juga mengantarkan bunga potong ke pelanggan. Satu hal yang membuatku aneh adalah dia sama sekali tidak mengenalimu. Makanya, aku pikir kamu berbohong padaku, Van."
Panjang lebar Evan menerangkan yang didengar dengan baik oleh Angga. Agaknya pemuda itu merasa sedikit kesal kepada gadis yang bertemu dengan Evan itu. Karena, telah berhasil membuat terjadinya 'peperangan' di antara dirinya dan juga sang sahabat.
"Lia yang aku temui juga punya kebun bunga dan dia mengantar bunga-bunga potong itu ke pemesan. Makanya aku bilang sama kamu. Dan, itu sama sekali nggak bohong. Lagian kalo menurutmu aku bohong, kenapa kamu pake clue yang aku kasih? Aneh banget." Angga mulai jengkel dan melirik kesal kearah Evan.
Mendapat pertanyaan itu, Evan hanya bisa diam dan tak memberikan tanggapan apapun. Karena, dia belum bisa sepenuhnya lepas dari pemikirannya tentang Angga yang hanya bermaksud mengerjainnya saja.
Evan hanya ingin membuktikan saja apa yang dikatakan oleh Angga. Namun agaknya, rasa gengsi yang bersemayam dalam diri sedang meminta pertanggungjawabannya karena satu tindakan yang dilakukan.
"Kayaknya kita perlu selidiki deh." Mendadak Angga menjadi sedikit antusias untuk mengusut tuntas si gadis asing yang mengaku sebagai Lia.
"Hmmm ... memang aneh sih. Tapi kayaknya memang perlu dicari tau biar lebih jelas. Selain itu, mumpung segalanya belum terlanjur lebih jauh. Aku juga nggak mau kena tipu," kata Evan yang menyetujui rencana sang sahabat.
Pada akhirnya, hari itu mereka membahas dua gadis yang katanya sama-sama memiliki nama Lia untuk diselediki, supaya lebih tahu kebenarannya. Dan pada hari itu juga , Evan dan Angga sepakat untuk membuat rencana agar mereka bisa tahu yang sesungguhnya tentang siapa gerangan si gadis yang ditemui Evan.
Saat sedang asik membahas rencana yang sedang disusun, terdengar notifikasi pesan masuk dari ponsel Evan yang mengalihkan perhatiannya. Seketika tatapannya langsung beralih kepada Angga sebagai sebuah keterkejutan yang tak biasa.
"Heh, kebetulan banget. Baru juga kita sedang bahas dia, Ngga. Dianya nge-chat aku," kata Evan sambil menunjukkan pesan yang dikirimkan oleh sang gadis.
"Nah, mumpung dia nge-chat, kita laksanakan aja rencana pertama, Van. Gimana?"
"Hmmm ... baiklah. Kalau gitu, mari kita mulai."
***
Halo, Readers!
Terima kasih masih selalu setia mengikuti cerita ini, ya. Heartbeat Sympony, sementara update setiap hari Senin dan Kamis, pukul 09.00 WIB. Jika ada perubahan jadwal, pasti akan diinfokan ya. Kunjungi juga IG-ku: hanifahsd_ untuk informasi seputar kepenulisan.
Jangan lupa untuk menambahkan cerita ini di collection dan tinggalkan review di kolom komentar ya. Selamat membaca dan semoga terhibur~