Malam harinya, Lia malah tidak bisa berhenti memikirkan Evan. Dia sama sekali tak menyangka jika hari ini bisa kembali bertemu dengan pemuda itu. Bahkan, tanpa disadari, mereka bisa mengobrol tentang banyak hal dan mengalir begitu saja. Dan tak hanya itu, dengan tulusnya Evan malah mengantarkan dirinya beserta kedua orangtua untuk pulang ke rumah dengan selamat.
Pada awalnya, Lia cenderung menilai jika Evan adalah pribadi yang cuek dan lebih banyak diam. Hal itu disimpulkan berdasarkan cerita Angga dan juga menurut pandangan sekilas tentang sang pemuda. Namun, agaknya kesemua pemikirannya itu kurang tepat. Karena Evan yang ditemuinya hari ini, adalah pribadi yang mau mendengar dan juga mau memberikan tanggapan tentang apa yang Lia sampaikan. Intinya, dia menyimpulkan sendiri bila Evan adalah merupakan seorang dengan pribadi yang asik.
Namun meskipun begitu, Lia tak bisa lupa saat menangkap sorot mata mendung dari Evan saat membahas tentang keluarga. Sebenarnya, Lia sangat penasaran dan ingin menanyakan tentang itu kepada Evan. Tapi, dia mengurungkan niatnya karena berpikir jika hal tersebut belumlah tepat.
Apalagi, dia baru pertama kali berbincang dengan Evan. Karena itulah dia menahan diri untuk berterus-terang. Meskipun, dirinya juga sangat berharap mengetahui apa yang telah terjadi pada pemuda itu. Untuk saat ini, dia hanya bisa berharap saja bila pada suatu saat nanti akan tahu alasannya. Atau, mungkin dia bisa menanyakan hal tersebut kepada Angga yang merupakan sahabat dekat Evan.
"Arrghhh ... nggak-nggak. Biar Evan aja yang cerita. Mengalir aja, Lia. Mengalir." Lia mengacak rambutnya sendiri, lalu kembali menggulingkan badan, menghadap ke sebelah kanan.
"Tapi aneh banget, baru kali ini aku nggak bisa menganggap Evan kayak temen biasa. Rasanya ... rasanya ... duhhhh ... aku ini kenapa sih, astaga... padahal baru pertama kali ketemu. Kenapa kepikiran terus, sih. Hmmmm." Sambil terus bicara sendiri, Lia berkeluh kesah tentang perasaan hatinya yang tak karuan.
---
Lia merubah posisinya menjadi menelungkup, lalu membenamkan wajahnya di bantal. Ada satu hal lain lagi yang tak luput dirasakan oleh Lia tentang Evan.
Untuk pertama kali dalam hidup, detak jantungnya terdengar menjadi tak biasa saat memandang pemuda itu. Apalagi saat pemuda itu tersenyum. Hatinya berdesir lembut dan menciptakan sebuah getaran yang menjalar keseluruh tubuh.
"Duh ... jantung, tolong kondisikan dong detaknya. Kenapa jadi begini??"
***
Sementara itu ...
Evan sedang menghadiri undangan makan malam dari salah satu calon koleganya yang ada di daerah itu. Alasan inilah yang membuat Evan segera berpamitan dengan Lia, padahal dia masih ingin berbincang dengan sang gadis.
Angga yang menerima undangan tersebut, mengatakan kepada Evan bahwa mereka harus datang sebagai bentuk menghormati calon kolega yang kelak akan berpartner dengan Galaxy. Meskipun, undangan tersebut secara mendadak datang di hari itu juga. Karena itulah, Evan buru-buru pulang untuk bersiap menghadiri acara tersebut.
Namun agaknya pikiran Evan tak sepenuhnya berada pada acara tersebut. Angannya tertuju kepada Lia—gadis manis yang telah sukses membuat hatinya berdesir. Tanpa sadar, sebuah senyum tipis terlukis di bibirnya. Ternyata, perasaan asing itu membuat Evan tak bisa berhenti untuk memikirkan si gadis. Bayangannya terus menari-nari dipikiran, bahkan … senyum dan tawa itu telah memenuhi isi kepalanya.
"Ah, ini gila!" seru Evan lirih, sambil menggelengkan kepala seolah tak percaya dengan apa yang terjadi padanya.
"Evan? Evan? Astaga ini anak kenapa sih senyum-senyum sendiri." Angga yang sedari tadi memperhatikan sang sahabat menjadi gemas sendiri dan memutuskan untuk bertanya langsung. Namun apa yang dilakukan belum juga mendapatkan respon dari Evan.
"Stevan Harshil …. Haloooo!!" seru Angga pada akhirnya dan sukses membuat Evan tersadar dari lamunan.
"Apaan sih teriak-teriak? Malu-maluin aja!" sewot Evan menanggapi sambil melotot ke arah Angga.
"Lo tuh yang malu-maluin. Dari tadi gue amatin, bukannya nyimak acara malah senyam-senyum sendiri kayak orang stres. Kenapa sih? Sakit?"
"Oh, nggak papa. Aman," tukas Evan dengan sepele.
"Aman gimana? Worry yang ada. Kenapa sih?? Kepo tau!" Angga terus mendesak Evan untuk mengatakan yang sebenarnya. Namun dasarnya memang jahil, tentu saja Evan menolak.
Angga tak meneruskan paksaannya dan memutuskan untuk diam, sambil menyimak apa yang disampaikan oleh sang pemilik acara. Sementara itu, Evan mengambil malah ponselnya, dan akhirnya memutuskan untuk mengirim pesan kepada Lia. Dia sama sekali tidak bisa menahan diri untuk tak mengirimkan pesan kepada si gadis.
Evan: Aku sedang menghadiri makan malam. Bagaimana denganmu? Udah makan malam juga?
Terkirim.
---
Di sebuah kamar sederhana yang tidak terlalu luas namun terlihat begitu nyaman, Lia sedang sibuk mengerjakan tugas kuliah yang belum sepenuhya selesai. Dan mendadak saja, konsentrasinya jadi terpecah saat mendengar getar ponsel miliknya yang sengaja di letakkan di dekat tempat tidur agar dia bisa lebih fokus mengerjakan tugas.
Sudut bibir Lia terangkat naik, saat melihat siapa gerangan yang mengirimkan pesan padanya. Ibarat kata pucuk dicinta ulampun tiba. Saat sedari tadi Lia terus memikirkan Evan dan ingin mengirimkan pesan kepada si pemuda namun urung dilakukan, kini yang dipikirkan malah muncul dan mengirimkan pesan padanya.
Lia: Wow, dinner rupanya. Aku udah makan. Jam makanku selalu tertib dan selalu nambah. Hehehe
Terkirim.
'Astaga Liaaaa … kamu ini kenapa, sih? Baru juga dapet chat dari Evan, kok senengnya kayak gini. Ih … jangan gini dong.' Si gadis yang nampak sedang kasmaran itu bermonolog dengan dirinya sendiri; mempertanyakan apa yang sebenarnya sedang terjadi padanya.
Drrrttt … drrrttt …
Senyum itu kembali mengembang ketika notifikasi getar dari ponselnya menunjukkan jika Evan membalas pesan yang dia kirimkan.
Evan: Kalau masih laper, ya harus nambah. Hehe. Ngomong-ngomong tentang makan, ada rekomendasi tempat makan enak dan favorit di daerah ini?
Lia: Nggak. Nanti gendats dong. Wkwkw. Hmmm … ada. Favorit, enak, murah, tempat nyaman. Garansi 1000 persen. Hehe.
Evan: Memangnya kenapa kalo gendut?
Mendapat balasan seperti itu, kedua alis Lia bertemu sambil keningnya berkerut. Alasannya karena jawaban dari Evan adalah di luar ekspektasinya. Dia pikir, Evan setuju dengan ucapannya tentang perkara gendut tadi. Namun malah pemuda itu menanyakan alasannya kepada Lia, seolah menjadi bentuk bahwa dia tak setuju dengan statementnya.
Lia: Aku kira, cowok nggak suka cewek gendut. Wkwkw
Dengan sengaja Lia membalas seperti itu untuk mengetahui tanggapan dari Evan. Beberapa menit telah berlalu, namun Evan tak kunjung membalas. Dalam hati, sebenarnya Lia sudah tak sabar untuk mengetahui jawabannya. Berulang kali dia memeriksa ponselnya, tapi belum juga ada tanggapan.
Lia memutuskan untuk kembali menyelesaikan tugas kuliah. Namun, pikirannya tak bisa sefokus tadi. Evan benar-benar sudah mendistraksi konsentrasinya. Dan, yang ditunggu akhirnya membalas pesan yang dia kirimkan.
Evan: Gendut bisa olahraga biar lemaknya hilang. Tapi kalo attitude dan karakter? Dua hal ini yang terpenting, Lia …
Balasan dari Evan sukses membuat Lia menjadi semakin melambung. Ternyata, Evan memiliki pemikiran yang sama dengannya. Attitude dan karakter adalah yang utama dari seseorang. Percuma saja memiliki paras yang tampan atau cantik tapi minus akhlak, benar-benar hanya akan membuat masalah saja.
Belum juga Lia membalas chat tersebut, Evan kembali mengirimkan pesan lain.
Evan: Oh ya, tadi kamu belum bilang tentang tempat makan favorit di daerah ini. Ayo sebutkan dan maukah kamu menemaniku makan di sana, Lia? Sekalian kita bahas tentang attitude dan karakter. Kalau kau mau, ^_^
'Mmm …. Kenapa jadi deg-degan lagi? Aduhhh … Lia, norak banget sih. Kenapa juga harus deg-degan? Tapi … sumpah emang nggak ngelak kalo Evan ganteng banget. Blasteran surga kali ya.'
Lia kembali bermonolog dengan dirinya sendiri, saat setelah menerima pesan dari Evan. Dia sama sekali tidak percaya, jika Evan mengajaknya bertemu.
Dalam hati, sebenarnya Lia masih aggak ragu dengan tawaran dari Evan. Dia bingung apakah harus langsung menerima tawaran itu atau menundanya dulu. Kebingungan itu membuat Lia memutuskan untuk melemparkan sebuah pertanyaan ke group Selamat Sukses yang berisi para sahabatnya.
Group Selamat dan Sukses
Lia: Guys. Ada pendatang yang minta tolong ditemenin makan di tempat favorit yang ada di daerah kita. Oke jangan?
Tak berselang lama, Amanda, Bobby langsung membalas.
Amanda: Pendatang apa pendatang? Haha
Bobby: Oke, Lia. Tapi jangan berdua aja
Lia: Bob, mau ikut emang?
Amanda: Heh! Jangan, jadi obat nyamuk ntar. Bobby, ini kapan lagi si Lia mau deket sama cowok. Nggak usah nyaranin aneh-aneh.
Bobby: Lah, siapa yang nyaranin aneh-aneh? Kan bener, jangan berdua. Apalagi pendatang itu cowok. Harus bertiga. Kalo nggak, ada setan di tengah-tengahnya.
Amanda: Kamu kali setannya, Bob. Hahaha
Bobby: Sialan kamu, Man. Awas kamu ya!!!
Lia mengurut kening karena pusing melihat tingkah para sahabatnya yang malah berantem sendiri. Seketika penyesalan muncul dalam benak Lia karena sudah melemparkan topik tersebut ke dalam group. Hal itu ternyata hanya kesia-siaan saja. Saat keributan itu terjadi, Riyan salah satu anggota Geng SS belum menampakkan hidungnya. Belum juga Lia hendak menandai Riyan di group, Evan membalas pesannya.
Evan: Aku tunggu jawabannya ya, Lia. Tapi, kalau memang belum memungkinkan, nggak masalah kok. Bisa lain waktu. Oh ya, lekas sembuh untuk Ayahmu. Setelah ini, aku harus melanjutkan acara yang lain. Kamu istirahat saja. Bisa disambung besok. Selamat malam, Lia.
Evan kembali mengirimkan pesan kepada Lia karena si gadis tak kunjung membalas pesannya. Lia yang mendapat kiriman pesan tersebut kembali dibuat mati kutu. Dia bingung harus membalas bagaimana. Sejenak dia memejamkan mata, sambil mencoba meredakan debar jantungnya yang kembali menjadi tak biasa.
Lia: Iya, Evan. Akan aku kabari nanti. Selamat malam.
Terkirim.
'Ugh, bener nggak ya aku bales kayak gitu? Aduh, Liaaaa … kenapa jadi rempong begini sih. Tenang dong tenang.' Langsung saja, batinnya kembali berperang untuk mencari tahu kebenaran terkait jawabannya itu.
Lia menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Dipandanginya langit-langit kamar yang berwarna putih bersih. Dan tanpa dinyana, seraut wajah tampan Evan terlukis di sana. Hal itu, tentu saja langsung membuat Lia terkesiap dan kembali menggulingkan tubuhnya ke sebelah kanan.
"Ah, sial!"
***