Semenjak David masuk dalam jajaran direksi, tentu saja kekuasaan perusahaan kini mulai membentuk dua kubu. Meski sebenarnya Alan juga termasuk salah satu kompetitor lain, namun karena statusnya, tentu saat ini posisinya yang paling lemah diantara kakak dan kakak sepupunya.
Sesuai keputusan yang telah disepakati, Alan diberikan posisi yang tidak terlalu mencolok, bahkan dia tidak diberi perlakuan khusus selayaknya David dan Robi. Meski begitu, Robi sudah merasa cukup karena kini bisa bekerja di perusahaan milik keluarganya.
Bekerja di perusahaan Wijaya sebenarnya hanya untuk mendapatkan dan menunjukkan keberadaannya sebagai anak kedua dari almarhum pemimpin sebelumnya, karena selama ini keberadaannya seolah disamarkan oleh Mayang.
Diluar itu, Alan memiliki usaha lain yang dia bangun bersama rekannya dan kini mulai berkembang secara perlahan. Tidak ada seorang pun yang tahu soal itu, karena dia mengumpulkan modal seorang diri sisa dari jatah bulanannya selama ini.
Sebenarnya, meski saat ini kendali masih berada di bawah kendali Mayang, tapi pemimpin sebenarnya adalah Yustina yang kini mengendalikan semuanya dari jarak jauh.
Perusahaan ini bagai tempat perang yang tenang, namun sebenarnya mereka tengah saling menyerang satu sama lain dengan perlahan.
"Bagaimana pekerjaan kamu, Lan?"
"Lancar, Kak. Tapi, terkadang selalu pergesekan dengan divisi lain."
"Itu pasti ulah David. Apa perlu Kakak dan Adit turun tangan?"
"Tidak usah, Kak."
"Bilang saja kalau butuh bantuan, meski Kakak sendiri enggak bisa janji bisa berhasil atau tidak. David benar-benar mengerikan."
"Aku yakin Kakak pasti bisa."
"Semoga saja. Sejauh ini hanya bisa mengawasinya saja."
Robi merapikan barang-barang miliknya, dia berniat pulang lebih awal sore ini karena mendengar kabar kurang mengenakkan tentang Amelia.
"Kakak mau pulang?"
"Iya, Amelia kurang enak badan sepertinya."
"Biar aku antar, Kak."
"Enggak usah, Adit saja yang antar, dia sudah menunggu di mobil."
"Ah ... begitu. Hati-hati, Kak."
"Ya, kamu juga. Jangan lembur terus."
"Iya, Kak. Sebentar lagi juga pulang."
"Ya sudah, Kakak jalan duluan. Bye ...."
"Bye, Kak."
Robi berlaku pergi, meninggalkan Alan seorang diri. Alan berjalan menyusuri ruangan kakaknya, semuanya tampak sempurna.
"Sebentar lagi saja ... setelah ini, biarkan aku yang menikmatinya," gumamnya.
Dia tersenyum tipis saat melihat bingkai foto pernikahan sang kakak dan kakak iparnya, wajahnya merona ketika melihat senyum bahagia tampak jelas dari wajah keduanya.
***
Bulir keringat menetes di dahi Amelia, meski awalnya dia berniat berpura-pura, siapa sangka justru rasa mual itu kembali datang tiba-tiba.
Ditatapnya benda pipih dengan dua garis merah terang yang sudah tersimpan cantik dalam sebuah kotak, itu adalah hadiah yang ingin dia berikan pada sang suami. Bukan hanya itu, dia juga menyiapkan hasil pemeriksaan kehamilan palsu yang susah payah didapat berkat bantuan pria itu.
Tujuannya kini hanya satu, bertahan dalam pernikahan ini dan akan pergi melarikan diri setelah berhasil mengeruk kekayaan Wijaya sebanyak mungkin.
Meski suaminya berstatus sebagai penerus, nyatanya kendali keuangan tetap ada pada Mayang dan Yustina.
"Apa mau saya buatkan teh lagi, Nyonya?" tanya Narsih.
"Aku mau sesuatu yang segar, tolong buatkan jus strawberry."
"Baik, Nyonya."
Narsih berlalu pergi, menyiapkan pesanan sang majikan. Rasa mual itu kembali datang, Amelia segera memuntahkan kembali isi perutnya sampai terasa lega.
"Sial!" umpatnya.
Amelia mengelus perutnya, mencoba menenangkan sang jabang bayi yang seolah sulit diajak kembali bekerja sama. Beruntungnya hari ini dia bisa bernapas lega, karena akan mulai mengungkap kehamilannya.
Amelia menghirup dalam-dalam udara dari balkon kamarnya, menatap langit senja yang sudah mulai gelap. Dia bermimpi, secepatnya bisa bersatu bersama pria yang dia cintai bersama anak mereka, menikmati hidup mereka dengan uang yang sudah dikumpulkan dari keluarga Wijaya.
Dari balkonnya, dia melihat mobil Robi sudah memasuki pelataran rumah. Amelia segera berbaring ke atas ranjangnya, berusaha mencari simpati sang suami dengan penderitaannya.
Tidak perlu menunggu lama, Amelia mendengar suara derap langkah kaki menuju kamarnya, itu pasti Robi—pikirnya.
"Mel, sayang." Robi segera melempar tasnya ke atas ranjang, lalu menghampiri istri kesayangannya.
"Mas habis lari? Lihat itu, keringatnya banyak sekali."
"Mas khawatir, soalnya Bi Narsih bilang kamu muntah terus. Ayo kita ke rumah sakit, atau kalau enggak kita panggil Dokter Faisal, bagaimana?"
"Jangan, Mas. Mami 'kan enggak suka kalau kita pakai fasilitas di luar uang hasil Mas kerja."
"Ya takutnya kamu enggak nyaman kalau harus pergi, atau panggil Dokter lain saja, ya?"
"Mas ... dengarkan dulu."
"Apa?"
Amelia meraih beberapa lembar tisu, lalu menyeka keringat suaminya. "Coba buka dulu kotak itu," ucapnya seraya menunjuk ke sebuah kotak di atas meja rias.
"Itu apa?"
"Buka saja, Mas."
Robi berjalan menuju meja, lalu meraih kotak itu. "Kok terkunci, Mel?"
"Mas harus berusaha dulu untuk dapatkan kuncinya."
Robi tersenyum tipis. "Kamu mau Mas melakukan apa?"
"Janji dulu, setelah lihat isi di dalam kotak nanti, apa pun yang aku minta akan Mas turuti."
"Mas jadi penasaran. Sebenarnya di dalamnya apa, sih?"
"Janji dulu."
"Oke, Mas janji. Ayolah, Mel ... jangan buat Mas penasaran begini."
Amelia memberikan sebuah kunci kecil pada Robi, dia pun langsung membukanya karena rasa penasaran. Tangannya gemetar saat mendapati benda pipih bergaris dua itu di dalam kotak.
"Mel, ini ... beneran?" tanyanya masih dengan perasaan tidak percaya.
"Benar, Mas. Coba saja lihat hasil pemeriksaannya, aku hamil ...."
Robi meraih secarik kertas itu, jelas di sana tertulis bahwa istrinya tengah mengandung lima minggu. Robi langsung berlari menghampiri Amelia, dia memeluk erat istri kesayangannya dengan berurai air mata.
"Ini bukan mimpi 'kan, Sayang?"
"Bukan, Mas ... aku hamil."
Robi beralih pada perut Amelia, dia menciumi dan mengelusnya dengan penuh rasa bahagia. "Sayang, ini papi ...," lirihnya sambil kembali terisak.
Amelia hanya bisa tersenyum kecut. Dalam benaknya, dia merasa kasihan pada Robi yang sudah begitu tulus mencintainya. Andai saja cintanya masih suci pada Robi ... andai saja anak yang tengah dia kandung memang anak Robi ... mungkin, kini dia juga bisa ikut merasakan kebahagiaan yang tengah Robi rasakan.
"Ayo kita pastikan lagi ke rumah sakit, Mel."
"Tidak usah, Mas. Aku beneran hamil, kok."
"Rasanya Mas masih enggak percaya," lirihnya seraya kembali memeluk sang istri.
"Nah ... sekarang Mas harus tepati janji dulu.
"Memangnya apa yang kamu mau, Sayang?"
Amelia meraih sesuatu dari dalam balas, lalu memberikannya pada Robi.
"Aku mau itu, Mas."
Robi tersenyum tipis. "Apa pun demi kamu Dan anak kita, Sayang."
Robi menciumi mesra istrinya, mencoba mengekspresikan rasa bahagia yang kini membuncah di dalam dadanya. Kini tidak ada lagi yang perlu dia khawatirkan, anak dalam rahim istrinya adalah penyelamat sekaligus fondasi kuat untuk menyelamatkan posisinya.