Chereads / Cruel Of Love / Chapter 18 - Obsesi

Chapter 18 - Obsesi

Amelia membaringkan tubuhnya di atas ranjang, tepat di sisi suaminya yang sudah lebih dulu terbaring. Sungguh hari yang berat untuknya, meski dia hanya diam dan berpura-pura tersenyum, namun nyatanya bersandiwara itu jauh lebih melelahkan dari apa pun.

Robi membelai mesra sang istri, sesekali tangannya juga mengusap lembut perut istrinya yang mulai sedikit membuncit.

"Kandungan kamu baru delapan minggu 'kan, Mel?"

"I-iya, Mas ... kenapa?"

"Tidak, bukan apa-apa. Mas rasanya tidak sabar menyambutnya."

Setiap membahas usia kandungan, Amelia selalu merasa canggung. Tentu saja usia itu bukanlah yang sebenarnya.

"Kita USG saja, bagaimana?"

"A-ah, boleh saja sih Mas. Tapi Bidannya bilang usia segini belum terlalu jelas."

"Tidak masalah, toh hanya ingin melihatnya saja."

"Minggu depan saja, Mas. Bagaimana?"

"Sungguh? Boleh saja, Mas akan luangkan waktu."

Tentu saja Amelia berkata demikian bukan tanpa persiapan, selagi pemeriksaan dilakukan di tempat yang sudah disediakan olehnya, itu bukanlah masalah besar. Toh, Robi sendiri pasti tidak akan paham—pikirnya.

"Mas, kenapa enggak cerita soal Ayu?" celetuk Amelia memecah keheningan.

"Mas lupa, lagi pula nanti juga kamu akan tahu. Memangnya kenapa?"

"Tidak apa-apa, Mas."

Tentu saja masalah besar untuknya, tapi tentu saja Amelia tidak bisa mengatakan hal itu pada Robi.

"Akhir pekan ini kamu ada acara sama mami dan oma, kan?"

"Iya, Mas. Oma mau mengenalkan ku dengan beberapa koleganya, sekaligus memperkenalkan Ayu."

"Bersenang-senanglah nanti, Mas dengar yang akan datang adalah Nyonya Besar keluarga Pradipta, dia orang yang baik."

"Mas juga ikut, kan?"

"Akan Mas usahakan."

Tentu saja Robi akan ikut, alasannya karena ingin memastikan Amelia pulang setelah pemasangan CCTV selesai.

Jika Amelia tahu itu, dia pasti akan marah besar—batinnya.

Melihat tubuh molek istrinya, hasratnya mulai menggelora. Jika diingat lagi, sudah hampir tiga Minggu dia tidak menyentuh Amelia. Bukan tanpa sebab, Robi terlalu takut akan melukai janin yang sudah dia idamkan, tapi justru caranya membuat istri tercinta semakin liar.

Amelia yang bisa langsung menangkap sinyal itu langsung menepis tangan suaminya dengan lembut. Pergumulan pagi tadi ditambah acara keluarga sudah menguras tenaganya.

"Nanti saja ya, Mas."

Kecewa ... tentu saja. Namun, Robi yang begitu naif menanggapinya sebagai hal lumrah karena sang istri tengah mengandung.

"Ya sudah, peluk Mas sini."

Amelia membalas pelukan itu, meski hatinya kini tengah memikirkan pujaan hatinya yang tidak ada kabar sedari pagi tadi.

"Love you, Mel," bisik Robi mesra.

"Love you too, Mas."

Bibirnya boleh berucap seperti itu, namun tidak dengan hatinya yang kini sudah dirajai pria lain.

Sampai kapan semua ini berakhir? Aku lelah—batinnya.

***

Martin menggoyang-goyangkan gelas berisi Wine miliknya. Sesekali dia menggerutu kesal pada putranya yang belum pulang hingga larut malam.

Dia merasa kesal karena semua tidak berjalan sesuai rencananya, awal permasalahan terjadi saat putranya kembali gagal dalam perjodohan yang sudah dia rencanakan.

"Jadi, pagi tadi dia ke mana?" tanyanya pada asisten pribadi David.

"Tuan David meminta saya untuk menurunkannya dia Cafe, dia bilang ingin sarapan terlebih dulu."

"Lalu, kamu meninggalkannya sendiri, begitu?!"

"Tu-tuan David meminta saya menggantikannya di rapat divisi, lalu beliau juga bilang akan datang ke acara kencan buta seorang diri saja," jawabnya dengan gemetaran.

PLAAAKK!!

Satu tamparan keras mendarat di wajahnya, membuat pria itu hampir rubuh dan terjatuh.

"Aku memintamu mengawasinya baik-baik!"

"Maaf, Tuan."

"Simpan saja maafmu itu, dasar bodoh!"

Pria berkaca mata itu hanya bisa menelan salivanya, selagi David belum kembali, tentu saja dia tidak akan bisa pulang dengan selamat.

"Mana laporan yang kau dapat di perusahaan?"

"I-ini, Tuan."

Martin meraih map itu, lalu memeriksanya dengan teliti. Tidak ada yang aneh namun malah membuatnya kesal karena di sana terlihat jelas bagaimana pengaruh Mayang masih begitu kuat setelah Yustina memutuskan untuk beristirahat dua tahun lalu.

"Jika ada pergerakan aneh dari Mayang, segera laporkan padaku. Kondisi semakin mendesak karena kini istrinya Robi sedang mengandung."

"Baik, Tuan."

Martin melempar map itu ke atas meja, lalu kembali menikmati Wine miliknya untuk menghilangkan sedikit stres.

Seorang pelayan datang mengetuk pintu, lalu dia berkata bahwa David baru saja kembali, langsung saja dia memintanya untuk membang sang putra menghadap.

Tidak perlu waktu lama, kini David sudah berada di ruangannya seraya menundukkan kepalanya.

"Kalian pergilah," titahnya pada para bawahannya.

Kini hanya ada dirinya dan sang putra yang masih dalam diam. Ditariknya rambut sang putra sampai akhirnya dia bis melihat wajahnya dengan jelas.

Ketakutan terpancar dari sorot matanya, namun anehnya pria muda itu tidak bisa berhenti untuk membangkang dari sang ayah.

"Papi memintamu untuk datang ke kencan buta bersama putri tunggal Dhana, lalu kenapa kau tidak datang?" tanyanya dengan tatapan menusuk.

"Pap, berhentilah menjodohkan ku dengan wanita yang bahkan tidak aku sukai—"

PLAAAKKK!!

Satu tamparan keras kini mendarat di wajah David, pria itu mengelus wajahnya yang memerah kesakitan.

"Dasar bodoh! Aku pikir setelah kau merengek ingin masuk perusahaan dan dengan percaya dirinya bilang bisa menguasai perusahaan, kau bisa dipercaya."

"Pap, David janji akan lakukan semuanya asal bukan menikah demi bisnis."

Martin mendekat kembali, dia sudah bersiap memukul namun akhirnya dia urungkan niatan itu.

"Dav, menikahlah dengan wanita yang bisa menguntungkan posisimu. Andai pun kau gagal, setidaknya kau bisa masuk ke perusahaan istrimu. Selagi pengaruh Papi masih besar, pilihlah wanita terbaik dan ajaklah bekerja sama."

"Tapi, Pap—"

"Berhentilah bermain-main, Dav. Kini posisi Robi sudah menguat, ditambah lagi Alan ikut masuk ke perusahaan."

"Alan tidak akan mengancam posisi ku, Pap."

"Jangan pernah mengabaikan musuh meski dia hanya seekor kecoak sekalipun. Akhir pekan nanti, datanglah ke hotel milik keluarga Dirga, Papi sudah mengatur kencan buta untuk mu di sana."

"Pap ...."

"Papi sendiri yang akan mengantarmu, jadi jangan macam-macam. Jangan sampai gosip tentangmu yang ditolak oleh para putri keluarga besar itu kembali mencuat, harga diri mereka terluka kau tahu itu, kan?"

David hanya bisa mengangguk pelan, untuk saat ini dia memang belum memiliki kuasa apa pun untuk berontak.

"Pergilah dan istirahat, kau tampak kacau sekali. Berhentilah bermain-main dengan para pelacur."

David berjalan dengan gontai menuju kamarnya. Begitu sulit baginya mempertahankan perasaannya yang begitu murni pada wanita impiannya.

Ditatapnya foto wanita itu dengan saksama, lalu satu kecupan dia daratkan di sana. Kenapa rasa cinta itu begitu menyakitkan—batinnya.

"Sudah kubilang, lebih baik kita pergi Mel ...," lirihnya.

David tidak bisa menyembunyikan perasaannya yang begitu besar pada istri sang sepupu itu, rasa cintanya yang lebih tepat dibilang sebuah obsesi sudah membutakannya.

Ada jalan yang lebih mudah bisa dia lalui demi bisa merebut kekuasaan di perusahaan Wijaya, namun karena keegoisan dan obsesinya pada Amelia, membuat David buta dan bertindak semaunya.

"Aku sudah susah payah merebut hatimu, bagaimana bisa aku lepas begitu saja," lanjutnya lagi seraya mencoba menutup mata.