Chereads / Cruel Of Love / Chapter 9 - Persaingan

Chapter 9 - Persaingan

"Sering-sering main ya, May," ucap Lastri, sesaat sebelum Robi dan keluarganya pulang.

"Tentu saja, sebentar lagi kita 'kan besanan, Las."

"Lantas, kalau enggak besanan, kamu enggak mau main, begitu?"

Mayang tersenyum tipis. "Kali ini aku janji, akan sering berkunjung. Oh ya, apa tidak masalah kalau mertuaku tetap tinggal?"

"Jangan sungkan, beliau sepertinya masih betah di sini."

Mayang menatap sang mertua yang sedang asyik menikmati tehnya sambil duduk di saung kecil. Udara segar dan pemandangan yang indah, mampu menahan Yustina untuk tinggal sementara.

"Nanti siang akan ada asisten yang datang. Kalau butuh apa-apa, bilang saja dan akan bantu mengurusnya."

"Iya, aku paham. Aku dan keluarga juga akan menjaga mertuamu sebaik mungkin."

"Ya sudah, aku jalan dulu. Bye, Las."

"Hati-hati, ya."

"Ya, kamu juga.

Kedua sahabat itu saling berpelukan, merasa sayang karena harus kembali berpisah setelah sekian lama tidak bersua.

Setelah menyelesaikan terapi Yustina, mereka memutuskan untuk segera pulang keesokan harinya. Selain karena ada perusahaan yang harus terus dipantau, Mayang juga memiliki pekerjaan lain yang sudah menunggunya. Begitu pula dengan Robi, dia sudah sangat merindukan istrinya—Amelia.

"Mam, apa tidak masalah membiarkan oma tinggal?"

"Tante Las bilang tidak masalah, selagi oma mau. Lagi pula, siang nanti Mami sudah meminta beberapa orang untuk menjaga oma."

Robi hanya mengangguk-angguk pelan. Dia mulai melajukan mobilnya, membelah dinginnya udara pedesaan yang berkabut tebal.

"Mam, apa tidak masalah kalau menjodohkan Alan tanpa bertanya dulu padanya?"

"Dia pasti setuju, Mami yakin itu."

"Lagipula, Mami tumben sekali peduli pada Alan."

"Kenapa? Apa tidak boleh?"

"Bukan begitu, Mam ... hanya saja, tidak seperti biasanya."

"Dia meminta posisi di perusahaan, jadi Mami ajukan syarat agar dia mau menerima perjodohan terlebih dahulu."

"Apa hubungannya, Mam?"

"Kamu ini terlalu naif, Bi. Dia harus menikah dengan keluarga biasa, supaya tidak mengancam keberadaan mu. Andai dulu kamu menikah dengan putri keluarga Pradipta, Mami tidak akan hidup dalam ketakutan seperti sekarang ini!"

"Mam, menurutku Alan tidak berpikir ke arah itu. Mami hanya terlalu khawatir—"

"Itulah kesalahanmu, Bi. Naif sekali! Meski bukan Alan sekalipun, kamu pikir posisimu aman? Martin—pamanmu juga terus mendesak oma untuk meminta posisi untuk anaknya sebagai salah satu direksi."

Robi hanya bisa menghela napasnya berat. Keluarganya terlalu rumit, selalu saja dipenuhi dengan rasa curiga satu sama lain apalagi jika berkaitan dengan perusahaan.

"Maafkan Robi, Mam."

"Lagipula, Mami lebih rela dia menikah dengan Ayu daripada menikahi wanita tidak jelas seperti Amelia yang kamu pungut dari tempat hina," lanjutnya lagi.

Ucapan maminya memang menusuk, tapi Robi merasa lega karena terdengar ketulusan maminya pada Alan.

Selama ini Robi tahu bagaimana sikap Mayang pada Alan. Dia harap, dengan cara ini hubungan keduanya akan jauh lebih baik dan yang terpenting, Alan setuju dengan perjodohan ini.

"Sudahlah, kamu tidak akan mengerti meski Mami berusaha sekuat tenaga sekalipun. Kini, tugasmu dan Amelia adalah melahirkan penerus, atau posisimu semakin terancam di masa depan."

"Iya, Mam."

Lagi-lagi Robi hanya bisa menggerutu dalam hati. Apakah tidak bisa satu hari saja keluarga mereka hidup damai satu sama lain? Selalu saja penuh rasa waspada dan curiga.

Meski mereka berada dalam ruangan dan saling melemparkan senyum satu sama lain, sesungguhnya di tangan mereka memegang senjata yang siap menghunus pada siapa saja yang lengah.

Ingin sekali rasanya dia melarikan diri, memulai hidup baru bersama Amelia, tanpa ada beban memikirkan perusahaan yang selalu menjadi sumber masalah dalam hidupnya.

Namun, tentu saja sang mami tidak akan mengizinkannya. Robi bukan hanya melindungi dirinya dan haknya, melainkan melindungi posisi maminya yang kini hanya berstatus menantu di keluarga besarnya.

Dia tidak terlalu khawatir pada Alan, toh selama ini adiknya itu tidak banyak berulah dan hanya meminta sedikit haknya sebagai sesama putra dari papinya. Tapi, ada pihak kuat lainnya yang terus menerobos masuk dan mengganggu kedamaiannya, yaitu pamannya—Martin.

***

Setibanya di rumah besar, Alan tampak sedang duduk santai di teras rumah. Dia langsung bangkit dari tempatnya duduk ketika mobil Robi memasuki pelataran. Dengan sigap, dia membantu Robi menurunkan barang-barang dari dalam bagasi.

"Jangan sentuh barang saya! Panggilkan saja Ujang," ucap Mayang sinis.

"Biar Alan saja, Mam," bujuk Alan.

"Benar, Mam. Biar Alan saja, nanggung juga," sela Robi.

Mayang tidak bisa menyembunyikan rasa tidak sukanya pada Alan. Seolah kebencian itu sudah mendarah daging meski laki-laki yang mengkhianatinya dan wanita penggoda sekaligus ibu dari Alan telah tiada.

"Terserah saja. Nanti malam, kita bicarakan lagi soal pengajuan mu," ucap Mayang seraya berlalu pergi.

Alan hanya bisa menghela napas dalam. Dia sudah terbiasa diacuhkan dan dipandang dengan tatapan sini, tapi rasa sakitnya tetap saja ada.

"Jangan diambil hati, Lan," hibur Robi.

"Kakak mudah bicara seperti itu, karena Kakak tidak pernah mengalaminya," lirihnya.

"Meski begitu, mami sebenarnya sayang kamu, kok."

"Aku rasa tidak, Kak."

"Cobalah untuk melihatnya dari sudut pandang lain, nanti malam kamu akan tahu."

Alan tersenyum tipis. Dia tidak ingin berharap banyak, bisa dibiarkan hidup damai saja sudah bersyukur—batinnya.

"Mami bilang, kamu mau masuk perusahaan?"

"Iya, Kak. Aku butuh pekerjaan, tidak mungkin seumur hidup hanya mengandalkan uang jajan bulanan tanpa usaha, bukan?"

"Kamu sudah dewasa rupanya."

"Kakak baru sadar? Kasihan. Tapi Kak, tolong jangan berpikir macam-macam—"

"Tidak akan, Kakak yakin."

"Mami sangat khawatir soal itu, jadi Aku pikir Kakak juga akan merasakan hal yang sama. Sebenarnya tidak perlu jabatan tinggi, Kakak berikan saja jabatan karyawan biasa, aku sudah senang. "

"Kamu mau Kakak dan Mami terkena rumor? Membiarkan anak bungsu wijaya berperan sebagai karyawan di perusahaan milik keluarga sendiri?"

"Bukan begitu, aku hanya ingin kalian percaya kalau aku tidak akan membahayakan posisi Kakak."

"Untuk masalah itu, biarkan Mami yang mengaturnya. Kamu hanya perlu ikuti perintah Mami saja, oke?"

"Siap, deh. Aku kepikiran Mami, sepertinya dia masih takut, Kak."

"Mami begitu bukan hanya karena kamu, tapi juga karena om Martin merekomendasikan salah satu anaknya masuk juga."

"Siapa?"

"Siapa lagi? Tentu saja David, putra sulung sekaligus kompetitor paling kuat."

"Rumit sekali, ya."

"Seperti yang kamu tahu, sangat rumit. Dunia ini terasa sangat sesak, sampai sulit untuk bernapas lega."

Robi tersenyum kecut, dia menepuk pundak sang kakak untuk mencoba menenangkannya.

"Minum teh dulu yuk, Kak."

"Teh apa? Kebetulan sudah lama enggak Tea Time bareng kamu."

Alan meminta salah seorang pelayan menyimpan barang-barang milik Mayang, sedangkan mereka berdua melanjutkan berbincang di teras, menikmati angin semilir ditemani secangkir teh dan kudapan manis.

Saking asyiknya mengobrol, mereka tidak sadar bahwa seseorang datang mendekat. "Hai, si cupu dan si anak haram sedang berkumpul rupanya," sapanya seraya menyeringai.

Alan sudah siap membalasnya, tapi Robi menahan tubuhnya agar tetap duduk di tempatnya. "Hai, Dav," sapanya balik dengan tatapan menusuk.