"Habis papasan sama Tante Kun," jawab Lia ngasal, lalu kembali duduk di kursinya.
"Tante Kun?"
"Kuntilanak, Ngga. Udah ya, nggak usah dibahas. Oh ya, di sini Vanilla Latte-nya enak, lho." Lia langsung mengalihkan pembicaraan.
"Lia, serius deh. Kok serem kalo ada kuntilanak di sini?"
"Hehe, cuman julukan aja. Nggak ada kuntilanak, kok. Oh ya, kita tadi lagi bahas apa?"
"Lia, jawab dulu dong. Kamu anak indigo?"
"Indihouse kali, hihi. Nggak kok, becanda doang, Ngga. Nggak usah dipikirin," sahut Lia sambil tertawa renyah, yang sukses membuat Angga memanyunkan bibirnya.
Untuk beberapa saat, keduanya saling diam dan menikmati minuman serta cemilan yang sudah dipesan. Lalu, suara notifikasi pesan masuk dari ponsel Angga telah memecah keheningan di antara mereka.
Pesan itu datang dari Evan. Dia mengatakan bahwa dirinya sudah sampai di lokasi bersama dengan gadis yang katanya bernama Lia. Angga pun membalas pesan tersebut dan meminta Evan untuk sedikit mengulur waktu, sambil melakukan obrolan dengan sang gadis hingga nanti dirinya memberikan intruksi lanjutan.
Sementara itu, Angga sengaja berkata kepada Evan jika gadis Lia yang diajaknya bertemu belumlah datang. Hal tersebut sengaja dilakukan agar Angga memiliki cukup banyak waktu untuk menceritakan apa yang tengah direncanakannya kepada si gadis.
"Lia?"
"Hmmm?"
"Aku mau cerita sedikit tentang Evan."
"Oh, yang alergi serbuk bunga itu, ya? Nggak papa, cerita aja."
Angga mengangguk membenarkan. Lalu setelah mendapatkan izin, dia menceritakan dengan runtut tentang Evan yang katanya sudah bertemu dengan gadis bernama Lia. Namun ternyata, cerita tersebut malah terdapat banyak kejanggalan yang dirasakan. Karena menurut Angga, hal tersebut sama sekali tidak masuk akal.
"Waktu itu, kita nggak sengaja ketemu lagi di minimarket. Masih ingat kan?"
"Iya, Ngga. Masih ingat dong, kan baru kemarin aja."
"Nah, Evan bilang katanya si gadis yang katanya namanya Lia itu, nggak pernah ketemu aku sebelumnya. Dia bilang, malam itu memang pergi ke minimarket, tapi nggak ketemu aku. Aneh kan? Di rumah, Evan marah-marah sama aku. Katanya aku bohongin dia. Ini keanehan pertama." Dengan sedikit nada kesal, Angga kembali menceritakan dengan lebih lengkap.
Lia mengerutkan kening merasa bingung. Jika benar demikian, itu berarti ada seseorang yang sedang memakai identitasnya, bukan?
"Terus gimana, Ngga?"
"Nah ini yang paling aneh ini. Saat aku sarapan bareng kamu di depan kampus, Evan katanya lagi ketemu sama cewek yang namanya Lia itu. Mereka ngobrol bareng sambil makan es … es apa sih ya, aduhh lupa. Pokoknya Evan ngotot kalo dia ketemu sama cewek yang namanya Lia. Karena hal itu, aku dicap sebagai pembohong dan nge-halu sama dia. Aneh, kan? Itu berarti, ada cewek lain yang ngaku-ngaku sebagai kamu, Lia. Bener nggak?"
Lia tak langsung memberikan tanggapan tentang penjabaran panjang lebar yang sudah disampaikan oleh Angga. Sejenak, dia mencerna semua informasi itu sambil berpikir tentang seseorang yang nampaknya memang menyamar menjadi dirinya.
Jika si pelaku berani bersikap demikian, ada kemungkinan dia adalah seseorang yang Lia kenal atau malah yang kenal dengannya. Tapi siapa?
Saat pikirannya sibuk mencari tahu dan berusaha untuk menyusun kemungkinan-kemungkinan yang ada berdasarkan cerita Angga, pemuda itu kembali membuka suara.
"Maka dari itu, aku ngajak kamu buat ketemuan, Lia. Pertama, biar Evan percaya kalau kamu adalah Lia—cewek yang nemenin dan kasih sapu tangan sama dia pas bersin-bersin itu beneran ada. Lalu, biar dia percaya kalau kita juga pernah ketemu di minimarket bareng sama adek kamu. Dan yang lebih penting dari pada itu, adalah supaya kita bisa tahu tentang siapa sebenarnya gadis yang mengaku sebagai kamu itu."
Angga berhenti bicara sejenak, lalu mengambil napas dan menghembuskannya dengan pelan. Kemudian, dia kembali melanjutakan bicaranya.
"Kalo dipikir lagi, dia sampai mau nyamar jadi kamu berarti ada dua kemungkinan…."
"Pertama, dia kenal aku. Atau …. Bisa jadi aku malah kenal sama dia," imbuh Lia cepat sebelum Angga selesai bicara.
"Nah!! Itu dia!!" sahut Angga setengah berteriak sambil mengacungkan jari telunjuknya ke atas, sebagai bentuk setuju dengan apa yang dikatakan oleh Lia.
"Jadi, apa yang mesti kita lakukan? Aku siap buat bantu kalian." Dengan bersemangat, Lia langsung saja menawarkan diri.
"Makasih buat kesediaan kamu, Lia. Karena memang itu sangat diperlukan. Aku dan Evan memang udah nyusun rencana, tapi … kayanya rencana ini harus berubah karena adanya dua kemungkinan itu tadi." Begitulah tanggapan Angga.
"Hmmm ... begitu. Tapi, bolehkah aku tahu bagaimana rencana kalian? Barangkali, aku bisa sedikit memberi masukan."
Akhirnya, Angga menceritakan kepada Lia bahwa Evan juga mengajak bertemu gadis yang mengaku sebagai Lia di Café tersebut. Dan mereka berdua juga sudah tiba, beberapa saat setelah Angga dan Lia datang.
"Berarti, cewek itu udah di sini bareng Evan?" tanya Lia penasaran.
"Udah. Katanya mereka udah di sini. Tapi, barusan Evan bilang kalau si cewek pengin cari tempat lain aja."
"Hmmm … kira-kira, Evan bisa motretin si cewek nggak?
"Atau, kita samperin mereka aja?"
"Eh … jangan-jangan. Nggak gitu. Sesuai sama kemungkinan yang tadi kita pikirkan, aku juga harus tau dulu ceweknya gimana. Barangkali aku kenal, iya nggak?" dengan sedikit memaksa, Lia bersikukuh dengan idenya.
"Eh, iya bener juga."
Kemudian Angga mengirimkan pesan kepada Evan, untuk memotret gadis yang mengaku bernama Lia itu secara diam-diam.
Awalnya, Evan menolak untuk melakukan itu. Karena, baginya hal tersebut adalah sulit karena si gadis terus saja menatapnya. Namun Angga terus saja berusaha meyakinkan Evan untuk mencari momen yang pas agar dirinya bisa memotret gadis tersebut secara diam-diam.
Hingga beberapa saat kemudian, sebuah notifikasi pesan masuk dari ponsel Angga kembali terdengar. Evan berhasil memotret sang gadis dan mengirimkan beberapa foto kepada Angga ...
"Lia, liat deh. Evan udah kirim fotonya!" seru Angga setengah berteriak, lalu dia berpindah posisi duduk ke samping Lia, agar lebih si gadis mudah untuk melihat foto yang dia tunjukkan.
Lia meraih ponsel milik Angga, lalu sejenak menatap serta mengamati foto gadis yang muncul di layar. Tanpa butuh waktu lama, Lia langsung bisa mengenali gadis itu. Napasnya sempat tertahan untuk beberapa saat, karena merasa tak percaya jika Ana lah yang melakukan semua ini. Selain itu, dengan tidak sopannya, dia sudah memakai identitasnya tanpa izin untuk menipu orang lain. Benar-benar keterlaluan!
Lia mengembalikan ponsel itu kepada Angga, lalu memintanya untuk jangan menghapus barang bukti tersebut. Tanpa berpikir lebih lama lagi, akhirnya Lia menceritakan siapa gerangan yang ada di foto tersebut kepada Angga. Dengan singkat, dia juga menjelaskan siapa sebenarnya Ana. Termasuk, sedikit cerita tentang apa yang sudah pernah dilakukan si gadis padanya.
Setelah mendapat informasi itu, Angga mengirimkan pesan kepada Evan dan menjelaskan secara singkat melalui chat tentang identitas dari gadis yang ada di hadapannya. Angga mengatakan kalau informasi itu didapatkan dari Lia asli yang ternyata mengenal si gadis yang mengaku bernama Lia itu.
Untuk lebih meyakinkan Evan, Angga mengirimkan foto selfie dirinya bersama dengan Lia agar Evan semakin percaya. Dan panas dinginlah seluruh tubuh Evan, saat mengetahui kenyataan yang benar-benar nyata, bahwa yang ada di depannya adalah seorang yang memakai identitas Lia tanpa izin alias penipu.
---
"Angga, kamu udah bilang semua sama, Evan?" tanya Lia begitu Angga selesai mengirimkan foto selfie mereka berdua kepada Evan.
"Udah. Evan bilang, dia meminta kita nyamperin mereka."
"Lebih baik jangan sama aku. Tapi kamu aja yang nyamperin Evan, Ngga. Meskipun sikap Ana lagi-lagi udah kelewat batas, tapi aku nggak mau dia jadi tambah malu kalau aku sebenarnya udah tau apa yang udah dia lakukan."
Angga terdiam untuk beberapa saat. Dia pikir, Lia akan mengiyakan ajakannya dengan penuh semangat. Karena untuk kedua kalinya, Lia akan bisa 'mengalahkan' Ana atau bahkan membuat gadis itu malu karena perbuatan yang sudah dilakukan. Namun ternyata, Lia malah masih memikirkan perasaan Ana.
Tentu saja, hal itu telah semakin menambah rasa kagum Angga kepada Lia. Karena tidak hanya parasnya saja yang cantik, tapi ternyata ia juga memiliki pribadi yang sangat baik. Dan kembali tanpa sadar, sebuah senyum lagi-lagi terlukis di bibir Angga ...
"Heh! Kok malah senyum-senyum, sih??" desis Lia sambil menyenggol lengan Angga yang seketika saja membuat sang pemuda tersadar dari lamunannya.
"Eh, hehehe. Maaf, Lia. Oke, jadi menurutmu ... bagaimana rencana selanjutnya?"
"Ana tau kalau aku ada di sini. Barangkali karena hal itulah, tadi dia minta cari tempat lain. Jadi, gini aja. Aku pura-pura keluar dari cafe ini dan sengaja lewat depan mereka, supaya Ana liat kalau aku pergi. Nah, mungkin dia sedikit lega kalau aku udah nggak ada di sini. Dia udah nggak ngerasa diintimidasi, gitu. Lalu, setelah itu kamu nyamperin Evan. Dan ... kalian berdua bisa menginterogasi Ana dengan cara yang baik-baik. Toh, kalian belum rugi apapun juga, kan?"
"Hmmmm ... iya sih. Kalo dari segi materi memang belum rugi apa-apa. Oke deh, kita jalankan rencana kamu itu. Tapi, aku bilang Evan dulu. Biar nanti kita bisa kompak nginterogasi Ana."
Lia mengangguk mengerti, lalu memutuskan untuk membereskan barang-barang miliknya sementara Angga mengirimkan pesan kepada Evan. Tak berselang lama, sang sahabat sudah membalas pesannya dan memahami rencana yang hendak dilakukan.
"Oke, deal ya. Sekarang, aku keluar dari tempat ini. Mereka di meja nomor dua kan? Berarti dekat pintu, jadi lebih mudah narik perhatian Ana. Oh ya, jangan terpancing sama kata-kata memelasnya. Kalian fokus sama tujuan kalian. Harus tegas, dia pasti kalah."
"Saking kenalnya, kamu sampai hapal ya. Ckckck." Angga berdecak merasa tak percaya sambil menggelengkan kepala.
"Ya begitulah, Ngga. Oke, aku jalan dulu."
"Eh, tunggu."
Reflek, Angga menahan lengan Lia namun langsung dilepaskan begitu saja karena merasa tak enak sudah lancang menyentuh tangan si gadis tanpa izin.
"Eh, sorry. Gini, kamu jangan pergi atau pulang dulu, ya. Setelah ini, kita bertiga harus ngumpul biar segalanya bisa jelas. Terutama Evan, dia harus minta maaf ke kamu."
"Emmm ... nanti kabarin aku aja, Ngga. Oke?" sahut Lia sambil tersenyum.
Lia melangkah dengan santai menuju ke arah pintu untuk keluar dari Coffe Shop tersebut. Lalu, saat hampir tiba di meja nomor dua, dia sengaja menjatuhkan dompet miliknya yang seketika saja mengundang perhatian Ana.
Selama beberapa detik, keduanya saling menatap tanpa berkedip. Ana nampak terkejut dan wajahnya terlihat tegang. Sedangkan Lia langsung saja melengos tanpa memperhatikan Ana ataupun Evan lebih lanjut, lalu kembali berjalan untuk keluar dari tempat itu.
Tatapan Ana terus mengikuti gerak-gerik Lia hingga sang gadis benar-benar keluar dari tempat itu. Tanpa sepengetahuan siapapun, Ana menarik napas lega seolah beban yang dipikul telah hilang, lalu dia menyandarkan punggungnya pada kursi.
---
"Kenapa, Lia?" tanya Evan.
"Oh, nggak papa kok," jawabnya singkat, lalu menyesap secangkir mochacino yang tadi dipesannya.
Tak berselang lama, Angga menghampiri meja Evan dan keduanya pura-pura saling sapa. Lalu, terlibat perbincangan singkat khas sepasang sahabat. Evan meminta Angga untuk duduk di sampingnya. Dan dengan ramah, dia mengenalkan pula gadis yang duduk berseberangan dengan mereka berdua.
"Kenalin, Ngga," ucap Evan sambil tersenyum, lalu melempar pandang ke arah Ana yang kini juga tersenyum tersipu.
"Hai, seharusnya dia udah kenal aku, sih. Tapi ... Kenalin, aku Angga. Kamu ... Ana, kan?"
"Uhuk!"
Ana tersedak liurnya sendiri, saat Angga menyebut nama aslinya. Dengan seketika, netranya membulat dan wajahnya berubah menjadi pucat. Bahkan, keringat dingin mulai keluar melalui pori-pori tubuhnya.
"Lho? Kenapa jabat tanganku nggak diterima?" tanya Angga lagi yang semakin membuat Ana mati kutu.
"Tenang. Kami tidak akan menuntut apa-apa. Karena, kami juga tidak mengalami kerugian material sepersen pun. Cuman, aku jadi sangat menyayangkan, kalau ternyata Evan mudah sekali ditipu."
Evan menoleh tajam ke arah Angga karena merasa tak terima dengan apa yang dikatakan olehnya. Ingin hati memukul sang sahabat, namun dia menahan diri karena situasnya sedang tidak memungkinkan untuk melakukannya.
"Oke, Ana. Mari kita selesaikan drama yang udah kamu buat," ucap Angga yang semakin membuat Ana tak karuan rasanya.
Dia ketakutan.
***