Kekacauan yang terjadi di warung sate Cak Irwan tadi malam, harus berbuntut dengan dipanggilnya mereka ke hadapan Ketua RT. Pengurus kampung tersebut, kini telah berperan sebagai pihak penengah atau mediator untuk menyelesaikan perseteruan itu. Apalagi, dalam keributan tersebut melibatkan fisik yang membuat cidera salah satu diantaranya.
Lia mengalami luka di bagian siku akibat di dorong oleh Ana, yang akhirnya membentur bangku kayu yang ada di warung tersebut. Selain mengalami luka itu, keningnya juga sedikit tergores akibat kuku dari jari Ana yang ingin menjambak rambutnya.
Dengan runtut Lia membeberkan kronologis kejadian semalam, setelah diberikan kesempatan oleh Pak RT untuk berbicara. Tak lupa, ia juga meminta dua gadis—Susi dan Hilda untuk menjadi saksi, karena mereka berdua juga terlibat dalam pergibahan yang dipimpin oleh Ana. Bahkan keduanya terlihat tak ada niatan sama sekali untuk melerai, namun malah memilih mojok ke sudut warung karena ketakutan.
Sidang mediasi itu awalnya berjalan dengan lancar, namun suasana menjadi riuh. Gara-garanya adalah karena keluarga Ana merasa tak terima dan sama sekali tak percaya, jika si anak kesayangan yang lemah lembut itu telah bersikap sedemikian bar-bar sehingga membuat orang lain terluka.
"Jangan mainan hape terus. Mumpung udah banyak orang, ayo fitnah aku lagi. Biar semuanya tau, jadi kamu nggak perlu keliling jual bibir." Pedas Lia berkata demikian, setelah selesai menyampaikan penjelasan darinya dan merasa gemas ketika yang bersangkutan malah sibuk bermain ponsel.
Sekar—Ibu Lia mengusap pundak sang anak dengan lembut sebagai sebuah isyarat untuk menenangkannya. Mendapat sentuhan itu, Lia mulai sedikit menjadi lebih tenang. Meskipun begitu, tatapannya tajam menghujam tepat pada netra Ana. sehingga gadis itu pun menjadi sedikit ciut nyalinya.
"Saudari Susi dan Hilda, sekarang giliran kalian bicara. Mohon dengan sangat untuk bersikap sejujur-jujurnya," tegas Pak RT setelah siatuasi dirasa mulai kembali tenang.
Dua gadis itu menunduk ketakutan, kedua tangan saling bergandengan dengan sangat erat lantaran ketakutan.
"Ayo, bilang dong Sus-Hil!" seru Ana geram sambil menatap ke arah dua temannya itu. Bukan hanya menantap, tapi memberikan sebentuk isyarat yang entah apa maksudnya.
"Saudari Ana, mohon diam sebentar karena bukan giliran anda untuk berbicara," tegur Pak RT yang membuat si gadis merengut. "Silakan, saudari Susi atau Hilda dipersilakan untuk bicara."
"Ja-jadi ... a-apa yang dikatakan Li-Lia ... emmm ..." Susi tergagap, tangannya semakin erat mencengkeram lengan Hilda.
"Jadi apa yang dikatakan Lia benar adanya, Pak RT. Kami bertiga ngomongin Lia dan Pak Bimo. Tapi Ana dulu yang memulai pembicaraan itu. Tentang tuduhan pesugihan dan tentang Lia yang dipiara Sugar Babi, eh Sugar ... sugar..."
"Sugar Daddy," imbuh Lia dengan cepat.
"Nah, iya Sugar Daddy!" sedikit berterak, Hilda berkata demikian lalu menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kasar. Rupanya saat berkata panjang lebar seperti itu, Hilda melakukannya dalam satu tarikan napas agar berani berkata sejujurnya di hadapan semua orang.
Begitu selesai berucap, Hilda menunduk sambil mencengkeram erat lengan Susi karena ketakutan mendapat tatapan tajam yang menusuk dari Ana.
"Su-su, apa tadi?" tanya Pak RT yang malah merasa tertarik dengan istilah modern itu.
"Sugar Daddy, Pak RT," sahut salah seorang warga yang ikut dalam sidang mediasi itu.
"Hadehhh ... bahasa enggres. Tapi tunggu dulu, sugar itu bukannya gula? Kalo Daddy kan Bapak, jadi artinya Gula Bapak apa Bapak Gula?!"
Seketika muncullah berbagai rupa ekspresi yang ditunjukkan para warga yang ada di ruangan itu. Ada yang terkekeh geli sambil menutup mulut, ada juga bingung karena memang tak tahu artinya. Tapi tak sedikit pula yang mengurut kening karena merasa pusing dengan analisa Pak RT yang begitu lucu.
"Intinya, Sugar Daddy itu artinya simpanan Om-Om, Pak RT. Ya pokoknya jadi wanita simpanan, dapat duit dari mereka. Tapi yang lebih penting daripada itu, segera saja kita selesaikan mediasi ini secepatnya, Pak."
"Astagfirullah!!!" seru Pak RT yang dengan seketika membuat terkejut orang-orang yang berada di sekitarnya.
"Kenapa, Pak?" tanya salah seorang warga.
"Benar, kita harus selesaikan mediasi ini. Astagfirullah, karena saya malah bahas yang lain." Sekali lagi, jawaban dari Pak RT kembali mengundang beragam ekspresi dari para warganya.
---
Pengakuan dari Susi dan Hilda, telah menjadi bukti bahwa Ana memang menyebarkan fitnah tentang tentang Lia dan Ayahnya. Karena itulah, Ana diperintahkan untuk segera minta maaf dan juga diminta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya karena sudah melukai sang gadis.
Mendengar keputusan tersebut, Ana menangis sejadi-jadinya karena merasa tak terima dengan keputusan itu. Sebab menurutnya, bukan hanya Lia saja yang terluka tapi dirinya juga mengalami hal serupa.
Masih sambil menangis tersedu-sedu, Ana menarik rok panjang yang dikenakan untuk memperlihatkan luka lebam pada tulang keringnya. Sontak saja hal tersebut mendapat sanggahan dari salah seorang warga, yang pada saat itu berada di lokasi.
Dia memang tidak melihat pertikaian yang terjadi pada Lia dan Ana. Namun dengan mata kepalanya sendiri, dia melihat jika kaki Ana sempat menabrang tiang rambu-rambu lalu lintas saat sang gadis dipondong untuk dibawa pulang ke rumah.
Pada saat itu juga, bertambah besarlah rasa malu Ana beserta Ayah Ibunya. Meskipun merasa tak terima, mau tidak mau dia harus meminta maaf kepada Lia dan keluarga. Lalu mengenai luka yang dialami, Lia berhak menuntut ganti rugi kepada pihak keluarga Ana.
Namun, gadis baik itu tak mau melakukannya dengan alasan luka yang dialami bukanlah hal yang serius, meskipun rasanya memang sakit. Begitulah kebesaran hati Lia beserta keluarganya, yang tentu langsung saja membuat para warga menjadi lebih segan. Sedangkan yang sudah terlanjur kemakan berita bohong, agaknya sudah mulai mengerti dan menyesal karena sudah percaya begitu saja tanpa tahu cerita yang sesungguhnya.
Perseteruan itu sudah diselesaikan dengan cara kekeluargaan dan dianggap berakhir. Ya, memang sudah usai di depan Pak RT dan para warga. Namun sejatinya, hal itu belumlah selesai secara pribadi dalam anggapan Ana.
Pun dengan Lia, meskipun sudah memaafkan sikap Ana terhadap dirinya dan keluarga, bukan berarti dia akan melupakan apa yang sudah gadis itu lakukan. Lia tidak dendam, tapi dia hanya "menandai" si gadis yang sudah sedemikian tega bersikap seperti itu.
Barangkali, saat ini Tuhan sedang memberikan balasan kepada Ana. Karena sebenarnya, selama ini si gadis manja namun sebenarnya jahat itu sudah sering menantang permusuhan kepada Lia. Namun, dia sama sekali tak menggubris karena sama sekali tidak menganggapnya sebagai sesuatu hal penting dan harus dipikirkan.
Namun lambat laun, sikap Ana makin menjadi-jadi saja. Dan puncaknya adalah tadi malam, di mana Lia dan juga Ares mendengar secara langsung bagaimana Ana menjelek-jelekan keluarganya. Bahkan terang-terangan membuat fitnah yang begitu parah.
Lia berharap, setelah kejadian ini, Ana tak mengulangi perbuatannya itu. Karena, tentu saja Lia tidak akan tinggal diam. Terserah saja jika Ana akan membully dirinya, namun dia tak terima jika Ayahnya yang harus di hina.
---
Berbeda dengan Lia, kejadian itu benar-benar menjadi pukulan telak bagi Ana. Namun 'pukulan' tersebut bukannya sesuatu yang membuatnya merasa jera, tetapi malah menjadi semacam bahan bakar yang semakin membesarkan perasaan iri dan dengki yang bersemayam dalam dadanya.
'Awas kamu, Lia! Aku akan bales apa yang udah kamu lakukan sama aku. Masih ada satu hal besar yang belum kamu tahu dan tentunya … akan bikin kamu menyesal dan nangis darah!'
Begitulah kiranya isi suara hati Ana yang mencerminkan betapa jahatnya gadis itu. Entah rencana apa yang akan dilakukan. Namun yang pasti, dia akan membalas apa yang telah Lia lakukan. Semua, hanyalah tinggal menunggu tanggal mainnya saja.
***
"Camellia anakku, Ayah minta kamu berjanji agar kejadian itu nggak terulang lagi. Udah, didiamkan aja. Nanti juga capek sendiri."
"Ayah, tapi kak Ana itu keterlaluan. Dan lagi, dia dulu yang nyerang kak Lia." Ares membela sang kakak karena dirinya menyaksikan perseteruan itu secara langsung.
"Ares…" Sekar sang Ibu menegurnya dan memberikan isyarat untuk diam sejenak dan mendengarkan apa yang sedang Ayahnya katakan.
Sementara itu, Lia hanya menunduk, memandang ujung jarinya saat sang Ayah berbicara. Dia sama sekali tak ingin menyela dan akan menunggu hingga Ayahnya selesai bicara.
"Ayah cuma nggak pengin kalau kita ada konflik dengan tetangga. Apalagi Pak Arya dan Bu Sari itu sama-sama petani bunga seperti kita. Kamu pasti tahu, bagaimana susahnya jadi petani kalau orderan lagi sepi. Jika Ana iri, biarkan saja. Biarkan rasa iri itu menggerogoti hatinya. Karena iri adalah salah satu penyakit hati. Yang rugi ya orang itu sendiri."
Dengan nada lembut namun sarat akan ketegasan, Bimo memberikan nasihat tersebut kepada Lia, lebih tepatnya untuk seluruh anggota keluarga.
"Kamu paham, Nok?" sambung Bimo lagi yang dibalas anggukan paham dari Lia.
Untuk beberapa saat, keheningan melingkupi keluarga kecil itu. Hanya terdengar helaan napas lembut dari Bimo dan juga dengusan Ares yang agaknya masih terbawa emosi karena kesal kepada Ana.
Akhirnya, Lia membuka suara karena sang Ayah tak kunjung berbicara. Dia paham bahwa Bimo sudah memberikan waktu kepadanya untuk menjawab.
"Iya. Lia paham, Yah. Lia minta maaf udah bikin gaduh. Sebenarnya, Ana udah berkali-kali bersikap seperti itu dan sama sekali nggak Lia gubris. Tapi semalam, kata-kata Ana benar-benar udah keterlaluan. Nggak masalah kalo Ana mau ngejelek-jelekin Lia, tapi Lia nggak terima kalau dia jelek-jelekin Ayah. Ya, siapapun nggak boleh!"
Suara Lia nyaris bergetar saat mengatakan itu semua dihadapan Bimo. Sekuat tenaga, dia menahan diri untuk tidak menangis. Tangannya mengepal kuat.
"Memangnya dia tau apa? Ayah Lia itu nggak cacat. Tapi karena lagi dikasih musibah aja sama Tuhan. Lagipula, memangnya ada ya orang yang mau kakinya sakit? Seenak jidat sendiri ngatain Ayah cacat, apalagi lemah. Lia nggak terima dong."
Kata-kata itu meluncur bebas dari bibir merah muda sang gadis, bebarengan dengan merembesnya air mata yang melewati pipi. Lia menangis.
Ares yang melihat itu, langsung berpindah untuk duduk disebelah sang kakak dan merangkulnya dengan lembut. Untuk pertama kalinya, dia melihat sang kakak menangis dihadapannya dan bahkan didepan Ayah dan Ibu.
Selama ini, tak pernah sekalipun mendapati seorang Camellia Mettadevi menangis. Bahkan saat sang Ayah mengalami kecelakaan dan harus menjalani operasi, Lia pun tidak menangis. Justru dialah yang paling kuat dan senantiasa menguatkan Ibu dan juga adiknya.
Namun kini, gadis desa nan cantik itu menangis karena tak terima jika Ayahnya dihina serta dilecehkan oleh siapapun. Karena baginya, tidak ada yang bisa menjatuhkan kehormataan Bimo sang Ayah, baik oleh Pak RT atau Pak Bupati sekalipun.
"Kak Lia jangan nangis lagi … ingusnya nempel," bisik Ares yang seketika tubuhnya di dorong oleh Lia agar menjauh.
"Jangan deket-deket! Lagian, siapa juga yang mau dipeluk kamu? Lepas ih!" sewot Lia menjawab, sambil mengusap air mata dan ingusnya yang berhamburan keluar.
Sekar dan Bimo saling melempar pandang dan tersenyum, melihat tingkah dua anaknya yang tak terasa sudah beranjak dewasa itu.
"Kakak jorok! Ingusnya nempel di kaosku. Pokoknya cuciin, aku nggak mau tau!"
"Ogah, weekkk!"
Lia bangkit dari tempatnya duduk, lalu berjalan mendekat ke arah sang Ayah. Dia berdiri di belakang Bimo, lalu merangkulkan kedua tangannya untuk memeluk lelaki itu dari belakang. Sekalipun harus terhalang oleh kursi roda, Lia tetap merasa senang karena masih bisa memeluk Ayahnya seperti itu.
"Lia sayang sama Ayah. Nggak ada yang boleh jelek-jelekin Ayah pokoknya. Titik!"
***
Halo, Readers~
Terima kasih masih selalu setia mengikuti cerita Heartbeat Symphony. Jangan lupa, tambahkan cerita ini ke collections kalian dan tinggalkan review di kolom komentar ya. Dukungan readers adalah semangat bagi penulis.
Simak terus kisah Lia dan Evan yang sementara waktu akan publish setiap Senin dan Kamis, pukul 09.00 WIB. Nanti, jika ada perubahan jam update, pasti akan diinfokan. Selamat membaca dan semoga tehibur ya~