Chereads / Cruel Of Love / Chapter 13 - Kebahagiaan Semu

Chapter 13 - Kebahagiaan Semu

Dengan penuh rasa bangga, Robi membawa serta istrinya untuk pergi ke rumah besar Wijaya, memberitahukan kabar bahagia yang selama ini dinanti.

Amelia menatap kosong langit luas, semua yang terjadi seolah terlukis di sana. Mentari yang bersinar begitu terang seolah mengejek dirinya yang sedang gelisah.

Semua itu berbanding terbalik dengan apa yang kini Robi rasakan, dunia seolah memberikan ucapan selamat padanya yang tengah berbahagia. Sayangnya, rasa bahagia itu tidak bisa Amelia rasakan karena semua kebahagiaan ini hanyalah palsu belaka.

"Mami pasti bahagia, Mel."

"E-eh, iya Mas ...."

"Kamu kenapa? Masih mual?"

"Sedikit, Mas."

"Mau berhenti dulu?"

"Enggak usah, Mas. Nanti keburu siang kalau berhenti terus."

"Ya sudah, kita lanjut dulu. Kalau kamu mau muntah, bilang saja biar Mas berhenti."

"Iya, Mas."

Robi kembali melajukan mobilnya, menembus padatnya lalu lintas. Amelia merasa bersalah melihat Robi yang begitu perhatian padanya dan sang jabang bayi.

Jauh dari lubuk hatinya, dia akui Robi adalah sosok pria baik yang begitu perhatian, tapi Amelia sendiri tidak sadar kenapa cintanya pada Robi bisa terkikis begitu saja.

Padahal, dia ingat sekali bagaimana besarnya rasa cinta itu pada sang penyelamat hidupnya—Robi Wijaya, tapi anehnya semenjak pria itu menerobos masuk dalam dirinya, semua cinta itu terkikis habis dan menyisakan rasa iba.

Cinta dan obsesi sudah menyatu menjadi satu, bahkan sudut pandangnya pada dua hal tersebut sudah keliru. Amelia masuk dalam jebakan nafsu, mengikis habis akal sehatnya untuk berpikir dengan benar.

***

Setibanya di rumah besar Wijaya, Robi segera menemui Mayang di ruang kerjanya. Sengaja dia tidak memberi kabar terlebih dahulu, agar menjadi kejutan yang sempurna—pikirnya.

Seorang pelayan pribadi Mayang menuntun mereka masuk, karena meski Robi adalah anaknya sekalipun, Mayang tetap menjaga privasinya di ruang kerja.

"Nyonya, Tuan Muda dan Nona datang berkunjung."

Mayang yang tengah sibuk berkutat dengan pekerjaannya langsung berhenti seketika. "Robi?"

"Benar, Nyonya."

"Suruh mereka tunggu di ruang istirahat saya, nanti saya akan menyusul."

"Baik, Nyonya."

Pelayan itu segera keluar dari ruangan, lalu kembali menghampiri Robi yang tengah menunggu penuh harap.

"Nyonya bilang mari menunggu di ruang istirahat, Tuan."

"Mami masih saja kaku seperti itu," gumam Robi.

"Kenapa, Mas?"

"Mami, dia paling tertutup soal ruang kerjanya. Ya sudah, kami tunggu di ruang istirahat."

"Silakan Tuan, Nona."

Meski sempat tinggal beberapa saat di rumah Wijaya, Amelia sendiri tidak tahu secara pasti seluruh ruangan di rumah ini. Selain karena rumah ini terlalu besar dan luas, juga karena dia takut jika harus berpapasan dengan Mayang atau Yustina.

Ruang istirahat milik Mayang ukurannya jauh lebih besar dari kamar miliknya, entah untuk apa ruangan seluas ini—pikir Amelia.

"Saya akan siapkan Teh dan camilan, silakan nikmati waktu anda Tuan."

"Terima kasih, Pak Cakra."

Pelayan itu berlalu pergi, meninggalkan Robi dan Amelia yang tengah menanti. Banyak instrumen musik dan juga karya seni lainnya, namun yang menarik perhatian Amelia adalah sebuah Grand Piano klasik dan dibiarkan usang, tapi justru menambah nilai seni benda tersebut.

Ini adalah kali pertama dia masuk ke dalam ruang istirahat khusus mertuanya, karena selama ini dia seolah diasingkan setiap menyangkut hal tentang keluarga Wijaya. Dunianya terlalu sempit di rumah ini, padahal luas rumah megah ini sepuluh kali lipat lebih besar dari rumahnya yang sekarang.

"Mami suka alat musik," bisik Robi seolah tahu rasa penasaran Amelia.

"Ah ... begitu."

Tidak lama kemudian, pelayan bernama Cakra itu kembali bersama pelayan lain yang membawa serta kudapan dan teh, lalu disusul Mayang yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya.

"Saya tidak perlu, Pak Cakra," ucapnya saat pelayan pribadinya itu hendak menuangkan teh untuknya.

Setelah selesai menyajikan teh, para pelayan itu berlalu pergi. Suasana tiba-tiba membeku, karena mereka tengah asyik dengan pikiran masing-masing.

"Hm ... ada apa?" tanya Mayang memecah kesunyian.

Robi mengeluarkan kotak yang berisi testpack serta surat yang menyatakan kehamilan Amelia. "Ini buat Mami."

Mayang menatap heran kotak itu, lalu meraihnya. "Apa ini?"

"Buka saja, Mam."

Mayang langsung membuka kota itu. Betapa terkejutnya dia saat melihat dua benda itu di sana, berkali-kali dia beralih menatap anak dan menantunya.

"I-ini benar?"

"Iya, Mam ... Congrats, Mami akan jadi Nenek."

Mayang yang biasanya kaku dan dingin, saat itu langsung menghamburkan diri pada putra dan juga menantunya.

Amelia tentu saja merasa sedih, padahal harusnya dia senang karena pelukan hangat sang mertua selama ini dia nantikan. Andai anak itu sungguh anak Robi, mungkin dia tidak akan merasa buruk seperti saat ini.

"Terima kasih, Sayang," ucap Mayang seraya mengecup kening putranya, lalu beralih menatap menantunya yang selama ini dia abaikan. "Thank you so much, Mel."

Hanya kata sederhana, namun mampu membuat Amelia semakin merasa bersalah pada Robi dan juga Mayang. Untuk seketika hatinya tersentuh, dia berharap ini bukanlah ilusi dan rasanya ingin kembali ke saat dimana dia masih menjaga cinta sucinya dengan Robi.

"I-ini, kalian sudah memeriksakan diri?"

"Amel sudah pergi ke dokter langganan, Mam."

"Tapi sehat, kan?"

"Iya, Mam ... sangat sehat," jawab Amelia dengan senyum kecut.

"Sebaiknya kalian pindah lagi ke rumah ini, supaya Amelia bisa lebih terjaga kandungannya."

Amelia sudah menduga hal ini akan terjadi, itulah kenapa dia sudah membuat rencana agar bisa menolak permintaan itu.

"Enggak perlu, Mam."

"Tapi, Bi ... ibu hamil rentan, loh. Rumah kalian juga terlalu kecil, sirkulasi udaranya pasti kurang bagus."

"Kalau Mami khawatir soal itu, Robi dan Amelia berniat pindah ke rumah yang jauh lebih besar, kok."

"Sungguh?"

"Iya, Mam ... Amelia bahkan sudah memilih tempat tinggal baru kami nantinya. Sayang, kasih lihat Mami rumahnya."

Amelia mengeluarkan selebaran berisi foto rumah beserta denah dan lainnya. Mayang mencoba mencermati baik-baik, dia memastikan rumah itu cocok untuk cucunya nanti.

"Ini bagus, tidak terlalu dekat jalan dan juga rumahnya jauh lebih besar."

"Iya, 'kan Mam? Robi juga setuju," sela Robi.

"Sebagai hadiah dari Mami, biar Mami yang beli rumah ini untuk kalian."

"Ja-jangan, Mam ...," sela Amelia.

"Tidak apa-apa, nanti biar Michelle yang siapkan uangnya. Kalian segeralah pindah, nanti Mami bantu isi perabotan rumah untuk rumah baru kalian."

Robi sungguh terharu, akhirnya bisa melihat Mayang dan Amelia terlihat akur. Di sisi lain, Amelia berlonjak kegirangan karena berhasil mendapatkan sesuatu yang memang dia harapkan dari Mayang.

"Nanti Mami akan carikan beberapa pelayan untuk kalian, berhentikan saja pembantuku yang sudah tua itu, Bi."

Amelia tercekat, Narsih tidak boleh pergi dari sisinya karena sudah terlalu banyak informasi yang wanita tua itu ketahui.

"Jangan, Mas. Bi Narsih sudah Amel anggap ini sendiri, malah Amel berniat untuk jadikan dia ibu asuh anak kita."

"Mami bisa Carikan Baby Sitter profesional, tapi kalau kamu memang maunya seperti itu, terserah saja."

Amelia bisa sedikit bernapas lega, setidaknya dia bisa tetap mengawasi Narsih di sisinya.

"Untuk pelayan, Amel juga sudah hubungi tenaga penyalur pekerja, Mam," timpal Robi.

"Ah ... rupanya kalian sudah mengaturnya dengan baik. Sini, Mel ... Mami mau menyapa cucu kesayangan."

Mayang mengelus lembut perut Amelia yang mulai menonjol, sesekali dia tersenyum dan menunjukkan ekspresi yang selama ini tidak pernah dia tunjukkan pada menantunya itu.

Andai aku bertindak jujur demi mendapatkan kebahagiaan ini, mungkin semuanya akan jauh lebih bermakna—batinnya.