Amelia bermain-main dengan ponselnya, memeriksa kembali pesan masuk yang masih kosong di sana. Sang pria idamannya belum juga membalas satu pun pesan darinya, membuat Amelia kesal dan jengkel.
Drrrtttt'
Ponselnya bergetar, dia segera membukanya berharap itu adalah pesan dari kekasih hatinya. Namun sayang, lagi-lagi pesan itu datang dari David.
Dilihatnya dulu sekeliling, memastikan suaminya yang sedang bersiap belum usai. Lalu dibukanya pesan itu.
[Kamu mau ke rumah oma hari ini?]
[Iya, ada acara pesta teh di sana.]
[Kalau begitu, aku juga akan datang untuk melihatmu.]
[Astaga, di sana hanya ada para wanita, dasar bodoh!]
[Tidak apa, aku bisa berdalih mengantar mami.]
[Terserah saja, tapi jangan sampai membuat semua orang curiga.]
[Tidak akan, aku hanya ingin melihat wajahmu. Rindu sekali rasanya.]
[Apa tidak cukup selama seharian kemarin kita bertemu?]
[Andai bisa, aku ingin mengikatmu tepat di sisiku.]
[Dasar gila.]
[Aku memang gila, tapi hanya gila saat berurusan dengan mu saja.]
[Sayang ... aku lihat ada sebuah permata bagus, apa aku bisa memilikinya? Robi terlalu pelit jika soal uang.]
[Tentu saja, kamu mau aku membelikannya?]
[Jangan! Berikan saja uangnya dan aku akan membelinya sendiri.]
[Itu urusan mudah, anggap saja sebagai rasa terima kasihku atas pelayanan kemarin.]
[Terima kasih. Aku harus bersiap.]
[Berdandanlah yang cantik, sampai bertemu lagi, Sayang.]
Amelia segera menghapus pesan-pesan itu, lalu menaruh kembali ponselnya di atas meja.
Sejak dirinya kesulitan bertemu dan berkomunikasi dengan sang kekasih, akhirnya dia terpaksa menghubungi David sebagai pelampiasan.
Padahal, tadinya dia malas jika harus menanggapi pria gila satu itu, tapi tubuhnya tidak bisa menolak untuk menerima setiap sentuhannya sejak Robi tidak pernah menyentuhnya dan kekasihnya juga sulit dihubungi.
Kehadiran David sebenarnya diluar rencana Amelia, tapi karena suatu kejadian, dirinya harus terjebak dengannya. Tapi justru kini David bisa dia manfaatkan sebagai kambing hitam sekaligus sumber uang miliknya.
Namun, karena keintiman mereka akhir-akhir ini, kini malah memiliki arti tersendiri baginya. Padahal dulu, jangankan berkata manis apalagi menyapanya, Amelia bahkan enggan jika harus berhadapan dengannya kecuali dibatas ranjang.
Dia akui, baik Robi maupun kekasihnya saja masih kalah perkasa dari David yang ternyata jauh melebihi ekspektasi dirinya.
Meski sifat over protektifnya membuat Amelia kurang nyaman, tapi pelayanannya di ranjang memang tidak bisa dia ragukan lagi.
Bukan hanya itu, David bahkan rela melakukan apa pun untuknya termasuk uang. Meski Amelia sendiri tidak tahu dari mana uang itu berasal.
Tidak perlu menunggu lama, satu pesan masuk dari David, memberitahukan bahwa dirinya sudah mengirimkan sejumlah uang untuknya. Amelia girang, setidaknya uang itu bisa kembali mengisi rekening tabungan masa depannya dengan sang kekasih untuk persiapan melarikan diri.
Amelia bangkit dari tempatnya, lalu mengintip dari celah pintu kamar mandi. Robi masih dengan kegiatannya di dalam, dia putuskan u tuk mencoba menghubungi kekasihnya dengan ponsel milik Robi.
Diraihnya ponsel milik sang suami, lalu mencari kontak dengan nama sang pujaan. Benar saja dugaannya, pria itu dengan cepat menjawabnya.
"Halo, sebentar lagi aku jalan—"
"Sayang ...."
Pri itu sontak saja terkejut. "Amel?!"
"Kamu kenapa enggak balas chat dan juga panggilan dariku?"
"Astaga, kenapa kamu menghubungiku dengan ponsel Robi?!"
"Karena kamu tidak membalas satu pun pesan dariku."
"Aku sedang banyak pekerjaan, maafkan aku."
"Apa sampai harus mengabaikan pesanku juga?"
"Iya, maaf ... aku sedang banyak masalah akhir-akhir ini, jadi tidak sempat memikirkan hal lain."
"Kenapa? Apa anakmu sakit lagi?"
"Tidak, tapi memang aku sedang pusing memikirkan biaya pengobatannya."
"Lagi?"
"Iya, tabunganku selalu saja terkuras untuk itu. Aku khawatir akan memakai uang tabungan kita."
"Tidak apa jika memang demi anak kita. Anakmu, anakku juga. Aku baru saja kirim uang ke rekening kita, pakai saja jika perlu."
"Terima kasih, Sayang."
"Sama-sama. Beritahu aku berapa jumlah sisanya, aku usahakan untuk terus mengeruk uang mereka sebanyak mungkin."
"Lakukanlah, demi kita dan anak-anak nantinya. Maafkan anakku, karenanya banyak uangmu yang terpakai."
"Uang kita ... sudah aku bilang, apa yang jadi milikku artinya milikmu juga."
"Aku sungguh terharu, Mel."
"Bukan apa-apa. Janjilah padaku, kamu harus membalas pesan dan menemuiku sesekali."
"Iya, aku janji. Mungkin esok, bagaimana?"
Amelia melonjak girang. "Sungguh? Aku tunggu di rumah."
"Tidak, jangan di rumah. Aku mau suasana baru."
"Oke, di hotel saja?"
"Boleh. Ya sudah, tutup dulu teleponnya. Jangan lupa hapus daftar panggilan."
"Iya, tenang saja. Aku sudahi dulu, khawatir Robi nanti keluar dari kamar mandi."
"Iya, aku juga ada sesuatu yang harus ku urus."
"Bye, honey."
"Bye ...."
Amelia segera menghapus daftar panggilannya, lalu kembali meletakkan ponsel milik Robi ke atas meja. Sedetik kemudian, Robi keluar dari kamar mandi, beruntungnya bagi Amelia karena dia sudah selesai melakukan panggilan.
"Lama, ya?"
"Tidak kok, Mas. Aku juga baru selesai make-up," kilahnya.
"Ya sudah, kamu tunggu saja di bawah, Mas hanya tinggal ganti baju."
"Iya, Mas."
***
Di sisi lain, Adit baru saja bisa bernapas lega setelah menerima panggilan telepon. Untung saja dia tidak melakukan kesalahan, jika tidak, mungkin rencananya akan hancur berantakan.
Dia tersenyum getir, panggilan telepon tadi diluar rencananya dan mungkin akan mengubah alur rencana sang tuan karena pergerakan Amelia yang tiba-tiba.
Diraihnya kembali ponsel miliknya, lalu segera mungkin menghubungi sang tuan untuk melaporkan perkembangan rencana mereka.
"Selamat pagi, Nyonya."
"Ya, pagi. Ada apa?"
"Sepertinya kita harus mempercepat rencana kita, Nyonya. Amelia bergerak lebih cepat, saya rasa sudah saatnya."
"Lakukanlah, kapan?"
"Esok, saya harus bertemu dengannya."
"Temuilah. Kau tenang saja, setelah rencana terakhir ini berjalan lancar, kau bisa membawa putrimu pergi sejauh mungkin."
"Terima kasih, Nyonya."
"Ya."
Adit memutuskan panggilan telepon, lalu menaruh kembali benda pipih itu ke dalam tas miliknya.
Ditatapnya Tasya yang masih tertidur pulas karena efek obat yang dikonsumsinya. Dia tahu, dirinya bukanlah Ayah yang sempurna tapi setidaknya dosa yang dia buat semua demi memperjuangkan kesehatan sang putri.
"Mbak, saya titip Tasya."
"Baik, Tuan."
Adit segera keluar dari apartemen miliknya, lalu bergegas turun menemui salah satu temannya yang akan dia ajak bekerja sama.
Misi terakhirnya kali ini untuk Robi, membuatkan sebuah bukti perselingkuhan Amelia dan David untuk membuka lebar-lebar mata sahabatnya yang selama ini sudah dibodohi.
"Semuanya sudah siap, Bos."
"Tolong bagian kamar kalian tempatkan kamera yang jauh lebih kecil agar tidak terlihat."
"Itu sih, gampang. Tenang saja."
"Sebentar, aku hubungi dulu seseorang."
Adit kembali menghubungi salah satu anak buahnya, karena tanpa campur tangannya, mungkin rencana hari ini akan gagal.
"Halo, Bi."
"Halo, Dit. Kamu sudah jalan?"
"Belum, Bi. Apa sudah dilakukan sesuai rencana?"
"Sudah, mungkin sebentar saja security itu sudah tidur."
"Bagus. Apa Bibi jadi ikut?"
"Iya, Tuan Robi memaksa."
"Ikut saja dan serahkan sisanya padaku. Maaf kembali menyusahkan Bibi."
"Kapan semua ini selesai, Dit? Kasihan Tasya jika tahu—"
"Jangan sampai tahu dong, Bi. Sabarlah sebentar lagi, setelah ada instruksi dari Nyonya, kita bisa melarikan diri bersama. Bibi kembali jaga Tasya, kedua sepupu Bibi juga bisa ikut."
"Bibi hanya Khawatir, Dit. Kenapa semua berakhir seperti ini ...."
"Bi, lakukan saja. Ayo kita lakukan untuk terakhir kalinya."
"Ya, berhati-hatilah."
Adit segera menutup panggilan itu, lalu bergegas bersama temannya menuju kediaman Robi.
Sedangkan di sisi lain, anak buahnya—Narsih sudah bersiap dengan kopi dan makanan buatannya untuk penjaga rumah.
"Mas, ini kopi dan camilannya."
Pria itu langsung melahap sebuah kue dengan lahap. "Makasih, Bi. Kapan jalan?"
"Nah, itu Tuan sudah keluar. Kami jalan dulu, titip rumah ya."
"Siap, Bi."
Narsih segera menuju mobil, di sana Robi, Amelia dan kedua keponakannya sudah bersiap untuk pergi. Kini, semua sudah menuju akhir—pikirnya.