Chereads / Heartbeat Symphony / Chapter 14 - Musibah Yang Menimpa

Chapter 14 - Musibah Yang Menimpa

"Siapa yang akan menjelaskan lebih dahulu? Kamu atau dari pihak kami?" tanpa memberi jeda yang lama, Angga kembali melemparkan pertanyaan kepada Ana yang semakin merapatkan bibir.

Rasa tersudut serta malu dan juga takut, membuat Ana tiba-tiba saja bangkit dari duduknya untuk pergi dari tempat itu.

"Jika kau pergi, maka ... urusan ini akan lebih panjang. Dan tentunya melibatkan pihak yang berwajib karena ini adalah kasus penipuan." Dengan nada tegas, Angga mengatakan hal tersebut yang sukses membuat langkah Ana terhenti.

Kakinya terlihat gemetar, bahkan kedua tangannya saling meremas satu sama lain. Pada akhirnya, Ana membalikkan badan lalu kembali duduk ke tempat semula. Wajahnya nampak lesu, bahkan sama sekali tak mau menatap Angga dan Evan.

"Ja-jangan ... jangan lapor," ucap Ana lirih dengan suara bergetar karena ketakutan.

"Dengarkan baik-baik, apa yang akan Angga sampaikan kepadamu," sahut Evan datar.

Ana kembali menelan liurnya. Dia benar-benar takut dan ingin segera pergi dari tempat itu. Namun ancaman tentang 'pihak yang berwajib' alias Polisi membuatnya down. Dia tak ingin masuk penjara dan mendekam konyol di balik jeruji besi. Ana sangat malu, bahkan untuk menyeka keringat yang mengalir di pelipisnyapun tak berani dia lakukan.

Hal tersebut sama sekali tak membuat Angga ataupun Evan kasian. Lalu, Angga sebagai juru bicara Evanpun menjelaskan semuanya kepada Ana. Dan, lagi-lagi telah sukses membuat gadis itu terdiam pasrah.

Meskipun begitu, di dalam lubuk hati Ana yang terdalam, ada setitik rasa marah yang menyelimutinya. Karena lagi-lagi, Lia berhasil mengagalkan apa yang sudah dia rencanakan dan juga kembali membuatnya merasa malu. Rasa benci yang ada di dalam hati Ana, kini telah berubah menjadi sebuah dendam yang haus akan pembalasan.

"Setelah ini, kamu harus ngucapin makasih sama Lia. Karena, dia nggak mau ikut dateng kesini. Alasannya … kamu tau? dia nggak mau kalo kamu akan jadi tambah malu. Jadi, Lia memutuskan untuk pulang. Selain itu, dia juga yang meminta kami untuk menyelesaikan masalah ini dengan cara mediasi." Dengan nada tegas dan dingin, Angga menutup penjelasan panjang lebarnya kepada Ana yang semakin membuatnya sesak.

"Kami sama sekali nggak tahu, sebenarnya kalian memiliki masalah apa. Karena kami adalah pendatang baru. Tapi, aku harap ... kedepan, kamu nggak mengulangi kesalahan yang sama. Kali ini, kamu beruntung karena ada seseorang yang berbaik hati sehingga kamu nggak perlu dibawa ke Polisi. Bagaimana kalau justru terjadi sebaliknya?" imbuh Angga lagi.

Bersamaan dengan itu, tumpahlah air mata Ana yang sudah ditahannya sedari tadi. Perasaan malu, marah, geram, dan sedih berkumpul menjadi satu dan telah berhasil membuatnya menjadi semakin tak berkutik.

Apa yang dilakukan oleh Ana telah terbongkar dengan jelas. Dan karena perbuatannya itu, dia harus kembali membayar semuanya dengan rasa malu yang harus ditanggungnya.

Ana memohon dengan sangat agar Evan dan Angga benar-benar mengampuninya. Dia berjanji kalau tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi. Dan yang jauh lebih penting daripada itu, dia juga berjanji bahwa tidak akan mengganggu Lia lagi ... begitulah katanya.

"Kamu nggak perlu janji sama aku dan Evan. Tapi, kamu harus berjanji sama diri kamu sendiri," sahut Angga datar setelah mendengar ucapan janji-janji yang disampaikan oleh Ana.

"Oh ya, meskipun kami pendatang dan kamu asli orang sini, bukan berarti kamu bisa bertindak seenaknya, Ana. Justru seharusnya sebagai orang yang asli berasal dari daerah sini, kamu harus menunjukkan sikap yang baik kalau tidak ingin mendapatkan stempel buruk dari orang lain." Lagi-lagi, dengan fasihnya Angga memberikan wejangan tajam kepada Ana.

Setelah Angga selesai menjalankan tugasnya sebagai juru bicara, kini giliran Evan yang membuka suara. Dia meminta kembali sapu tangan milik Lia yang sudah diterima oleh Ana. Untungnya, sang gadis selalu membawa sapu tangan tersebut. Jadi, saat itu juga dia menyerahkan kembali benda itu kepada Evan.

Setelah pembicaraan dianggap selesai, Evan dan Angga pergi meninggalkan Ana sendirian. Angga mengatakan bahwa Ana tak perlu membayar makanan ataupun minuman yang sudah dipesan, karena semua sudah dibayarkan oleh mereka berdua.

Sepeninggal dua pemuda itu, Ana menangis sesenggukan meratapi balasan yang harus diterima akibat perbuatannya yang sudah bersikap curang kepada Evan dan juga Angga, khusunya kepada Lia—gadis yang selalu saja diganggunya itu.

***

Angga dan Evan sudah berada di mobil dan belum beranjak dari tempat parkir Seteras Coffe Shop tersebut. Selain untuk mengamati Ana yang belum nampak keluar dari tempat itu, mereka sedang mencoba menghubungi Lia karena Angga sudah meminta si gadis untuk tetap tinggal dan menunggu.

"Duh, telponnya nggak diangkat. Padahal aku udah bilang sama Lia, kalau hapenya harus standby dan jangan pulang dulu sebelum kita bertiga ketemu," kata Angga yang terlihat sudah mulai resah.

"Hmmm … coba lagi, Ngga."

"Ih, nggak diangkat lagi," ucap Angga dengan nada sedikit kesal. Lalu, memutuskan untuk mengirimkan pesan kepada Lia.

"Ana udah keluar, Ngga. Dia udah naik ojol. Hmmm … kalo kita sambil jalan aja, gimana?"

"Oh iya, nggak papa. Tolong kamu chat Lia, Van. Tanya, posisinya di mana sekarang." Evan menyerahkan ponselnya kepada Evan, sementara dirinya menyalakan mobil, lalu pergi dari tempat itu.

"Terkirim, sih. Tapi belum di-read."

"Duhh, kenapa tuh anak ya?"

"Ngomong-ngomong, kamu udah tau rumahnya belum, Ngga? Maksudku alamat."

"Hehehehehe, tadi saking asiknya ngobrol, aku sampe nggak nanya alamat rumah."

"Kan … kan, emang nggak bisa diandelin banget jadi orang!" sahut Evan sambil mendengus kesal, lalu memilih mengalihkan pandangannya ke arah depan.

"Heh, kok kamu yang kesel sih? Harusnya aku dong, Van. Udah belasan tahun bareng, masih aja nggak percaya sama aku. Sekarang, semua udah jelas kan. Aku sama sekali nggak bohongin kamu. Lia itu ada, asli, dan kita pernah ketemu di minimarket," jawab Angga panjang lebar tak mau kalah dengan jawaban dari Evan.

"Ya kali aja kamu mau balas dendam karena udah aku kerjain."

"Bales sih bales, tapi nggak gitu juga karena ini menyangkut orang lain. Dan … sumpah ya, kita harus bersyukur, khususnya kamu, Van."

Evan terdiam sejenak, lalu mengiyakan apa yang dikatakan oleh sang sahabat. Dan dia paham apa yang dimaksud oleh Angga tentang mengapa mereka harus bersyukur dari kejadian itu.

Pertama, Evan dan Angga mengambil satu pelajaran penting; bahwa ada saja manusia yang memanfaatkan suatu kesempatan yang datang, agar bisa mengambil keuntungan pribadi sebanyak-banyaknya tanpa mau memikirkan orang lain.

Yang kedua, mereka masih dipertemukan dengan orang-orang baik seperti Lia—yang ramah dan menerima mereka sebagai teman, meskipun belum lama saling mengenal. Selain itu, mereka belajar dari si gadis tentang arti memaafkan seseorang yang sudah berbuat jahat, bahkan tidak hanya sekali duakali saja.

---

"Gimana, Lia udah bales belum, Van?"

Belum juga Evan menjawab, telpon Angga berdering dan nama Lia tertera di layar sebagai penelpon.

"Panjang umur, Ngga. Ini anaknya telpon. Kita nepi dulu."

Angga mengangguk, lalu menepikan mobilnya di tempat yang diperbolehkan.

"Lia, kamu di mana?" tanpa basa-basi, Angga langsung menjawab. Bahkan sapaan dari Lia sama sekali tidak ditanggapi.

"Maaf, Ngga. Aku lagi di jalan dan bentar lagi sampe rumah. Adikku telpon, ada urusan penting katanya," sahut Lia dari seberang sana, namun nada bicaranya terdengar lesu.

"Yahhhh, padahal masalah Evan sama Ana udah selesai, lho."

"Syukurlah kalo udah selesai. Lain waktu aja ya ketemunya. Eh, udah dulu. Nanti disambung chat aja, aku mau turun."

"Eh, Lia ... Lia ... tungg ..."

Tuttt!

"Dimatiin," ucap Angga dengan lesu, sambil meletakan ponselnya ke dalam saku.

"Mungkin Lia lagi ada urusan, Ngga."

"Iya, katanya ada urusan penting. Adiknya telpon."

"Ya udah, mungkin lain waktu aja. Sekarang kita pulang, deh. Udah mau sore juga. Selain itu, daritadi ada beberapa telpon yang belum aku jawab. Dari Mama sama Papa. Hufftttt ... pasti itu-itu lagi yang dibahas," gerutu Evan sambil melempar pandang keluar jendela.

"Om Jho dan Tante Ajeng emang nggak asik," sahut Angga sambil menyalakan mobilnya, lalu kembali melaju pergi meninggalkan tempat tersebut.

***

"Ares, gimana kondisi Ayah?" tanya Lia kepada sang adik begitu dirinya tiba di depan rumah.

Ares yang sedang duduk di teras, langsung bangkit dari duduknya dan menghampiri sang kakak yang sedari tadi ditunggunya.

"Udah diobatin, Kak. Sekarang lagi istirahat. Kebetulan Pak Syamil lagi di rumah, jadi bisa langsung dateng buat periksa Ayah."

Pak Syamil adalah tenaga medis yang menjabat sebagai kepala perawat di salah satu Rumah Sakit yang ada di daerah tersebut. Beruntungnya, lelaki itu masih berada di rumah dan belum berangkat dinas ke Rumah Sakit. Sehingga, Bimo—Ayah Lia dan Ares bisa ditangani dengan segera.

Mereka berdua masuk ke dalam rumah tanpa menimbulkan suara berisik. Dengan hati-hati, Lia dan Ares menengok kamar tidur orangtua yang tidak tertutup pintunya. Untuk beberapa saat, keduanya diam mematung di bibir pintu sambil memandangi sang Ayah yang tengah berbaring di tempat tidur dengan tatapan sendu.

Ada perban yang membalut kening dan juga sikunya. Hal itu menandakan kalau si Ayah mendapatkan luka yang terbuka sehingga harus ditutup dengan perban. Puji syukur, tidak ada cidera parah. Bahkan kakinya nampak tidak mendapatkan luka serius sama sekali. Meskipun begitu, tetap saja ada rasa khawatir yang menyelimuti. Apalagi, Bimo sang Ayah masih menjalani rawat jalan pasca operasi.

Mengetahui jika kedua anaknya berdiri di ambang pintu, dengan isyarat tangan Sekar meminta mereka untuk masuk. Lia dan Ares mendekat, lalu berdiri di dekat Ibunya yang sudah duduk di tepi ranjang.

Lia merangkul Ibunya karena merasa sangat sedih melihat kondisi Ayah yang kembali mengalami musibah. Kejadian itu benar-benar membuat Lia takut. Dia takut jika Ayahnya akan menjadi semakin sakit dan pemulihannya menjadi lebih lama lagi.

'Hmmm … nggak gitu. Ayah pasti akan cepat pulih' demikian ucap isi hati Lia kala itu. Dia merubah prasangka buruknya menjadi doa-doa baik yang dipanjatkan untuk Ayahnya; semoga lekas sembuh seperti sedia kala.

Setelah memastikan jika Bimo sudah benar-benar terlelap, mereka bertiga keluar dari kamar tersebut. Lia mengikuti Ibunya menuju dapur, sementara Ares kembali duduk di teras.

"Ayah ngeyel minta ikut ke kebun, padahal Ibu sudah bilang untuk menunggu di teras rumah aja. Tadinya nurut, tapi pas Ibu lagi sibuk motong bunga, tau-tau ada teriakan minta tolong. Ternyata Ayah jatuh karena nyusul ke kebun. Puji syukur nggak papa, tapi pasti badannya sakit-sakit karena ketimpa kursi rodanya." Sekar—Ibu Lia langsung menceritakan kronologis kejadian yang menimpa Bimo. Mendengar penjelasan tersebut, Lia hanya diam karena dadanya mulai terasa sesak.

Lia tak menyalahkan Bimo sang Ayah ingin sekali menjengkuk kebun bunga meskipun kondisinya belum memungkinkan. Tempat tersebut adalah ladang penyambung rezeki bagi keluarga mereka selama belasan tahun dan teramat sangat dicintai oleh Bimo.

"Kalau Ayah pengin ke kebun, turuti aja, Bu."

"Tapi, aksesnya ke sana kan agak susah, Lia. Kurang lebar juga. Dan lagi, masih banyak tukang yang sibuk renovasi greenhouse dan kebun kita supaya lebih nyaman untuk pengunjung yang datang nanti."

"Kalau begitu, nanti minta tolong sama tukangnya untuk lebarin jalan samping rumah yang menuju kebun, Bu. Bagaimana?"

"Tapi …"

"Demi Ayah, Bu. Ibu kan paham, Ayah selalu senang kalau berada di kebun. Selain itu, biar Ayah juga nggak bosan. Dan lagi kalo ada apa-apa, kita bisa cepat tanggap." Lia kembali menambahkan alasan agar sang Ibu bisa lebih memikirkan tentang idenya itu.

"Coba nanti Ibu minta tolong sama tukangnya, ya," sahut Sekar sambil tersenyum sebagai tanda setuju dan menerima masukan dari sang anak gadis.

***