Chereads / Heartbeat Symphony / Chapter 16 - Curhat

Chapter 16 - Curhat

"Angga?"

Sudah beberapa kali Evan memanggil sang sahabat, namun pemuda itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Dia sudah mencari di ruang makan maupun kamarnya, tapi tetap juga tak ditemukannya.

"Angga?" panggil Evan sekali lagi. Namun, tak lama kemudian yang bersangkutan pun muncul.

"Dari mana, sih?"

"Dari depan, terima telpon," sahut Angga singkat, lalu berjalan menuju dapur yang diikuti oleh Evan.

"Telpon dari siapa?"

"Berlin. Nanyain kamu juga, kenapa telpon dan pesannya belum dibalas. Ya biasa kan, kalo orang-orang hubungin kamu tapi nggak ada respon, kan larinya ke aku. That's my job," sahut Angga sambil berjalan melalui Evan untuk menuju ke dapur.

Evan mengikutinya dari belakang, lalu duduk di salah satu kursi meja makan yang ada di sana.

"Minum dulu," kata Angga sambil menyodorkan segelas jus jeruk dari dalam kulkas kepada Evan.

Pemuda itu hanya mengangguk sebagai tanda terima kasih, lalu meneguknya sekali habis.

"Bocor nih gelasnya." Angga berusaha membuat lelucon ringan, berharap kalau Evan akan menyahuti seperti biasa. Namun, pemuda itu hanya diam saja seolah tak antusias dengan candaan yang dilontarkan olehnya.

Sejenak, suasana menjadi hening karena tak ada pembicaraan diantara keduanya. Hingga Angga kembali membuka suara.

"Kalau Om Jhonatan bersikukuh buat jodohin kamu sama Berlin, kamu juga harus punya alasan yang kuat buat menolak wacana itu kalau kamu nggak mau, Van."

Evan masih diam, belum memberikan jawaban.

"Begitu juga dengan Berlin yang katanya juga nggak menginginkan perjodohan itu. Dia harus punya alasan yang sama kuat. Jadi kalau kalian kompak dan sama-sama memiliki alasan yang jelas, aku yakin acara perjodohan itu nggak akan terjadi," imbuh Angga dengan mantap. Lalu ia melanjutkan kembali,

"Sekarang aku tanya, alasan kamu menolak perjodohan ini apa?" tanyanya.

"Aku udah nganggap Berlin sebagai saudara sendiri, Ngga. Selain itu, aku nggak mencintainya sebagai lawan jenis, tapi lebih seperti kepada seorang adik," jawab Evan pada akhirnya setelah sedari tadi hanya diam saja.

"Nah, alasan itu udah jelas namun belum ada bukti. Percuma aja kalo kamu menyampaikan alasan ini ke Papamu. Yang ada, dia kira kamu lagi becanda."

"Iya, kamu bener. Tapi, bukti yang gimana maksud kamu, Ngga?"

"Seperti yang udah kita tahu, alasan pertama Om Jho ngejodohin kamu sama Berlin itu supaya Sahasika dan Galaxy bisa bersatu. Ya, kan?"

Evan mengangguk mengiyakan.

"Alasan itu seolah menunjukkan kalo Galaxy mau bangkrut aja. Padahal, progresnya bagus dan Om Jho tau itu. Nah, dari alasan pertama ini kamu harus bisa membuktikan kalau Galaxy bisa tetap berdiri sendiri tanpa harus bersatu dengan Sahasika Jayafood, Van. Kalau kerjasama, nggak masalah. Tapi kalo untuk melebur jadi satu, sebaliknya jangan."

Evan belum memberikan jawaban. Dia tengah mencerna apa yang dikatakan oleh sang sahabat yang rupanya sepemikiran dengannya.

"Alasan yang kedua … mungkin ini sedikit maksa ya, tapi … kamu harus bisa buktikan sama Om Jho kalau kamu mampu memilih wanita manapun selain Berlin. Kamu juga pernah bilang, kan? bukankah kamu juga punya hak untuk memilih jalan hidupmu sendiri, khususnya masalah hati dan perasaan?"

"Untuk alasan kedua, nggak semudah itu, Ngga."

"Iya, memang nggak mudah. Tapi, bukan berarti nggak bisa, kan? Paling enggak, kamu udah mengupayakannya," tutup Angga sambil menepuk lembut pundak Evan.

Pemuda itu kembali terdiam setelah mendengarkan penjelasan panjang lebar tersebut. Sepertinya, ia tengah merenungi apa yang baru saja disampaikan oleh sang sahabat.

"Dan ada satu hal lagi yang nggak kalah penting, Van," sambung Angga lagi. "Ngisi perut. Sumpah deh, ini udah waktunya makan malam tapi sama sekali nggak ada pergerakan pesen makanan atau pergi keluar cari makan gitu."

Pecahlah tawa Evan ketika mendengar "curhatan" dari Angga. Dia merangkul pundak sang sahabat, lalu mengajaknya untuk membeli makan malam.

---

Evan dan Angga sudah tiba di salah satu rumah makan padang yang berada di pusat daerah itu. Mereka sepakat makan malam di sana karena bingung menentukan menu apa yang ingin mereka santap.

"Van, aku jadi inget. Pertemuan kedua dengan Pak Haidar nanti, akan melibatkan beberapa tokoh masyarakat yang ada di daerah tersebut. Maklum, tanah yang kita lirik itu punya banyak orang. Jadi, mereka nanti bertugas sebagai perwakilan masyarakat yang akan menganalisa serta menilai program serta penawaran dan juga kebijakan dari kita."

"Nggak masalah, sih. Memang seharusnya seperti itu. Karena, kedepan aku juga nggak mau ada sengketan lahan. Pokoknya semua harus jelas dan juga adil. Aku yakin mereka mau menerima, karena dengan adanya supermarket baru di sini, terbuka juga lowongan pekerjaan baru. Sesuai rencana, kita open recuitment untuk orang-orang di daerah ini."

"Iya, Van. Siap, nanti aku susun presentasinya."

Evan mengangguk, lalu kembali menikmati nasi padangnya.

"Oh ya, Ngga ... emmm, ngomong-ngomong ... udah komunikasi sama Lia lagi belum, Ngga?"

***

Di rumah Lia …

"Lia ... jangan bengong di depan teras, nanti kesambet, lho."

"Eh, Ibu. Ngagetin aja. Lia nggak bengong, kok. Tapi itu ... lagi ngeliatin kodok di rumput," sahut Lia spontan sambil menunjuk ke arah kodok yang baru saja keluar dari semak-semak.

"Kodok kok dilihatin, hehe. Ini, nyicipin wedang jahe yang dikasih sama Bu Haji."

Sekar sang Ibu meletakkan secangkir minuman jahe hangat di atas meja, lalu duduk di kursi yang berada tak jauh dari Lia.

"Makasih, Bu. Bu Haji kapan kesini?"

"Pas kamu lagi mandi. Nggak lama, cuma sebentar. Beliau datang bareng Pak Haji. Mereka jenguk Ayah."

"Owalah, pantes aja aku nggak ketemu."

Lia meraih cangkir yang tadi diberikan oleh Ibunya, lalu menghidu uap air jahe yang aromanya saja menguar memenuhi indera penciumannya.

"Hmmmm ... enak banget. Dari aromanya aja udah nendang banget, Bu."

"Hehe, iyaa. Jahe merah emang enak. Emm ... Lia?"

"Ya, Bu?"

Lia kembali meletakkan cangkir minuman jahe itu di atas meja, lalu memandang sang Ibu dengan raut wajah penasaran.

"Besok, Ibu mau periksakan Ayah ke Rumah Sakit, ya. Luka luar memang nggak begitu parah, tapi Ibu khawatir sama kondisi bagian dalamnya. Karena, posisi Ayah jatuh itu cukup tinggi."

Lia masih diam memperhatikan Ibunya berbicara. Namun, sorot matanya tak mampu menutupi kekhawatiran yang mendadak memenuhi hati.

"Lia temani, Bu. Besok, nggak ada jadwal kuliah. Dan lagi ... Lia kan udah off kerja part-time. Jadi, waktunya jauh lebih longgar daripada sebelumnya."

Sejenak Sekar menatap lembut sang anak gadis, lalu menyesap sedikit minuman jahenya yang mulai terasa hangat. Sebenarnya, dia tahu jika Lia memang sengaja mengurangi beberapa kegiatan yang sudah berjalan selama ini, mengingat kondisi sang Ayah yang membutuhkan perhatian lebih.

Dulu sebelum musibah kecelakaan menimpa Bimo, segalanya berjalan normal. Di mana, lelaki kepala keluarga itulah yang menjadi penanggungjawab kebun beserta seluruh aktifitasnya. Sementara Sekar, ia hanya sekedar membantu mengelola administrasi dan keuangan usaha. Lia dan Ares lebih fokus ke pendidikan dan beraktifitas layaknya muda-mudi seusia mereka.

Keluarga itu bisa diibaratkan dengan sebuah pengoperasian kapal yang tengah berlayar. Jika sang Nahkoda mengalami sakit, otomatis kapal menjadi oleng dan susunan pengoperasiannya turut berubah. Disaat seperti itulah, Sekar sebagai Mualim I harus bisa bertindak untuk menggantikan posisi sang suami sebagai Nahkoda agar kapal tetap berlayar. Sementara Lia dan Ares sebagai Mualim II dan Mualim III, adalah merupakan perangkat organik lain sebagai pihak yang membantu Mualim I agar tugasnya tak menjadi berat dan semua bisa terselesaikan.

Meskipun begitu, rasa syukur justru semakin deras dipanjatkan sekalipun musibah tersebut telah datang menimpa. Karena, Tuhan masih memberikan mereka kesempatan untuk berkumpul bersama, khususnya bersama Bimo sebagai Nahkoda yang mengalami cidera.

"Makasih ya, Nak. Udah bantu Ibu sama Ayah. Tapi maaf, waktu dan pikirannya jadi ikutan tersita."

"Husshhh, Ibu jangan bilang kaya gitu. Udah jadi wajibnya anak buat bantu orang tua, apalagi kondisinya sedang begini. Ares sama Lia dengan senang hati bantu Ayah-Ibu, kok. Lagipula sebelum Ayah dapat musibah, Lia udah resign dulu dari part time job itu karena ada temen Lia yang butuh kerjaan. Ibu masih ingat, kan? Selain itu, memang udah mulai ngurangin kegiatan kampus karena bentar lagi KKN plus biar lebih fokus kuliahnya." Panjang lebar Lia menerangkan kepada Sekar, berharap bahwa sang Ibu tidak perlu merasa tak enak kepada dirinya.

"Iya, Lia. Makasih, ya," kata Sekar sambil tersenyum terima kasih kepada sang anak.

"Ih, Ibu makasih terus. Udah kayak Mbak-Mbak di minimarket aja deh, hehe," sahut Lia sambil tertawa kecil.

"Hehe, berarti ... temanmu masih kerja di sana sampai sekarang?"

"Masih, Bu. Puji syukur, keadaannya mulai membaik. Meskipun hanya part time, setidaknya ada pemasukan. Maklum banget, soalnya dia anak rantau. Harus bener-bener bisa mandiri."

Sekar kembali tersenyum mendengar penjelasan dari sang anak gadis. Di dalam hatinya, ada setitik rasa bangga karena dikaruniai putri yang begitu berakhlak baik. Meskipun memiliki sifat keras kepala yang diturunkan darinya, namun Lia memiliki hati yang lembut, persis sang Ayah.

"Syukurlah kalau begitu. Tetaplah menjadi baik ya, Nak."

"Iya, Bu. Emmm ... ngomong-ngomong tentang hal baik, Lia belum cerita sama Ibu soal Ana hari ini."

Mendengar nama itu disebut, seketika wajah Sekar berubah menjadi serius. Rasanya, baru kemarin gadis itu membuat ulah kepada sang anak, sekarang apa lagi yang dilakukan olehnya? Begitu pikir Sekar.

"Dia ... membuat gara-gara lagi?"

"Iya. Dan sama parahnya, saat dia jelek-jelekin Ayah. Kalo boleh jujur, sebenernya Lia sama sekali nggak ngerti kenapa sikap dia jadi kayak gitu. Padahal, Lia sama sekali nggak ada masalah dan nggak pernah sekalipun gangguin dia." Akhirnya, Lia mengeluarkan seluruh uneg-unegnya tentang Ana kepada sang Ibu.

Sekar memperhatikan dengan serius curhatan dari Lia, apalagi kalau hal tersebut menyangkut tentang Ana. Sedari kecil, gadis itu sudah menunjukkan ketidaksukaannya kepada Lia.

Ana sering merusak atau mengambil mainan milik sang anak. Sekar pikir, hal tersebut dilakukan karena masih kecil. Namun lambat laun dan semakin bertambahnya usia, sikap Ana tak bisa dianggap suatu kewajaran, namun justru seperti sebuah kesengajaan.

Kejadian yang terjadi di warung Cak Irwan tempo hari saja masih membekas di pikiran Sekar. Apalagi, dia mengetahui jika sang anak gadis ditampar oleh Ana. Padahal gadis itu yang sudah memfitnah keluarganya dan menuduh Lia yang bukan-bukan. Dan kini, Ana malah kembali membuat gara-gara dengan sang anak.

---

Akhirnya, Lia menceritakan dengan runtut awal mula dirinya berkenalan dengan Evan dan juga Angga. Lalu, kisahnya pun sampai pada cerita tentang perbuatan Ana yang berpura-pura menjadi dirinya saat Evan mencoba mencari tau tentangnya.

"Ya ammpuunn, Ana sampai segitunya?"

"Iya, Bu. Jadi, Evan hampir aja kena tipu. Ya padahal Angga udah kasih tahu. Seperti kata Lia tadi, kalau Anggalah yang liat dan juga ketemu sama Lia untuk pertama kali. Tapi Evan nggak percaya. Pikirnya, Angga bohong dan mau balas keisengan yang dilakukan Evan."

"Terus gimana? Semuanya udah kebongkar? Lalu, gimana nasib Ana?" Sekar menjadi tak sabar dan lasung memberikan pertanyaan beruntun kepada sang anak.

"Angga bilang, urusan mereka sama Ana udah selesai, Bu. Tapi, Lia belum tanya lebih lanjut lagi. Ya ... sebenarnya, setelah urusan dengan Ana selesai, mereka ngajak Lia buat makan bareng, tapi tadi Ares telpon dan cerita kalau Ayah jatuh. Jadi, Lia memutuskan buat cepet-cepet pulang karena khawatir sama Ayah."

"Hmmm ... Ibu turut lega kalau masalah dengan Ana udah selesai. Semoga dia nggak berulah lagi. Bukannya mau suudzon, tapi biasanya ... semua itu berawal dari rumah. Entah apa yang udah dia dapat dari orangtuanya..." Sekar menggantung kalimatnya, seolah tak kuasa untuk melanjutannya.

"Entahlah, Bu. Lia juga nggak ngerti," sahut Lia cepat karena mengerti dengan apa yang dirasakan oleh sang Ibu dan dia sama tak menanyakannya lebih lanjut.

"Pesan Ibu cuma satu, tetap berhati-hati dengan orang yang seperti itu. Dan jangan ragu untuk melawan atau membela diri kalau pada kenyataannya kamu nggak salah sama sekali." Lia mengangguk mendengar nasihat yang disampaikan oleh Sekar.

Perasaan Lia menjadi lebih lega setelah mengungkap seluruh isi hati kepada Ibunya. Apalagi, dia mendapatkan nasihat baik yang membuat hatinya kembali tentram.

Begitulah Lia, setiap kali ada sesuatu yang dialami ia selalu saja menceritakan kepada sang Ibu yang sudah seperti seorang sahabat baginya. Karena tanggapan serta nasihat yang diberikan, seakan terus saja membuat Lia merasa lebih baik dan menjadi tak risau lagi.

***