Chereads / Heartbeat Symphony / Chapter 7 - Perseteruan Dua Gadis

Chapter 7 - Perseteruan Dua Gadis

"Res, mau kemana malem-malem gini?"

"Baru juga jam delapan, Kak. Aku mau beli sate."

"Di mana?"

"Pak Haji Sodiqin," sahut Ares singkat, sambil menarik resleting jaketnya.

"Ha? Sejak kapan Pak Haji jualan sate? Baru tau. Bukannya jual material, ya? Apa Ibu Haji yang jualan?"

Mendengar jawaban dari sang kakak, meledaklah tawa Ares hingga suaranya terdengar sampai ke dalam rumah. Dan, hal itu telah langsung saja mendatangkan teguran dari sang Ibu.

Mengetahui bahwa Ares malah tertawa terbahak, mengertilah Lia jika sang adik tengah mengerjainya.

"Hahaha ... ya Kakak, sih. Udah tau pake nanya. Di mana lagi kalo bukan di tempat Cak Irwan beli satenya. Kan paling enak di sana," jawab si adik dengan usilnya.

"Ya kali aja beli di kota sebelah. Mana tau," sahut Lia sewot yang kembali membuat Ares tertawa. "Tunggu sini, jangan jalan dulu," sambungnya, lalu masuk ke dalam rumah.

Ares hanya mengangguk, lalu duduk di kursi yang ada di teras tersebut sambil menunggu. Dia tahu jika sang kakak sedang mengambil jaket karena ingin ikut pergi bersamanya. Padahal, sebenarnya malam itu baik Ares maupun Lia belumlah lama menyelesaikan makan malam. Namun cuaca yang dingin di daerah mereka, dengan nakalnya telah membuat perut menjadi mudah lapar.

---

"Res, tadi kamu belum cerita tentang kontrol Ayah. Gimana hasilnya?" Tanya si kakak pada adiknya setelah mereka berjalan keluar.

"Kata Dokter, udah lebih baik dari yang sebelumnya. Tapi sementara memang harus pakai kursi roda dulu. Sampai kondisi kakinya bener-bener bisa buat berdiri lagi."

Lia terdiam dan tak menanggapi informasi yang disampaikan sang adik. Seketika, pikirannya kembali mengelana pada musibah yang menimpa sang Ayah pada hampir dua bulan yang lalu. Setelah bertanya jawab tentang itu, keduanya pun terdiam dan terus berjalan menuju ke tempat Cak Irwan tanpa membahas tentang sang Ayah lagi.

Bimo—Ayah Lia dan Ares mengalami nasib buruk. Di mana pada saat sedang berada dalam perjalanan menuju ke salah satu kota sebelah untuk memasok bunga potong, dia mengalami kecelakaan yang menyebabkan kedua kakinya patah. Hal tersebut tentunya telah membuat Bimo menjadi tak semudah biasanya dalam beraktifitas, karena sudah dapat dipastikan bahwa segala pergerakannya akan menjadi sangat terbatas.

Semenjak kejadian itulah hingga selama proses penyembuhan, Sekar—Ibu Lia menggantikan peran sang suami dalam mengelola kebun bunga yang mereka miliki. Ares dan Lia juga ikut membantu agar usaha bunga potong mereka tetap berjalan. Apalagi dalam masa pemulihan, Bimo harus benar-benar rehat agar kondisinya lekas membaik.

Banyak hal yang membuat Bimo begitu amat disayangi oleh anak dan isterinya. Lelaki itu sama sekali tak mengeluh bahkan malah memiliki motivasi yang tinggi untuk segera sembuh. Dia pun sama sekali tidak rewel dan menurut seluruh anjuran Dokter, termasuk juga saat disarankan untuk melahap semua makanan yang diberikan agar staminanya menjadi semakin baik.

Bimo tahu, jika dirinya tak akan jadi sekuat seperti dulu lagi. Tapi paling tidak, ia masihlah sangat bersyukur karena tetap diberikan kesempatan untuk berkumpul bersama dengan anak dan isterinya. Selain itu, Bimo juga masih dapat memandangi hamparan kebun bunga potong yang menjadi roda perekonomian keluarga. Sebab meskipun hanya dapat melihat serta menikmati keindahan berbagai macam warna bunga, hal tersebut sudah mampu membuat hatinya terasa teduh.

---

"Kita juga harus terus semangat kayak Ayah," ucap Ares memecahkan keheningan selama berjalan kaki.

"Harus dong. Kamu juga, kalo dimintain sama tolong Ibu, jangan kebanyakan alesan," sahut Lia yang sedikit galak, seperti ciri khasnya.

"Yeeeee, mana pernah aku begitu. Kalo memang nggak bisa, ya ... aku bilang nggak bisa. Kak Lia kan tahu sendiri gimana jadwal sekolahku. Wahhhh … ngilang-ngilangin deh senengnya." Ares bersungut-sungut kesal, sementara Lia hanya tertawa. Tak dapat dipungkiri, sang adik adalah merupakan salah satu sumber kegembiraan dan kebahagiaannya.

Saat hampir tiba di dekat warung tenda milik Cak Irwan, langkah keduanya mendadak terhenti saat tanpa dengan sengaja mendengar percakapan yang sekilas menyebutkan nama sang Ayah.

Lia memberikan isyarat kepada Ares untuk jangan dulu mendekat, lalu memintanya untuk sedikit bergeser dari warung tenda tersebut agar tak kentara dan bisa mendengar lebih jelas.

"Ya karena pesugihan lah! Makanya Pak Bimo—Ayahnya Lia itu kakinya jadi cacat. Setannya minta tumbal kaki." Demikian terdengar dengan jelas, kata-kata yang diucapkan oleh seseorang.

"Emang iya? Bukannya kalo pesugihan, tumbalnya itu biasanya anak sendiri? Atau yang lain, tapi bukan anggota tubuh," sahut seseorang dengan nada bingung.

"Halah! Pesugihan jaman sekarang kan macam-macam. Bahkan dilabeli halal, kok. Coba deh dipikir, Pak Bimo itu kan nggak bisa ngapa-ngapain. Sementara orderan bunganya juga gitu-gitu aja. Tapi kok baru-baru ini bisa mbangun green house. Malah katanya, mau buka wisata buat pengunjung segala. Zaman sekarang, duit lagi susah. Yang gampang ya … pesugihan itu." Celoteh orang pertama yang sedari tadi memojokkan nama ayah dari kedua anak itu.

"Eh tapi nih, kayaknya nggak gitu deh. Nggak masuk akal." Ada yang menyanggah penjelasan panjang yang tadi disampaikan.

Sebenarnya, baik Lia maupun Ares sudah benar-benar mendidih kepalanya. Namun, Lia meminta Ares untuk tetap diam di tempat agar bisa mendengar jauh lebih banyak lagi.

"Yang lebih masuk akal itu … si Lia. Katanya, dia mendadak nyambi kerja semenjak Pak Bimo kecelakaan. Ya barangkali, dapat pemasukan dari Lia."

"Emangnya kerja apa?" tanya salah seorang dari mereka.

"Apalagi sih kerjaan yang gajinya gede? Tau-tau beli tanah dan bikin green house. Paling ya … jadi piaraan Om-om, hihihi."

Akhirnya, rasa sabar Ares sama sekali tak terbendung lagi. Pun dengan Lia yang wajahnya sudah memerah menahan amarah. Sejenak mereka menarik napas, lalu memutuskan untuk masuk ke dalam warung tenda dengan langkah santai. Namun jangan ditanya tentang perasaan, karena sorot mata keduanya nampak terlihat begitu dingin dan siap untuk mencabik-cabik musuh.

"Apa sih itu jaman sekarang namanya … Sugar … Sugar …"

Belum juga orang itu berkata, Lia dengan santainya menyahut.

"Sugar Daddy."

"Nah! Iya, betul!"

Sedetik kemudian, si gadis berambut hitam bergelombang itu seketika bangkit dari duduknya dengan tergesa. Bahkan, hingga membuat kursi yang duduki terjungkal ke belakang. Diikuti dua orang gadis lainnya yang wajahnya sudah berubah menjadi pucat pasi, saat mengetahui bahwa Lia sudah berdiri di hadapan mereka dengan tatapan dingin.

"Ayo, lanjut lagi gibahnya! Kalau perlu, aku pinjamin toa masjid biar fitnah kalian bisa kesebar ke seluruh desa. Di sini doang mah, namanya cari mati!" dengan nada dingin namun syarat ancaman, Lia berkata demikian sambil berjalan mendekat ke arah tiga orang gadis tersebut.

Dua lainnya sudah saling merapatkan diri, lalu menggandeng lengan teman masing-masing karena ketakutan. Sementara Liyana—yang merupakan pentolan gibah, berdiri dengan tegap dan turut menatap dengan garang ke arah Lia.

"Kalo iri, bilang dong. Nggak usah pake acara fitnah-fitnah segala. Norak!" Ares ikut menambahkan karena dirinya juga begitu kesal dengan sikap Liyana and the genk.

Gadis berkulit kuning langsat dan berambut hitam bergelombang itu, adalah Liyana—anak pasangan Bapak Arya dan Ibu Asri yang juga memiliki usaha bunga potong seperti orangtua Lia dan Ares. Letak rumah meraka juga tidak berjauhan, bahkan masih tergolong satu RW. Hanya saja, sikap Liyana yang kerap disapa Ana itu sering kali membuat jengkel Lia. Apalagi dengan fitnah yang dibuat sang gadis yang semakin membuatnya muak.

"Halah, fitnah? Ya kali, mana ada maling yang mau ngaku?!" kilah Liyana dengan sombongnya.

"Mana ada tukang iri mau ngaku!" timpal Ares tak mau kalah.

"Ana, kalau hidup kamu kurang bahagia, jangan ngrecokin hidup orang lain dong. Urus aja urusanmu sendiri. Rempong amat ngurusin keluargaku. Sekalian aja biayain berobat Ayah, kasih uang bulanan buat kita. Jangan cuman modal bibir doang!" galak, Lia menyerang Ana.

Gadis itu menelan ludah, namun sama sekali tak gentar menghadapi Lia yang menatapnya dengan tajam.

"Ayo jawab! Beraninya cuman di belakang. Sini, ngomong depan mukaku. Sekalian di depan Ares juga, mumpung kita di sini. Monggo," tantang Lia yang agaknya membuat ubun-ubun Ana mulai mendidih.

"Halah, ya mana ada maling ngaku." Hanya kata itu yang terucap dari bibir Ana.

"Udah kesekian kalinya, sikap kamu bener-bener nggak terpuji sama sekali. Emangnya, aku dan juga keluargaku punya salah apa sama kamu? Sampe-sampe dengan pedenya bikin rumor sampah kaya gitu. Keterlaluan!" Lia terus mencecar, dan Ana masih terdiam.

"Ohhhh … atau, jangan-jangan yang jadi simpanan Om-Om itu kamu, Na? Tapi, kamu malah nuduh aku. Kan katanya mana ada maling yang mau …"

Plak!!!

Belum juga Lia selesai bicara, sebuah tamparan keras dengan telak mengenai pipi kirinya.

---

Keributan itu mengundang Cak Irwan yang ternyata baru saja mengantarkan pesanan sate ke rumah pak RT. Sementara warung tendanya hanya dijaga satu orang karyawan yang sedari tadi berusaha melerai, namun sama sekali tak didengar oleh dua orang gadis yang tengah berseteru itu.

Netra Ares membulat, saat melihat sang kakak ditampar dengan begitu keras oleh Ana. Saat dirinya hendak membuat perhitungan dengan sang gadis, Lia mencegahnya.

"Ada apa ini?" Cak Irwan langsung bergabung.

"Ohhh, beraninya main fisik sekarang, ya? Nggak berani jawab langsung, karena memang gitu kenyataannya? Jadi sekarang jelas kan siapa yang jadi simpanan Om-Om." Baru saja Lia menutup bibir selesai bicara, tiba-tiba saja Ana langsung menyerangnya.

Ana menjambak rambut Lia. Dasarnya garang dan tak mau kalah, Lia juga membalas jambakan itu dengan menarik rambut kepala milik Ana dengan kuat. Keduanya bertengkar hebat dan cukup banyak mengundang perhatian beberapa orang yang berada di sekitar warung Cak Irwan.

Melihat situasi mulai ramai dan beberapa orang mulai melerai, Lia menunggu momen untuk benar-benar menjatuhkan Ana dengan telak. Dan tak berselang lama, kesempatan itu datang saat Ana mendorongnya. Memang tidak terlalu keras, namun dengan cerdiknya, Lia pura-pura jatuh dengan cukup keras hingga terdorong dan menabrak kursi-kursi yang ada di tempat itu.

"Aduhhhh," rintih Lia kesakitan. Lalu pada detik berikutnya, dia tak sadarkan diri.

Ares yang sedari tadi berusaha melerai, seketika mengampiri sang kakak yang sudah terkulai di lantai.

"Kak Lia?! Kakak, bangun Kak!" Ares menggoyang-goyangkan tubuh sang kakak namun tak ada respon. Namun, saat memperhatikan dengan seksama mimik wajah sang kakak, Ares jadi tahu bahwa itu hanya pura-pura saja.

Tentu sebagai adik yang begitu paham terhadap sang kakak, Ares mengerti apa yang harus dilakukan.

"Kak Lia! Heh, Ana! Tega kamu bikin kakaku sampai nggak sadar kaya gini. Dasar psikopat! Awas aja, aku bakal lapor polisi!" ancam Ares yang seketika membuat Ana menjadi semakin pucat pasi.

Gadis itu berkilah, bahwa hanya mendoronganya dengan pelan. Dia sama sekali tak menyangka jika sampai akan membuat Lia tak sadarkan diri. Karena saking ketakutannya, Ana juga turut pingsan di tempat. Tak lama kemudian, orang-orang yang berada di sana telah langsung saja beramai-ramai membantu dua orang gadis itu untuk dibantu agar lekas sadar.

Dalam hati kecil Lia dan Ares, mereka tertawa terbahak saat dengan suksesnya telah berhasil mengerjai Ana. Meskipun begitu, ini belum berakhir karena Lia akan tetap membuat perhitungan kepada Ana. Bahkan memintanya untuk mencabut semua kata fitnah dan hinaan yang dilontarkan kepadanya, terkhusus kepada sang ayah.

***