Chereads / Heartbeat Symphony / Chapter 15 - Aku Juga Berhak Memilih

Chapter 15 - Aku Juga Berhak Memilih

Dua lelaki muda itu sudah tiba kembali di rumah untuk melakukan aktifitas pribadi masing-masing. Evan memutuskan menuju kamar untuk langsung membersihkan diri. Sementara Angga, dia malah lebih memilih untuk malas-malasan berbaring di sofa ruang tengah dengan alasan ingin bersantai sejenak.

Saat Evan sedang bersiap untuk membersihkan diri, tanpa sengaja sapu tangan milik Lia terjatuh dari dalam saku kemeja yang hendak dia lepaskan. Lantas saja dia memungut benda tersebut. Namun anehnya, sudut bibirnya terangkat naik saat memperhatikan benda yang selama ini menyimpan misteri tentang pemiliknya.

Hari ini, Evan hanya melihat Lia secara jauh saja tanpa sempat memperhatikan si gadis dengan lebih seksama. Meskipun begitu, dia mengakui kalau Lia adalah gadis yang cantik. Dan semua yang tergambar dari profil si gadis, adalah persis seperti apa yang sudah pernah Angga sampaikan padanya.

Namun ternyata ada satu hal yang tak terlupakan bagi Evan. Yaitu, tentang kebaikan hati Lia yang masih memikirkan Ana meskipun si gadis sudah berbuat jahat kepadanya. Karena, gadis tersebut sama sekali tak mau mengambil keuntungan dengan cara mempermalukan orang lain.

Di depan sapu tangan itu, Evan berharap jika suatu saat mereka akan kembali bertemu. Karena, dia memang ingin mengembalikan sapu tangan tersebut kepada pemilik yang sesungguhnya. Selain untuk berkenalan, dia juga ingin menyampaikan permohonan maaf dan rasa terima kasih yang sempat keliru dia alamatkan pada orang lain.

Beberapa lama dia mengamati dan meneliti sepotong kain yang penuh kenangan tersebut. Dan entah bagaimana, pikirannya juga dibawa melayang kembali pada kejadian-kejadian tak terduga yang mengikuti kemunculan dari benda itu. Setelah beberapa lama terpaku perasaan dan merasa cukup untuk memandangi sapu tangan berwarna krem penuh arti tersebut, Evan memutuskan untuk melanjutkan aktivitasnya membersihkan diri.

Sementara itu …

Angga masih berbaring di sofa dan bahkan hampir terlelap, jika saja dering ponsel miliknya tak berteriak memekakan telinga. Dengan malas, pemuda itu meraih benda berbunyi berisik yang sudah diletakkan di atas meja.

"Hoaammhh … ya halo. Dengan siapa aku bicara?" tanyanya tanpa memperhatikan siapa gerangan yang menelpon.

"Halo, Erlangga."

Manik mata hitam Angga membulat ketika mendengar suara yang tak asing baginya itu. Setengah meloncat, dia bangkit dari berbaringnya sambil mengacak-ngacak rambutnya seperti orang frustrasi. Dia menyesali dirinya sendiri yang langsung menerima panggilan itu, tanpa melihat nama si penelpon lebih dahulu.

"Halo, Angga." Suara dari seberang telpon kembali terdengar dan semakin membuat Angga panik.

"Ha-halo, Om Jho. Maaf-maaf, tadi saya ngantuk sekali, Om. Gi-gimana, ada yang bisa saya bantu?" sedikit tergagap, Angga menjawab.

"Om mau bicara sama Evan. Dari tadi, Om sudah hubungi dia tapi sama sekali tidak ada jawaban. Bahkan pesanpun tak dibaca." Terdengar nada kesal diujung kalimat Jhonatan yang membuat Angga mengurut kening.

"Seharian kami sibuk di luar, Om. Apalagi setelah bertemu dengan beberapa kolega. Mereka meminta saya dan Evan untuk berkunjung ke rumah pribadi mereka," jawab Angga asal.

"Oh ya? Apakah itu pertanda jika kita memiliki peluang bagus terkait kerjasama dengan kolega tersebut?" tanya Jhonatan yang agak antusias.

"Ba-bagus, Om. Peluangnya besar karena di daerah ini belum ada supermarket yang lengkap. Yang ada disini, hanyalah sebatas minimarket saja."

"Baiklah kalau begitu. Lalu, bisakah kau memberitahu Evan kalau aku menelpon? Ada beberapa hal penting yang harus aku diskusikan dengannya. Hmmm ... kenapa dia jadi susah sekali untuk dihubungi …" Suara dari seberang telpon itu kembali terdengar tegas dan sarat akan rasa kesal.

"Ba-baik, Om. Segera. Tadi Evan sudah masuk ke kamarnya, mungkin mandi. Tapi setelah ini, segera saya akan memberitahu kalau Om menelpon."

"Segera ya, Ngga."

Setelah menjawab seperti itu, telpon langsung saja terputus. Dengan bergegas, Angga langsung saja pergi menuju kamar Evan. Lalu seperti seorang penjahat yang menemui jalan buntu, dengan sedeikit rasa kesal ia menggedor-gedor kamar sang sahabat dengan cukup keras.

"Van … Evan, buruan buka pintunya!" teriaknya Angga sambil terus menggedor pintu yang sukses membuat kebisingan di rumah tersebut.

Evan yang baru saja menyelesaikan mandinya, spontan saja jadi langsung dibuat kesal oleh sikap Angga yang bar-bar tersebut. Sambil mendengus sebal, dia berjalan menuju ke arah pintu kamar yang terus digedor dari luar.

"Bisa pelan nggak? Lama-lama jebol juga ini pintu." Sewot Evan menjawab sambil menatap bengis ke arah Angga.

"Kamu udah terlalu sering mengabaikan panggilan Om Jho, Van. Aku tahu kamu kesel, tapi jangan begini. Apa kamu nggak malu? Setiap kali Om Jho gagal nelpon kamu, dia selalu telpon aku dan udah pasti telpon Berlin juga," cecar Angga tanpa jeda begitu pintu kamar telah dibuka.

Evan hanya diam dan tak memberikan tanggapan apapun, saat dengan fasihnya Angga mengomel. Seolah tak mau berdebat, dia memilih kembali masuk ke dalam kamar untuk mengganti pakaian.

"Habis ini bakal aku telpon balik. Thanks," ucap Evan dengan nada datar tanpa menoleh ke arah Angga.

Tak mendapatkan jawaban lain, Angga memutuskan untuk menutup pintu kamar Evan dan pergi dari sana. Dia tahu kalau sang sahabat pasti kesal terhadap ucapannya, tapi Angga tak peduli. Apa yang dilakukan adalah semata-mata karena dirinya peduli kepada Evan.

Angga hanya ingin agar Evan tidak terus menghindar dari obrolan perjodohan itu. Jika terus saja lari, bukankah masalah tersebut tidak akan pernah selesai?

---

Evan meraih ponselnya, lalu menghubungi Papanya yang memang sudah menghubunginya beberapa kali. Bahkan, panggilan tak terjawab tidak hanya datang dari lelaki paruh baya itu saja, tapi dari Mamanya dan juga Berlin.

Tak butuh waktu lama, panggilan telah diterima oleh Jhonatan. Lama mereka berbicara. Beberapa hal langsung saja dibincangkan, termasuk salah satu yang terpenting adalah tentang rencana kerjasama dengan kolega yang menjadi target PT Galaxy Hemachandra.

Evan menjelaskan dengan lengkap kepada Jhonatan terkait perkembangan rencana perusahaan yang sudah di tetapkan. Lelaki paruh baya itu menanggapi dengan nada puas. Karena hanya cukup dengan mendengar progres dari sang anak, Jhonatan bisa memprediksi bagaimana arah dari kerjasama tersebut berjalan.

Setelah membahas perihal pekerjaan, Jhonatan kembali menyampaikan terkait hubungan Evan dengan Berlin. Tanpa basa-basi, lelaki tua itu meminta Evan untuk segera menyelesaikan tugasnya. Dengan tanpa meminta pertimbangan dari sang anak, dia sendiri langsung saja mentargetkan agendanya.

Dan sudah bisa ditebak, sebuah ultimatum datang. Yakni berisi bahwa sang anak hanya akan diberi waktu sampai pada tahap pembangunan fisik Supermarket saja jika sudah mencapai kesepakatan dalam kerjasama. Setelah itu, dia harus segera pulang untuk mengadakan acara meminang si gadis Berlin yang mesti segera dilakukan.

"Papa … ada sesuatu yang ingin aku sampaikan terkait acara tersebut," ucap Evan setelah menemukan momentum yang pas untuk menanggapi perkataan sang Papa.

"Oh ... katakan saja, Nak."

"Berlin ... Berlin tidak menginginkan rencana perjodohan ini. Dia sudah menyampaikannya padaku, semenjak wacana itu tercetus, Pa."

Tidak ada tanggapan dari Jhonatan. Hanya terdengar deru napas teratur saja dari pria paruh baya itu. Sementara itu, Evan juga terdiam dan tak meneruskan kalimatnya. Nampaknya, dia menunggu jawaban apa yang hendak diberikan oleh sang ayah.

"Haha … jangan bercanda, Stevan Harshil."

Terdengar tawa renyah dari Jhonatan yang memecah keheningan di antara Ayah dan anak itu.

"Aku serius, Pa. Berlin pribadi menolak perjodohan ini, begitu juga denganku."

"Orangtua Berlin sendiri yang mengatakan jika anak gadisnya begitu antusias dengan rencana ini. Karena sedari SMA, bukankah kalian sudah saling suka?"

"Dia hanya merasa tak enak kepada orangtuanya saja, Pa."

"Haha, sudah-sudah. Lebih baik kau istirahat saja sekarang, Stevan. Angga bilang, seharian ini kalian begitu sibuk. Pasti lelah, bukan?"

"Tolong, jangan alihkan pembicaraan kita. Bukankah Papa menginginkan aku untuk membahas masalah ini?" dingin, nada bicara Evan telah berubah seiring rasa emosi yang mulai menyelimuti hatinya.

Jhonatan tak langsung memberikan tanggapan. Lelaki itu terdiam dan lagi-lagi hanya deru napasnya yang terdengar.

"Bagiku ini masalah, Pa. Karena perjodohan ini bukanlah keinginanku atau keinginan Berlin, tapi keinginan kalian semua. Sekarang, bisakah Papa menjelaskan alasan yang sesungguhnya, kenapa Papa begitu ngotot untuk melangsungkan acara itu? aku harap, alasannya bukan karena untuk memajukan perusahaan seperti apa yang terus Papa sampaikan kepadaku. Ck! Memangnya, selama ini hasil kerjaku kurang memuaskan, begitu?"

Tumpah sudah segala kata yang selama ini telah tertahan di dalam benak Evan. Sebenarnya, dia merasa tak puas jika harus mengungkapkan uneg-unengnya melalui telpon. Namun, agaknya Evan sudah tak bisa lagi untuk terus diam dan menghindar, seperti apa yang disampaikan oleh Angga.

"Anak Papa bukan hanya Kak Agatha atau Kak Andre saja. Ada aku yang juga sama-sama memiliki hak untuk memilih jalan hidupku sendiri. Selama ini, aku sudah mengikuti semua arahan dari Papa, di saat kedua kakakku bisa memilih jalan hidupnya sendiri," imbuh Evan tak kalah emosional dari ungkapan yang sebelumnya.

Evan memejamkan mata, sambil mengatur napasnya yang memburu. Dadanya naik turun, tangan kirinya mengepal kuat. Evan terdiam, sementara Jhonatan masih belum mau memberikan tanggapan apapun. Namun, lelaki paruh baya itu masih mendengarkan. Helaan napasnya menjadi tanda kalau dia menyimak apa yang disampaikan oleh Evan.

"Kalau tidak ada hal penting lain yang ingin Papa sampaikan, aku akan akhiri panggilan ini. Jangan lupa sampaikan salamku untuk Mama."

"Beristirahatlah, kau pasti lelah. Angga bilang, seharian kalian berdua datang mengunjungi para calon kolega yang berencana untuk bekerjasama dengan kita …" Hanya itu tanggapan Jhonatan, tanpa mau menyinggung tentang apa yang disampaikan oleh Evan.

Merasa tak ada hal lain yang hendak disampaikan oleh sang Papa, Evan memutuskan untuk mengakhiri panggilan tersebut tanpa salam penutup seperti biasanya.

Ungkapan emosional dari Evan kepada Papanya, rupanya tak luput dari pendengaran Angga yang ternyata masih berdiri di dekat pintu kamar Evan. Dalam hati, dia turut prihatin dengan situasi yang sedang dialami oleh sahabatnya itu.

Angga tahu, bagaimana kerasnya usaha yang sudah dilakukan oleh Evan untuk memenuhi segala titah yang diberikan oleh Jhonatan. Semuanya dilakukan dengan sangat baik, bahkan sangat memuaskan. Yang kesemuanya itu minim dengan cela.

Awalnya, Evan melakukan titah sang Papa sebagai bentuk tanda baktinya sebagai anak. Selain itu, karena kedua kakaknya tak ada yang mau menjadi penerus Galaxy. Padahal, perusahaan tersebut yang telah menjadi sumber penghidupan keluarga dan juga ladang rezeki bagi banyak karyawan.

Namun semakin kesini, loyalitas yang diberikan Evan, malah mulai dimanfaatkan oleh Papanya sendiri. Jhonatan lebih sering mengaturnya untuk ini dan itu. Jika hal tersebut masih berkaitan dengan pekerjaan, Evan sama sekali tidak keberatan. Tapi, titah itu mulai merembet ke arah yang sifatnya pribadi.

"Arrggh … sial," gerutu Evan lirih, lalu meletakkan ponselnya di atas meja dan memilih meneruskan kegiatan mengganti bajunya.

Sementara itu, setelah tak ada lagi suara dari kamar Evan, Angga memutuskan pergi dari sana. Selain tak ingin sang sahabat mengetahui dirinya masih berada di depan kamar, ternyata saat itu Berlin juga menelponnya.

***