Chereads / Heartbeat Symphony / Chapter 17 - When I See Your Face

Chapter 17 - When I See Your Face

"Oh ya, Ibu jadi penasaran sama teman baru kamu yang dari Jakarta itu. Memangnya, mereka datang kemari dalam rangka apa? Liburan?" tanya Sekar setelah baginya cukup membahas soal Ana.

"Kata Angga sih urusan pekerjaan, Bu. Tadi Lia udah minta maaf dan bilang lain waktu aja makan-makannya."

Belum juga sang Ibu memberikan tanggapan, Ares menghampiri mereka dan ikut duduk di sebelah Lia. Tanpa permisi, dia mengambil cangkir yang sedang dipegang sang kakak, lalu meneguk minuman jahe hingga hampir habis setengahnya.

"Huaaaahhh ... mantep banget!!"

"Aressss ... mulai nih asap naganya keluar. Lagian, nggak sopan banget sih main rebut aja!" protes galak Lia sambil menatap kesal ke arah sang adik.

"Res, bukannya tadi Ibu juga bikinin buat kamu?"

"Hehe, udah abis, Bu," jawabnya sambil nyengir lebar, yang membuat sang Ibu hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.

"Kakak aja belum minum banyak, hooooo ... dasar!" omel Lia yang hanya dibalas kekehan dari sang adik.

"Bu, tau nggak. Kak Lia udah punya pacar lho." Tiba-tiba saja Ares berkata demikian yang hampir membuat Lia tersedak.

"Pacar apa?!"

"Yeeee ... pura-pura lupa. Itu lho yang waktu itu ketemu di minimarket."

"Ih, apaan sih. Nggak jelas banget!" omel Lia kesal sambil mencubit lengan Ares.

"Ssssttt ... jangan keras-keras. Nanti Ayah bangun. Kasian," tegur Sekar lembut mengingatkan kedua anaknya yang mulai bertengkar.

"Iya nih, Ares. Dateng-dateng bikin kerusuhan!" protes Lia lagi dan sebelum sempat Ares menjawab, Sekar menjelaskan kalau sang kakak sudah menceritakan tentang pertemuan tersebut, termasuk juga dengan pemuda yang bernama Angga.

"Ohhhh ... kirain. Padahal, udah seneng banget lho kalo kak Lia punya pacar. Soalnya selama ini, betah banget ngejomblonya," sahut Ares santai.

"Ohhhh ... jadi, selama ini nggak seneng nih karena aku jomblo? Kenapa emang?" tanya Lia sewot sambil melirik sinis ke arah sang adik.

"Ya iyalahhh ... ya kali. Kakak kan nggak jelek-jelek amat, tapi masa nggak ada yang mau? Atau jangan-jangan ..."

Belum juga Ares menyelesaikan bicara, Lia langsung menjitak, lalu melingkarkan tangan pada tengkuk sang adik.

"Aduuhh ... aduhhh ... Kak, lepas, Kak!"

"Jangan-jangan apa? Ayo jawab! Aku masih normal. Uh, rasain."

Lia semakin erat mengalungkan tangan pada tengkuk sang adik, lalu kembali menjitaki kepalanya. Tidak keras, kok, tapi cukup membuat Ares minta ampun untuk dilepaskan.

"Ya ampunn ... udah ... udah. Kalian ini udah besar, masih aja berantem. Dibilangin nanti Ayah kebangun. Udah, sekarang masuk aja. Tidur. Ayo, cepet."

Akhirnya Sekar menegur kedua anaknya yang kembali mulai bertingkah. Sambil menepuk pundak keduanya, dia meminta Lia dan Ares untuk masuk ke dalam rumah karena malam mulai larut.

---

Lia sudah berada di kamar dan sedikit merapikan tempat tidurnya yang sedikit berantakan. Selesai berbenah, dia meraih ponselnya yang sedari tadi tak disentuh karena sedang diisi daya.

Ada beberapa pesan masuk, khususnya dari Group Selamat Sukses yang nampaknya sangat heboh hingga menumpuk sampai 500 chat lebih.

"Ya ampun, pada bahas apa sih?" gumam Lia, lalu sementara mengabaikan group tersebut dan beralih pada chat pribadi yang masuk.

Salah satu pesan tersebut datang dari Angga. Tak hanya pesan saja, pemuda itu juga menelponnya beberapa kali. Sejenak, Lia terdiam sambil memandangi benda itu. Akhirnya karena merasa tak enak, dia memutuskan untuk membalas chat dari Angga lebih dahulu. Namun setelah kira-kira sepuluh menit sudah berlalu, ternyata Angga tak juga kunjung membalas.

'Mungkin udah tidur' batin Lia dan dia memutuskan untuk beristirahat saja.

***

Keesokan harinya …

"Evan, kenapa nggak bangunin aku, sih? Tega banget ngebiarin aku tidur di sofa."

Evan menoleh beberapa saat ke arah sang sahabat, lalu kembali melanjutkan aktivitasnya membuat nasi goreng yang sebentar lagi matang. Dia sama sekali tak menggubris omelan dari Angga, malah memilih membahas topik yang lain.

"Semalem Lia bales pesan kamu, Ngga. Muncul di pop up, tapi belum aku buka."

"Oh, harusnya kamu buka aja."

"Privasilah. Kecuali kalau urgent. Nih, udah mateng. Besok gantian kamu yang siapin, ya. Sesuai kesepakatan," kata Evan sambil meletakkan dua piring nasi goreng beserta telur goreng serta sosis di atas meja makan.

"Iya Pak iyaaaa. Lagian, kenapa sih nggak pesen aja? Ribet banget masak segala,"protes Angga, namun pandangannya masih tertuju pada ponselnya.

"Mau nggak? Kalo nggak, ya, nggak masalah. Kamu beli aja, beli pake uang sendiri. Jangan minta." Dingin Evan menjawab, lalu memilih untuk mulai menyantap sarapannya.

"Ck! Iya Pak iya … kalo beli kan enak, Pak Evan. Kalau bikin sendiri kan …"

Seketika Angga berhenti berbicara setelah satu sendok makan nasi goreng buatan Evan masuk ke dalam mulutnya. Netranya membulat, lalu menatap Evan dengan sorot mata seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dirasakan oleh lidahnya.

"Kenapa? Nggak enak?" tanya Evan dingin tanpa peduli terhadap ekspresi aneh yang ditunjukkan Angga.

"Gila sih enak banget!! Sejak kapan? Sejak kapan jadi pinter masak gini? Ah … pasti beli. Ngaku nggak, Van?"

Angga melontarkan pertanyaan beruntunnya sekaligus rasa tidak percayanya kepada Evan yang bisa membuat nasi goreng seenak itu. Sejauh menjadi Asisten sang sahabat, dia sama sekali tidak pernah melihat Evan berkecimpung di dapur. Apalagi membuat nasi goreng yang rasanya sangat enak.

"Terserah apa kata kamu deh, Ngga. Udah buruan dihabisin mumpung masih panas. Itu juga kalo mau. Nggak juga nggak papa sih,"sahut Evan santai.

"Eh ya nggak gitu, maksudnya … selama ini, kapan kamu pernah belajar masak? Kok aku nggak pernah liat?"

"Memangnya kita tinggal serumah?"

"Oh iya juga, hahaha. Bego banget gue."

"Baru sadar? Hahaha," sahut Evan sambil tertawa.

Keduanya menghabiskan sarapan, lalu Angga membereskan semua perabot makan sebagai bentuk terima kasihnya karena sudah dibuatkan sarapan oleh Evan.

Sebenarnya bukan perkara sulit bagi mereka, apalagi Evan untuk mendatangkan Asisten Rumah Tangga untuk mengurus rumah sekaligus menyiapkan makanan serta keperluan lain. Namun, Evan memilih untuk tak ada ART yang turut tinggal di rumah tersebut. Karena dirinya memang benar-benar ingin merasa tenang. Cukup hanya ada Angga saja sebagai asistennya yang bahkan kehadirannya sudah membuat kondisi rumah menjadi sangat ramai.

Evan hanya memanggil ART dua hari sekali untuk membersihkan rumah sekaligus membereskan cucian. Itupun juga menyewa jasa loundry supaya lebih praktis dan terjamin. Pada intinya selain urusan pekerjaan, Evan ingin sejenak bisa merefresh pikiran dari hiruk pikuknya kota metropolitan. Selain itu adalah sebagai salah satu cara untuk 'melarikan diri' dari agenda perjodohan yang selalu digaungkan oleh sang Papa.

Anggap saja, berada di tempat ini adalah sebagai salah satu cara Evan untuk mengulur rencana konyol tersebut. Sambil memikirkan saran yang pernah disampaikan Angga kepadanya, tentang pembuktian yang kuat untuk menolak perjodohan tersebut.

Selain itu juga, dia benar-benar ingin sejenak beristirahat agar pikiran yang sering penat karena kesibukan yang meminta untuk diselesaikan.

Sebenarnya Evan sangat lelah, apalagi Puspa Ajeng sang Mama seolah sama sekali tidak perduli akan hal itu. Wanita paruh baya itu memang tak bisa ikut andil kalau Jhonatan sang suami sudah membuat keputusan. Lalu, bagaimana dengan kakak pertama dan keduanya yang bebas memilih jalan hidupnya sendiri? Mengapa dirinya tak bisa melakukan hal yang sama seperti Agatha dam Andre? Jujur, pertanyaan tanpa jawaban itu sering mengusik pikiran Evan.

Padahal selama ini, dirinyalah yang selalu menjadi anak penurut. Namun kenapa seolah dia sama sekali tidak memiliki hak untuk menentukan jalan hidupnya sendiri? Khususnya terkait pendamping hidup.

Dari sini, dapat dilihat kalau Evan lah yang justru memiliki pemikiran yang jauh lebih dewasa daripada kakak-kakaknya. Padahal dia anak bungsu, namun mau memikirkan nasib perusahaan keluarga dan menerima tanggungjawab sebagai pengganti Papanya.

---

"Van, mau kemana?" tanya Angga saat melihat Evan berjalan mendekat ke arahnya dengan pakaian yang sudah rapi.

"Mau keluar, bete di rumah. Mau ikut?"

"Sebenernya, hari ini aku ngajak Lia buat ketemu. Dia kan anak sini, pasti paham tempat-tempat asik yang bisa didatengin. Sayangnya, Lia nggak bisa. Ada acara katanya," terang Angga, lalu memilih berbaring lagi di sofa sambil menonton TV.

"Jadi, kamu nggak mau ikut?" tanya Evan memastikan.

"Heheh, tidak Pak Evan. Saya jaga rumah, ya. Mager parah!"

"Oke, tapi jangan telpon-telpon aku kalo nggak penting. Inget itu ya."

"Siyappppp Boss!!"

---

Evan berkendara dengan santai, sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling; menikmati kegiatan dari daerah yang mendapat julukan 'kota bunga' itu.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi, lalu lintas kota begitu tenang dan tidak membuat Evan merasa rungsing seperti di Ibukota. Karena, segalanya seolah berjalan dengan begitu saja seakan mengalir dengan tertibnya.

"When I see your face … There's not a thing that I would change. 'Cause you're amazing … just the way you are…."

Lagu "Just The Way You Are" milik Bruno Mars menemani jalan-jalan Evan pada pagi hari itu. Sesekali dia turut bernyanyi karena lagu tersebut adalah salah satu tembang favoritnya sedari dulu.

Saat sedang asyik mengemudi, Evan memelankan laju kendaraannya ketika melihat seorang gadis hendak menyeberang melalui zebra cross untuk menuju ke arah Rumah Sakit. Dia memberikan isyarat tangan ke samping sebagai tanda bahwa dirinya hendak menyeberang.

"Lia?" gumam Evan lirih ketika mengamati si gadis yang saat ini sudah berhasil menyeberang dan sejenak berdiri di depan gerbang rumah sakit.

Tin! Tin! Tin!

Seketika Evan tersadar karena kendaraan lain mulai membunyikan klason dari belakang, memintanya untuk segera melajukan mobilnya. Reflek, Evan menekan tombol sein ke kanan dan memilih untuk masuk ke dalam area Rumah Sakit.

Langsung saja, dia pun mencari tempat parkir khusus untuk mobil yang masih kosong. Untungnya, juru parkir dengan sigap menghampiri dan membimbingnya agar mudah dalam memarkirkan mobil.

"Makasih ya, Pak," ucap Evan ketika keluar dari mobil dan mendapati si Bapak masih berdiri di dekat mobilnya.

"Nggih, sami-sami. Mau jenguk, Mas?"

"Eh, iya Pak. Sudah jam bezuk?" tanya Evan sedikit tergagap, mengingat dia sendiri tak tahu apa tujuan sebenarnya datang ke tempat itu. Dia hanya melihat gadis seperti Lia, lalu reflek melajukan mobilnya menuju parkiran rumah sakit.

"Iya, sudah jam bezuk. Monggo silakan, di sebelah sana pintu masuknya, Mas," kata si Bapak dengan ramah yang dibalas anggukan oleh Evan.

Setelah Bapak Parkir pergi, Evan mengedarkan pandangannya untuk mencari Lia. Namun, agaknya dia sudah kehilangan jejak sang gadis. Karena sudah terlanjur berada di area Rumah Sakit, akhirnya Evan memutuskan untuk masuk ke dalam. Barangkali, gadis yang dilihatnya memang Lia dan berharap mereka bisa bertemu.

Kedatangan Evan agaknya sedikit banyak menundang perhatian para pengunjung yang sedang duduk mengantre di setiap Poli Klinik yang ada di sana. Bagaimana tidak mengundang perhatian? Evan hadir layaknya seorang artis dengan ketampanan yang tidak wajar.

Langkahnya begitu mantap dan terlihat santai. Namun sorot matanya menampilkan keramahan yang begitu mendalam.

Ketika tanpa sengaja netranya bertumbuk dengan seorang nenek-nenek yang tengah duduk mengantre menggunakan kursi rodanya, Evan tersenyum sambil sedikit mengangguk. Terdengar bisik-bisik kagum yang terlontar dari para pengunjung. Namun hal tersebut tak membuat Evan mati gaya.

Netranya kembali berusaha mencari sosok Lia. Namun, sejenak Evan menjadi sedikit ragu, apakah dirinya benar-benar melihat si gadis atau hanya seseorang yang mirip seperti Lia saja.

Tak kunjung menemukan apa yang dicari, Evan memutuskan untuk duduk di salah kursi tunggu yang masih kosong untuk sejenak beristirahat.

---

Drrrrtttt … Drrrtttt … Drrtttt …

Evan mengambil ponselnya yang bergetar dari dalam saku. Pada detik berikutnya, mimik wajahnya langsung berubah ketika melihat nama yang muncul pada layar; Mama!

Seperti biasa, Puspa—Mama Evan baru sempat menelpon dan menanyakan tentang kabarnya. Padahal, dirinya dan Angga sudah tiba beberapa hari yang lalu. Wanita itu memberikan nasihat dan beberapa pesan kepada Evan untuk tetap menjaga kesehatannya.

Namun, agaknya perhatian Evan kini teralihkan karena dia kembali melihat Lia. Tanpa di duga, Lia yang juga tengah menerima telpon, terlihat berjalan mendekat ke arahnya untuk duduk di kursi kosong yang berada di depan Evan.

"Ma, sambung nanti lagi. Aku mau jalan."

Setelah berkata seperti itu, Evan langsung memutus panggilan telponnya, kemudian untuk sejenak dia memperhatikan Lia dari belakang yang masih sibuk menelpon. Dia memutuskan untuk menunggu, hingga sang gadis menyelesaikan panggilannya.

"Udah, ya. Kalian berisik banget sumpah. Ini idenya siapa sih telpon rombongan begini? Macam mau nonton bola aja, rame-rame. Heh, Manda? Ini pasti kerjaan kamu, ya? Udah ah, chat aja. Aku lagi di Rumah Sakit, nih. Bye!"

Tanpa menunggu sahutan dari teman-temannya, Lia langsung mengakhiri panggilan tersebut. "Ckckck ... ada aja tingkahnya si Manda, hihi. Dasar koplak!" ucap Lia sambil membalas chat dari sang sahabat yang langsung membrondongnya dengan banyak sekali pertanyaan.

Mendadak saja, sebuah panggilan menebutkan nama si gadis,

"Lia?"

"Eh, iya?" secepat kilat, Lia menoleh ke belakang setelah mendengar namanya dipanggil.

Netra keduanya saling bertemu, menatap satu sama lain tanpa berkedip sama sekali. Detik demi detik berlalu, namun tak ada sepatah kata yang terucap. Lalu, mendadak saja sebuah desiran halus menggelitik hati menyapa untuk mereka. Dan, kesemuanya itu telah dengan serta merta langsung saja memberikan satu sensasi asing yang belum pernah dirasakan sebelumnya.

Perlahan rasa itu mulai menjalar kesekujur tubuh, lalu bermuara pada detak jantung mereka yang iramanya berubah menjadi tak biasa. Dan … apakah ini yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama?

***