Gadis yang bernama Lia itu tak langsung menjawab ajakan dari Evan. Karena reaksi yang kini terlihat, ia malah terlihat seperti orang yang sedang bingung. Hal tersebut bisa diketahui dari matanya yang terus bergerak ke kanan dan kiri dengan cepat, layaknya sedang menimbang sebuah tawaran yang terlalu sulit untuk diputuskan.
Evan yang sedari tadi memperhatikan gadis bernama Lia itu, seketika dapat menyimpulkan jika mungkin saja yang bersangkutan sedang memiliki banyak urusan. Sehingga walau tidak dapat menerima, iapun merasa tak enak bila harus menolak ajakannya.
"Tenang saja, jika memang kau belum bisa ... tidak masalah. Kita bisa berbincang lain waktu," kata Evan pada akhirnya yang seketika membuat sang gadis tersentak.
"Oh nggak kok nggak. Bisa-bisa, aku nggak sibuk. Tadi lagi mikir aja, hehe. Emmm ... bagaimana kalau sambil jalan-jalan?" ajak sang gadis dengan malu-malu.
Sebenarnya, Evan ingin menolak ajakan tersebut karena lebih nyaman mengobrol di tempat tersebut. Namun karena merasa tak enak hati, akhirnya dia mengiyakan ajakannya. Terlebih lagi, bukankah memang sang gadis adalah seseorang yang dia cari?
"Baiklah kalau begitu." Akhirnya ia sepakat.
---
Keduanya menyusuri sebuah taman yang terletak berseberangan dengan jajaran kios-kios bunga. Untuk beberapa waktu, tidak ada percakapan yang terjalin di antara mereka. Sampai pada akhirnya, Evan kembali membuka suara.
"Emmm ... Angga bilang, kau tinggal di dekat sini dan memiliki kebun bunga. Apakah itu berarti jika kamu menjadi seorang pemasok untuk kios-kios bunga itu, ya?"
Kening gadis yang bernama Lia itu berkerut, seolah tak paham dengan apa yang dikatakan oleh Evan.
"Sebentar, tadi kamu bilang Angga? Memangnya siapa Angga?" tanya gadis tersebut dengan heran.
Sebelah alis Evan terangkat naik saat Lia bertanya seperti itu. Bukankah Angga bilang semalam sudah bertemu dengan sang gadis? Kenapa yang bersangkutan malah tidak ingat sama sekali? Atau jangan-jangan ... Angga malah membohonginya?
Gadis yang bernama Lia itu turut mengerutkan kening karena merasa asing dengan nama yang disebutkan tadi. Sebab dia merasa sama sekali tidak pernah bertemu dengan seseorang yang bernama Angga, lebih-lebih sempat juga mengobrol dengannya.
"Angga yang bertemu denganmu di minimarket semalam tadi." Evan kembali menjelaskan, namun malah semakin membuat Lia mengerut kening kebingungan.
"Semalam, aku memang pergi ke minimarket tapi ... aku nggak ketemu siapapun." Penjelasan dari Lia telah serta merta membuat Evan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
Sejenak Evan berpikir, lalu menyimpulkan jika Angga telah membohonginya. Barangkali, sang sahabat memang telah sengaja berbuat seperti itu untuk membalas sikap jahil yang dia lakukan terhadapnya. Bagi Evan, hal itu adalah alasan yang cukup masuk akal.
Namun kali ini, nampaknya Angga sedikit keterlaluan dalam membohonginya. Bagaimana jika Evan salah orang? Mau ditaruh di mana wajahnya nanti? Setitik rasa marah muncul dalam benak Evan. Dan tentu saja, setelah ini dia akan membuat perhitungan dengan sahabatnya itu.
"Jadi, kau belum pernah bertemu dengannya?"
"Sama sekali. Lagipula, siapa Angga?" gadis itu kembali bertanya kepada Evan untuk kedua kalinya.
"Wah, sepertinya aku kena tipu temanku. Dia bilang, semalam sudah bertemu denganmu di minimarket. Berdasarkan informasi yang didapat darinya, hari ini juga aku memutuskan untuk mencarimu," terang Evan dengan nada sedikit kesal yang tidak bisa disembunyikan.
"Hihi … bisa jadi begitu. Barangkali, dia cuma pengen ngerjain kamu aja. Tapi yang paling penting kan … kamu udah berhasil ketemu aku. Bener, nggak?"
"Hmmm … kau benar. Itu tujuan utamaku," sahut Evan membenarkan dan menyetujui apa yang dikatakan Lia. Meskipun begitu, dia akan tetap membuat perhitungan kepada Angga supaya semuanya menjadi lebih jelas.
"Tunggu di sini," ucap Lia tiba-tiba, lalu setengah berlari, sang gadis menuju penjual es thung-thung legendaris yang kebetulan tengah melintas di depan mereka.
Sambil menunggu Lia, Evan memutuskan untuk duduk di sebuah bangku taman yang tersedia di sana. Lalu tak berselang lama, sang gadis menghampiri sambil membawa dua buah eskrim yang diselipkan pada roti tawar.
"Ini namanya Es Thung-Thung. Terkenal lho di sini, cobain aja," kata Lia setelah es krim ditangannya diterima oleh Evan, lalu dia duduk disamping sang pemuda.
"Ohhhh, aku baru kali ini mendengar namanya."
"Biasanya kan kalo es krim campurannya susu, kalau es krim ini pakai santan. Jadi, ada rasa gurihnya. Aku udah yakin sih kalau kamu belum pernah coba. Cukup lihat dari penampilan kamu aja, aku udah tahu kalau kamu pasti salah satu orang kaya yang ada di Jakarta."
Kata-kata dari gadis yang bernama Lia itu membuat Evan tersenyum. Dalam hati dia membatin, jika penampilannya yang seperti ini saja langsung dicap sebagai orang kaya, bagaimana dengan keluarganya?
Belum sempat Evan menanggapi, sang gadis kembali melanjutkan bicaranya. "Materi atau kekayaan itu nomor sekian, karena yang paling penting adalah kepribadian."
"Wahh, kalimat yang sangat bagus. Tapi, di zaman sekarang ini, apakah masih ada yang seperti itu? Aku pikir, materi adalah hal utama yang perlu dipertimbangkan untuk memulai suatu hubungan yang serius."
"Masih ada, kok … aku orangnya," jawab Lia sambil tersipu, lalu kembali menikmati es krim di tangannya.
"Ngomong-ngomong, es krim ini enak rasanya. Tidak kalah sama es krim pabrikan." Evan merubah topik pembicaraan dan mengomentari Es Thung-Thung yang terasa cocok di lidahnya.
---
Mereka kembali berbincang dan ada cukup banyak hal yang dibicarakan. Evan yang sudah terbiasa bertemu dengan berbagai macam orang, mulai bisa menilai bagaimana tindak-tanduk si gadis yang bernama Lia itu.
Secara fisik, dia cantik. Memiliki rambut hitam bergelombang dan kulit kuning langsat, membuatnya terlihat eksotis. Namun entah mengapa, tidak ada sesuatu hal yang bisa membuat Evan merasa tertarik. Alias … Flat!
Gadis yang bernama Lia itu tindak-tanduknya memang lemah lembut. Namun bagi Evan, sikapnya yang demikian malah seperti menyiratkan akan sesuatu yang sedang disembunyikan. Terlihat kalem, namun menyimpan sesuatu yang tidak diketahui olehnya. Dan hal tersebut, sama sekali tak membuatnya ingin mencari tahu.
Sikap Lia mengingatkan Evan kepada Berlin. Sebenarnya ia bukan bermaksud untuk membandingkan keduanya, namun sepertinya Berlin juga memiliki sifat yang hampir sama dengan Lia; lembut malu-malu.
Hanya saja cara bicara Berlin dan tanggapannya mengenai sesuatu yang sedang dibicarakan, membuat sang gadis terasa lebih hidup dan asik untuk diajak berbincang. Berbeda dengan Lia yang hanya menanggapi dengan "iya" atau "tidak" atau jawaban yang begitu singkat. Seolah, dia sama sekali tidak terarik dengan apa yang dibicarakan oleh Evan. Atau lebih tepatnya, sama sekali tidak mengerti tentang obrolan itu.
Misalnya saja saat Evan menanyakan tentang macam-macam bunga yang ditanam oleh keluarga Lia, sang gadis hanya menjawab 'ada banyak' tanpa mau menjelaskan lebih lengkap. Bagi Evan, biasanya seseorang yang menekuni sesuatu baik dia suka atau pun tidak, pasti akan menanggapi dengan cukup antusias. Namun agaknya ekspektasi terhadap gadis yang bernama Lia itu terlalu tinggi, sama sekali tidak sesuai dengan pemikirannya sejauh ini.
Evan lantas berpikir kembali bahwa setiap orang memang memiliki sifat yang berbeda-beda, sehingga sebisa mungkin dia memaklumi itu. Namun meskipun begitu, sekali lagi Evan tetap tidak bisa menemukan sesuatu kesan lebih dari gadis yang bernama Lia itu.
"Evan, boleh nggak kalau aku minta nomormu?" karena sudah merasa menjadi teman, Lia meminta nomor telpon Evan sang sang pemuda mengeluarkan ponsel dari saku celana.
"Oh, boleh," sahut Evan.
"Untuk menyambung komunikasi." Tambah si gadis
Evan mengangguk menyetujui, lalu saat hendak menyimpan nomor sang gadis, mendadak sebuah panggilan masuk dan menampilkan nama ANGGA SIALAN sebagai penelpon. Evan memberikan isyarat kepada Lia untuk mengangkat panggilan tersebut.
"MAU PULANG JAM BERAPA? MASIH LAMA NGGAK?!"
Lagi-lagi, tanpa salam sapa sama sekali, Angga langsung berucap dari seberang telpon dengan nada tinggi.
"Pelanin suaranya bisa nggak, sih? Sebentar lagi aku pulang."
"AKU MAU PERGI!" sahut Angga dengan galak. Suaranya benar-benar membuat telinga Evan terasa tak nyaman.
"Ya udah, pergi ya pergi aja. Udah sana, jangan telpon kalau nggak penting."
Tut!
Evan mengakhiri panggilan itu begitu saja tanpa menunggu Angga menjawab. Dari seberang sana, Angga mengumpat sejadi-jadinya, lalu bergegas keluar dari rumah dan menutup pintu dengan sangat keras.
---
"Teman?" tanya Lia begitu Evan kembali mendekat ke arahnya karena sudah selesai menelpon.
"Angga, yang tadi sempat aku ceritakan. Aku masih kesal padanya. Awas saja kalau sudah sampai rumah," ancam Evan sambil terkekeh yang juga diikuti oleh Lia.
"Oh ya, sepertinya kita harus berpisah sekarang. Tadi sewaktu kamu telpon, Ibuku udah ngirim pesan nyuruh aku pulang."
"Ahh, begitu ya. Maaf ya sudah mengganggu kegiatanmu hari ini. Sekali lagi, terima kasih."
"Iya, Van. Sama-sama. Motorku di depan kios bunga tadi, lalu … kendaraanmu di mana?" tanya Lia setengah menyelidik.
"Oh, tidak jauh dari sini kok. Di sebelah sana,"sahut Evan sambil menunjuk ke arah yang dimaksud.
"Kalau begitu, yuk aku anter dulu!"
"Eh, tidak usah. Bukankah tadi kau bilang kalau Ibumu sudah mengirim pesan untuk segera pulang?"
"Hehe, nggak papa. Cuman bentar kok."
---
Sesampainya di sana, agaknya gadis yang bernama Lia itu menjadi terpana saat melihat mobil milik Evan terparkir dengan gagahnya.
"Audi A5," gumam sang gadis dengan lirih namun tetap terdengar oleh Evan.
"Wahh, hebat sekali kau bisa mengenali serinya hanya sekali lihat."
"Yang bener aja. Itu Audi keluaran terbaru, harganya mulai 1,4 Milyar kalo nggak salah. Gila sih ... ehemm, maksudku itu sangat keren." Sang gadis agaknya menjadi sedikit lebih antusias dari sebelumnya.
"Hehe, bukan punyaku. Tapi milik perusahaan," kilah Evan tak mau mengakuinya.
"Kalo perusahaan mobilnya sebagus itu, berarti ... wahh, fix aku ketemu orang sukses dari Jakarta."
Evan terkekeh mendengar ucapan dari Lia. Dia sama sekali tak mengira, jika akan mendapat tanggapan yang seperti itu dari sang gadis. Karena kembali lagi, sedari tadi sang gadis jarang sekali menunjukkan antusiasmenya terhadap obrolan yang mereka lakukan. Namun kini, sifat tersebut agaknya sempat menghilang setelah melihat kendaraan apa yang dipakai oleh Evan.
Dering telpon dari ponsel milik Lia, membuat sang gadis mengurungkan niatnya untuk bertanya beberapa hal kepada Evan. Dia lantas pamit undur diri, lalu berbalik dan meninggalkan Evan. Dalam hati, Lia begitu dongkol karena sang Ibu terus saja menghubungi.
Dari tempatnya berdiri, Evan masih memandang Lia hingga sang gadis tak terlihat lagi dari pandangannya. Dan sekali lagi, Evan tak merasakan sesuatu yang menarik dalam pertemuannya dengan gadis yang bernama Lia. Barangkali, dia terlalu memberikan ekspektasi terlalu tinggi padanya, hanya karena pernah menjadi 'pahlawan' untuknya. Daripada pusing memikirkan hal itu, Evan memutuskan untuk pulang dan beristirahat.
***
Sementara itu …
Dengan begitu lahap, Angga sedang menikmati bubur ayam yang ada di dekat sebuah kampus. Dia benar-benar kelaparan setelah berjalan cukup jauh hanya untuk mencari makanan itu.
Agaknya, Angga sedang terkena apes karena sepanjang jalan yang dilalui, dia sama sekali tidak menemukan pedagang bubur yang dicari. Hingga akhirnya, Angga menemukan sebentuk gerobak bubur ayam tersebut di seputaran sebuah kampus.
Dalam hati, dia benar-benar dongkol terhadap Evan yang meninggalkannya begitu saja. Alhasil, dia harus mencari sarapan sendiri dan berjalan jauh berpuluh-puluh meter jaraknya. Uh, lebay!
Saat sedang menikmati bubur ayamnya, sekaligus rasa dongkolnya. Sebuah sapaan dari seorang gadis, membuat Angga menoleh.
"Angga? Erlangga, ya?"
***