Amelia menatap layar ponsel dengan gelisah, berkali-kali dia memeriksa pesan masuk dan penunjuk waktu secara bergantian.
Hari ini dia sudah mengatur janji, tapi Robi masih betah di rumah dan belum juga pergi ke perusahaan. Jika dia terus mendesak suaminya pergi, Robi pasti akan curiga—pikirnya.
"Sayang, kok bengong aja? Apa ada masalah?" tanya Robi heran.
"E-eh, enggak kok, Mas."
"Mas pikir kenapa. Jangan bengong terus, Mas khawatir loh."
"Ehm ... Mas enggak ke kantor?"
"Sebentar lagi, kenapa?"
"Aku pikir Mas mau libur."
Robi merangkul istrinya lalu mengecup keningnya dengan mesra. "Kenapa? Kamu mau Mas libur?"
"Janganlah, Mas. Nanti kena semprot oma dan mami lagi."
"Ya, mau bagaimana lagi. Maaf ya, harusnya Mas luangkan banyak waktu untukmu."
"Enggak usah khawatirkan aku, Mas."
"Oh ya, akhir pekan nanti jadi USG, kan?"
"Jadi, Mas."
"Mas jadi enggak sabar." Robi melihat arloji di tangannya, waktu sudah semakin siang dan dia harus segera berangkat jika tidak ingin kena semprot Mayang. "Mas jalan dulu, ya."
Amelia langsung tersenyum semringah. "Iya, Mas. Hati-hati di jalan."
"Iya, Sayang."
Robi bangkit dari tempatnya, lalu meraih jas dan juga tas kerjanya. "Kau jalan dulu, ya."
Setelah memberikan satu kecupan mesra pada istrinya, Robi segera bergegas pergi, banyak pekerjaan yang sudah menanti dan harus segera diselesaikan.
Setelah memastikan mobil suaminya melesat pergi, Amelia segera bergegas untuk pergi. Dia melihat pantulan dirinya di dalam cermin, sempurna tidak bercela. Perutnya mulai memperlihatkan tonjolan yang cukup besar sekarang, membuat Amelia kurang percaya diri jika memakai dress yang agak ketat.
Setelah memastikan semuanya sudah siap, Amelia segera menuju ke mobil miliknya.
"Buka gerbangnya," titahnya pada petugas keamanan rumahnya.
Pria itu langsung membuka gerbang pintu rumah mereka, lalu Amelia segera melajukan kendaraannya pergi.
Drrrttt'
Ponselnya bergetar, betapa bahagianya Amelia saat melihat siapa yang menghubunginya.
"Halo, Sayang?"
"Sudah pergi?"
"Ya, aku sedang menuju ke tempat janji. Kamu sudah pergi?"
"Aku sudah menunggu di sini, cepatlah datang."
"See you, Honey."
Amelia memutuskan panggilan telepon, lalu kembali fokus mengendarai kendaraannya. Dielusnya perut yang kini mulai membuncit, lalu dia berkata, "Kita ketemu sama papi ya, Sayang."
Dengan senyum yang mengembang, Amelia mempercepat laju kendaraannya menuju hotel di mana sang kekasih berada.
***
Adit menghidupkan cerutu dengan pemantiknya, menghisap dalam-dalam asapnya lalu mengepulkan sapnya memenuhi langit-langit ruangan.
Hari ini akan jadi misi terakhirnya dan harus berjalan sesuai rencana sang Tuan. Jika tidak, tentu saja dia harus bersiap menghadapi konsekuensinya.
Segelas wiski menemani kegelisahan hatinya, dia meneguknya hingga tanda tidak bersisa lalu mengisinya kembali untuk menghilangkan kegelisahannya.
Diraihnya kamera perekam kecil dari dalam tasnya, lalu menempatkannya di tempat yang akan merekam dengan jelas sekaligus tidak akan terlihat.
Setelah semua siap, Adit meraih ponsel miliknya, lalu mencari daftar kontak di dalamnya. Dipilihnya salah satu nomor telepon di daftar kontaknya.
Tuut tuut ...
"Halo, Dit," sapanya.
"Halo, Bi. Anu ... aku mau izin hari ini, boleh?"
"Kenapa? Anakmu sakit lagi?"
"Iya, dia menangis saat aku hendak pergi."
"Ya sudah, temani saja anakmu dulu. Jika sempat, nanti aku mampir ke Apartemen."
"Tidak perlu, kamu pasti sibuk sekali, apalagi siang nanti akan ada klien penting, bukan?"
"Ya sudah, tapi kalau kamu butuh apa-apa, segera kabari."
"Ya, terima kasih. Ya sudah, aku tutup teleponnya, Tasya sedang tidur."
"Ya, titipkan salam ku pada Tasya."
"Bye, Bi."
"Bye."
Rasanya begitu sesak karena lagi-lagi dirinya harus membohongi sahabatnya, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan karena semua dia lakukan demi sang buah hati.
Belum lagi dia bisa menenangkan dirinya, suara ketukan pintu serta suara seorang wanita dari balik pintu membuatnya sempat gugup.
Adit menghirup dalam-dalam oksigen ke dalam paru-parunya, lalu menghembuskannya secara perlahan. Seketika, dia berubah menjadi sosok lain dari dirinya.
Dia berjalan menuju daun pintu, lalu membukakannya untuk wanita yang sudah tidak sabar ingin berjumpa dengannya.
"Honey," sapanya dengan senyum di wajahnya.
Tanpa menunggu Adit menjawab, wanita itu langsung memeluk tubuh Adit erat laku melumat bibir kekasihnya untuk melepas rasa rindu.
"Mel, tutup dulu pintunya," cegah Adit.
Amelia terkekeh. "Maaf, aku lupa."
Dengan segera dia menutup rapat-rapat pintu itu, lalu kembali memeluk Adit dan menciuminya dengan ganas. Lumatan dan pagutan dia lakukan pada bibir kekasihnya yang dia rindukan, seketika saja rasa rindu itu terobati.
Amelia mendorong tubuh Adit ke atas ranjang, lalu dengan cepat melucuti satu persatu pakaian yang menempel di tubuh kekasih gelapnya itu.
Lidahnya menari di atas tubuh Adit, membuat pria itu menggelinjang hebat dan melenguh tidak karuan. "Kamu benar-benar ... nakal sekali," bisiknya.
Setelah membuat Adit tenggelam dalam birahinya, kini Amelia bangkit dan melepas satu persatu pakaian di tubuhnya, menyisakan sehelai kain tipis yang menunjukkan lekuk tubuhnya yang indah.
Adit membopong tubuh itu tepat di hadapan kamera tersembunyi, menempatkan tubuh mereka berdua harus terlihat jelas di sana. Amelia kembali meraih kendali dengan duduk di atas tubuh kekasihnya, sesekali tubuhnya bergerak maju mundur membuat gesekan kecil, membuat benda itu semakin berdiri tegak seolah menantang untuk dijelajahi.
Kini Amelia berada tepat di hadapan benda itu, lalu menelusurinya dengan lidah dan mulutnya Sedangkan Adit, hanya bisa menerima kenikmatan itu. Hatinya boleh menolak tapi tidak dengan tubuhnya sebagai seorang pria normal.
Gerakan Amelia semakin cepat, dibantu oleh dorongan dari Adit yang sudah hampir mencapai puncaknya. Namun, sebelum itu terjadi, Adit melepaskan dirinya dari Amelia yang sudah terbakar birahi.
Dilepaskannya kain itu, lalu kini giliran dirinya yang memberikan serangan yang sama. Dilumatnya bibir Amelia dengan gemas, lalu turun ke leher dada dan juga tubuh bagian bawahnya. Di sana dia mulai menjelajahi bagian paling sensitif yang Amelia miliki membuat wanita itu mengejang menahan geli.
"Ssshh ... perlahan, Sayang."
Seketika Adit bisa melihat jelas perut Amelia yang mulai membuncit. Dalam hatinya dia menjerit, bagaimanapun juga anak dalam rahim Amelia adalah darah dagingnya tapi tidak ada jalan lain selain mengorbankan anak itu demi Tasya—putrinya.
Seolah hilang kendali, Adit semakin beringas mempermainkan ritme gairah Amelia, sampai akhirnya wanita itu mengejang dan sampai pada puncaknya.
Untuk seketika Amelia lemas, sedangkan Adit tanpa memberinya kesempatan untuk bernapas langsung menghentak tubuhnya ke dalam inti tubuh Amelia.
Dengan kasar, dia bergerak cepat, membuat Amelia kembali melenguh kenikmatan saat benda itu melesak semakin dalam.
Lenguhan dan rintihan seolah menjadi irama indah yang di dengarnya, terutama saat Adit menggeram seraya terus menghentak tubuhnya dengan cepat. Kenikmatan inilah yang tidak bisa Robi berikan padanya, sehingga Amelia terlena dan akhirnya terjebak dalam perselingkuhan.
Saking nikmatnya, Amelia bahkan sudah dua kali mencapai puncak saat Adit mengubah gaya bermain mereka, tapi pria itu terlalu perkasa sampai Amelia tidak kuasa menahan lututnya yang mulai lemas.
Robi menarik rambut Amelia, menunjukkannya ke arah kamera tersembunyi agar wajah wanita itu terlihat lebih jelas. Sedangkan dirinya kembali melesakkan benda pusaka miliknya dengan kasar sampai membuat Amelia kembali mengejang saat dia mencapai puncaknya untuk ketiga kalinya. Saat itulah, dia juga merasa sudah tidak kuat untuk segera memuntahkan birahinya di dalam rahim Amelia.
Seketika mereka ambruk di atas ranjang yang sudah basah karena keringat dan cairan cinta dari keduanya. Amelia dengan sisa tenaga yang ada kembali mengecup bibir Adit.
"Aku cinta kamu," lirihnya.
Adit hanya menjawabnya dengan senyum, lalu memeluk tubuh itu untuk kali terakhir. Tangannya mengusap lembut perut Amelia yang membuncit, dalam hatinya dia terus mengucapkan maaf pada nyawa yang harus dikorbankan demi keegoisannya.