Chereads / Heartbeat Symphony / Chapter 18 - Mampir Ke Rumah

Chapter 18 - Mampir Ke Rumah

Setelah berhasil menenangkan debar jantung yang mendadak menjadi tak biasa, Evan bangkit dari duduknya. Pun dengan Lia yang turut berdiri menghadap ke arah Evan walau jarak keduanya terhalang oleh kursi tunggu yang ada di depan lutut Lia.

"Eh, maaf sudah membuatmu terkejut," ucap Evan yang masih merasa sedikit canggung.

"Oh iya, eh ... nggak papa, kok," sahut Lia tergagap, gadis itu juga terlihat jadi salah tingkah. "Emm … tapi maaf, apakah mmm … kita pernah saling mengenal sebelumnya?" tanyanya.

"Oh iya, mungkin kamu lupa karena kita hanya berpapasan sesaat aja waktu itu. Perkenalkan, aku Evan yang waktu itu kamu temani saat alergiku kambuh." Evan memperkenalkan diri dengan lancar. Perlahan, rasa canggungnya sudah mulai menghilang. Dan kini dia mengulurkan tangan kepada Lia dengan percaya diri.

"Aaaahh … iya-iya, aku inget. Temennya Angga yang waktu itu sempat salah orang ya, hehe ... Salam kenal, aku Lia. Lia yang asli," sahut si gadis sambil menerima uluran tangan dari Evan.

Pemuda itu tertawa kecil, ketika Lia berkata seperti itu. Ada sedikit rasa malu, sebab dia pernah salah orang dan bahkan tidak mempercayai apa yang sudah disampaikan oleh sahabatnya sendiri mengenai Lia. Padahal, Angga sendiri yang melihat serta bertemu langsung dengan si gadis.

"Maaf untuk itu, ya. Tapi … semuanya sudah selesai. Aku dan Angga sudah menyelesaikannya dengan cara baik-baik, sesuai permintaanmu."

"Iya, memang lebih baik seperti itu. Jangan pakai cara kasar sama dia, nanti kamu yang rugi."

"Angga benar, kamu udah hafal banget sama sifat Ana."

"Karena dia itu memang sudah seperti itu semenjak kami masih sama-sama kecil. Sebenarnya aku juga nggak tahu salahku apa, hingga dia sedemkian bencinya sama aku. Tapi Ibu bilang … sifat anak itu tergantung bagaimana orangtuanya mendidik. Jadi, entahlah apa yang udah Ana dapatkan dari orangtuanya sehingga dia jadi seperti itu. Khususnya padaku." Tanpa sadar, Lia mencurahkan seluruh isi hati yang masih mengganjal pada Evan, terkait sikap Ana. Padahal, baru kali ini sajalah mereka pernah berbincang.

"Oh, maaf. Aku terlalu banyak ngomong, nih. Hehe," imbuh si gadis saat beberapa detik setelahnya dia menyadari kalau sudah bercerita panjang lebar kepada Evan tanpa diminta.

"Nggak masalah, Lia. Lagipula, apa yang dikatakan oleh Ibumu ada benarnya. Kalau orangtua mengarahkan pada kebaikan, paling tidak si anak akan mengikuti. Kecuali, memang dia tipe anak pembangkang," sahut Evan yang dibalas anggukan paham oleh Lia.

"Bisa jadi. Eh, udah-udah … kok malah ghibahin Ana, hehe. Oh ya, kamu ada keperluan apa dateng ke sini?" tanya Lia sambil mengedarkan pandangan seolah mencari-cari seseorang.

"Oh, aku …" Evan bingung harus menjawab bagaimana, karena alasan sebenarnya dia datang kemari adalah karena tidak sengaja melihatnya. Evan hanya ingin memastikan, apakah gadis yang tadi dilihatnya benar-benar Lia atau bukan.

Sebelah alis Lia terangkat naik, menunggu Evan menjawab pertanyaannya. Dia juga penasaran, mengapa Evan bisa berada di sini. "Eh … atau alergimu kambuh, jadi mau periksa?" tanya Lia pada akhirnya, ketika dia teringat kalau Evan memiliki alergi.

"Bu-Bukan, kok. Tadi, nggak sengaja liat kamu masuk ke sini. Tapi aku nggak yakin, jadi aku mau memastikan aja. Dan, ternyata benar itu kamu. Aku … nggak salah orang lagi," terang Evan dengan jujur, sambil tersenyum malu.

Sesuatu kembali berdesir ketika Lia melihat senyum Evan yang terlukis dengan tulusnya. Sesuatu yang membuatnya menjadi agak gugup dan salah tingkah sendiri. Sebab itulah Lia tak memberi tanggapan apapun, karena yang bisa dia lakukan hanyalah tersenyum saja sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga.

Beberapa detik berikutnya, Evan malah berjalan mendekat ke arah Lia untuk duduk di kursi kosong yang berada di sebelah gadis itu.

"Oh, iya. Sampe lupa duduk, hehe," ucap Lia spontan, lalu mengikuti Evan yang sudah duduk sambil tersenyum mengiyakan.

"Kamu sendiri, ada keperluan apa kemari?"

"Nemenin Ayah periksa."

---

Pada akhirnya, mengalirlah seluruh cerita tentang sebab musabab sang Ayah harus menjalani kontrol rutin di Rumah Sakit. Tak lupa, kejadian kemarin hari yang menimpa Ayahnya juga turut diceritakan oleh Lia.

Entang mengapa, cerita itu mengalir begitu saja tanpa terbendung sama sekali. Seolah, Lia sedang bertutur pada seorang teman yang sudah lama dikenalnya. Padahal, kenyataannya baru kali ini mereka saling berbincang secara langsung.

Evan yang notabene merupakan seseorang pendengar yang baik, dengan sepenuh sabar menyimak kisah yang disampaikan oleh si gadis. Nampaknya bukan hanya cerita Lia yang membuat Evan menaruh penuh perhatiannya pada sang gadis, namun juga karena kecantikan natural yang terpancar dari Lia yang lagi-lagi membuat dadanya berdesir.

"Keluarga yang sangat keren." Begitu komentar Evan ketika Lia mengakhiri ceritanya.

"Keren? Bagian mananya yang keren? Bukankah memang begitulah yang biasa dilakukan kalau ada salah satu anggota keluarga yang sedang sakit? Saling bahu membahu supaya semua bisa berjalan seperti biasa. Ya ... meskipun nggak bisa dipungkiri kalau memang jadi agak timpang," sahut Lia sedikit menjelaskan karena dirinya bingung, mengapa Evan mengatakan keluarganya keren.

"Ada satu keluarga yang nggak mutlak keren seperti keluargamu, Lia. Memang semuanya terlihat baik-baik aja dan keren dari luar. Tapi dari dalam ... ah, beruntungnya dirimu. Aku jadi iri."

Sudut bibir Evan terangkat naik dan hal itu tak luput dari perhatian Lia. Senyum itu bukan senyum kegembiraan, sebab sorot matanya medadak mendung. Berbeda saat untuk pertama kalinya mereka bertemu, dimana sorot matanya terlihat berbinar bahagia.

"Maaf, Evan," ucap Lia pada akhirnya karena telah mengerti mengapa Evan bilang iri padanya. Ya, keluarga Evan tak 'keren' seperti keluarganya.

"Kamu nggak perlu minta maaf. Memangnya, kamu bikin salah?"

"Hehe, ya ... nggak, sih. Tapi..."

"Ingat, Lia. Kamu nggak perlu minta maaf kalau kamu nggak salah," ucap Evan dengan serius.

"Kecuali kalau mau minta tolong, tanya, baru deh bilang permisi maaf bla bla bla gitu, ya? Hihi ... kalau ini sih wajib, deh," sahut Lia dengan sedikit kocak.

"Nahhh ... itu bagian dari etika berkomunikasi. Apalagi sama orang yang baru kita temui atau kita kenal," imbuh Evan yang dibalas anggukan setuju oleh Lia.

"Duhh ... berasa lagi ngobrol sama dosenku deh, hihi."

"Oh iya, Angga bilang ... kamu masih kuliah, ya? Semester enam, betul?"

"Iya, betul. Penginnya sih cepet-cepet lulus ..."

Kini, gantian raut wajah Lia yang berubah menjadi mendung. Kalau ingat tentang kuliah, ia pastilah selalu ingat akan Ayahnya. Lebih tepatnya tentang sebuah pemikiran dari kata yang teramat sangat dia benci. Yaitu, kematian.

"Biar bisa lekas kerja, gitu?"

"Salah satunya. Tapi, ada yang jauh lebih penting daripada itu ..."

Belum juga Lia menyelesaikan bicara, netranya tertuju pada sosok Ayah dan Ibu yang ternyata sudah keluar dari ruang kontrol. Spontan Lia bangkit dari duduk, lalu melambaikan tangan ke arah kedua orangtuanya.

"Eh, mereka udah selesai. Cepet juga, biasanya lama," kata Lia namun pandangannya masih tertuju pada Ayah dan Ibunya. "Bentar ya, Van." Tanpa menunggu jawaban dari Evan, sambil setengah berlari Lia langsung menghampiri kedua orangtuanya.

Evan tersenyum melihat tindak tanduk Lia. Gadis itu begitu energik, wajahnya merona merah berseri saat menyambut Ayah-Ibunya dengan sepenuh sayang. Pun dengan kedua orangtua Lia yang menerima kedatangan anak gadisnya dengan begitu antusiasnya.

---

Tanpa sadar, Evan menikmati pemandangan itu dengan perasaan tak menentu. Antara ikut merasa bahagia, namun juga ada perasaan iri terselip di hatinya. Keluarga yang dia miliki tak sekeren itu. Bagaimana bisa dikatakan 'keren'? untuk mendengarkan keinginannya saja, sang Papa terlihat begitu enggan. Lalu, bagaimana dengan Mamanya? Dia hanya bisa pasrah menurut apa kata Papa yang memiliki kuasa penuh.

Sebenarnya, keluarga Evan tak seburuk itu. Hanya saja, dia merasa jika hidupnya bagai dikendalikan oleh sang Papa. Sementara, dia malah sama sekali tidak diberi kesempatan untuk memilih. Bahkan perkara pasangan saja, hal tersebut juga sudah ditentukan.

Miris memang. Tapi, terkait perjodohan itu belumlah terlambat. Evan masih bisa mengupayakan agar agenda tersebut tidak usah terjadi. Dan kalau bisa, tidaklah perlu ada tentang masalah perjodohan layaknya orang kolot.

Evan masih saja melamun, sampai dirinya tak sadar jika Lia menunjuk kearahnya. Sang gadis memberitahukan kepada kedua orangtuanya, khususnya sang Ibu yang sudah tahu siapa Evan.

Seperti sepakat, mereka menghampiri si pemuda untuk sekedar berkenalan dan hendak mengucapkan terima kasih karena sudah menemani Lia.

"Evan? Hei, Evan?"

"Oh iya, sorry. Gimana?" Evan terperanggah dan reflek bangkit dari duduk ketika sebuah panggilan telah berhasil membuatnya tersadar dari lamunannya.

"Owalah, ngelamun. Cah bagus, lagi mikirin apa?" tanya Sekar dengan logat Jawanya.

"Ih, Ibu. Jangan gitu." Lia mencubit lembut lengan sang Ibu sebagai sebuah bentuk teguran untuk tidak menggoda Evan.

Sekar hanya tersenyum, begitu pula Bimo yang malah terkekeh sambil menoleh ke arah Lia yang sudah memanyunkan bibirnya.

"Selamat siang, Bu-Pak. Perkenalkan, saya Evan," kata Evan memperkenalkan diri setelah dirinya tersadar dari lamunan.

Dengan hormat, dia menyalami kedua orangtua Lia sambil tersenyum ramah.

"Salam kenal, Mas Evan," sahut Sekar dan Bimo hampir bersamaan.

"Ini teman baru Lia yang katanya punya alergi serbuk bunga, ya?" Bimo memberikan pertanyaan lebih dahulu kepada Evan yang langsung dibalas anggukan oleh sang pemuda.

Dari situlah, obrolan mulai terjalin di antara Evan dan juga kedua orangtua Lia. Setelah berbincang sejenak, Evan menawarkan diri untuk mengantar mereka pulang karena membawa mobil. Tadinya, Lia dan orangtuanya memang datang menggunakan Gcar.

Awalnya Lia menolak karena tak mau merepotkan Evan, namun karena begitu tulusnya si pemuda ingin membantu, akhirnya Lia dan orangtuanya menerima tawaran baik darinya.

Selama perjalanan pulang, mereka sudah mulai akrab. Pada dasarnya, kedua orangtua Lia memang orang yang asik dan menyenangkan, jadi membuat Evan merasa diterima padahal baru saja mereka saling kenal. Dan selama pertemuan mereka itu, tak ditemukan sedikitpun ada prasangka negatif yang tersorot dari tatapan Bimo dan Sekar.

Hal tersebut membuat Evan mempercayai dengan keyakinannya, bahwa keluarga Lia memang sungguh-sungguh 'keren'. Bukan bermaksud untuk membandingkan keluarga Lia dan juga keluarganya, namun sejujurnya saja Evan memang bisa merasakan perbedaan tersebut dengan secara tak langsung.

Meskipun bisa dibilang keluarga Lia adalah keluarga yang sederhana, namun Evan menemukan sesuatu yang tidak dia temukan di dalam keluarganya Yakni, waktu kebersamaan.

Dahulu hal itu memang ada, disaat dirinya masih terlalu kecil. Namun, setelah kakak pertamanya—Agatha Hemchandra memilih untuk menikah dengan pemuda pilihannya, dan kakak keduanya—Andre Style memutuskan menetap di Paris dan menjadi model papan atas, semuanya sudah berubah. Dengan seketika, semua sibuk pada aktifitas masing-masing! Sementara, keluarga bukanlah menjadi sebuah prioritas lagi.

---

Tak terasa, mereka sudah tiba di rumah Lia. Dengan cekatan tanpa diminta, Evan membantu Bimo keluar dari mobil untuk mendudukkan lelaki itu di kursi roda. Bahu yang kokoh dan pundak berotot karena rajin berolah raga, tentu saja membuat Bimo tersenyum penuh kesan. Karena, hal tersebut telah saja membuatnya tak ragu untuk berpegangan pada tubuh si lelaki muda.

Selesai membantu Lia dan keluarga, Evan bergegas pamit karena Angga sudah menelponnya. Sebenarnya, dia juga ingin tinggal lebih lama. Namun telpon sang sahabat mengabarkan jika ada hal penting yang mengharuskan dirinya pulang saat itu juga.

"Duh, keburu aja, Mas Evan."

"Iya, Bu. Saya harus segera pulang, ada urusan mendadak."

"Ya udah. Kapan-kapan main sini lagi, ya. Ajak Mas Angga juga jangan lupa. Lalu, ini ada sedikit oleh-oleh. Buat cemilan di rumah."

Sekar mengulurkan satu kantong kresek entah apa isinya yang langsung diterima dengan antusias oleh Evan.

"Makasih ya, Bu."

"Sama-sama. Hati-hati pulangnya, ya. Ibu masuk dulu. Lia, temenin Evan sampai pulang ya."

Setelah berkata demikian, Sekar kembali masuk ke dalam. Kini hanya tersisa Lia dan juga Evan yang saling berdiri berhadapan satu sama lain.

"Thanks ya, udah mau antar kamu sampai rumah."

"Sama-sama, Lia. Emmm ... sebelum aku pulang, bolehkah aku meminta nomormu?"

"Hihi, emangnya ... Angga nggak kasih nomor aku ke kamu, Van?"

***