Acara pesta jamuan adalah hal lumrah di kalangan para pebisnis dan sosialita, terutama Yustina yang memiliki peran penting dalam perusahaan.
Dari luar mungkin mereka terlihat harmonis, namun jauh dari dalam lubuk hati mereka, ada mata dan telinga ekstra untuk menangkap kelemahan lawan.
Mayang dengan bangganya memperkenalkan menantunya yang tengah mengandung pewaris terkuat keluarga Wijaya, sekaligus memperkenalkan calon menantunya yang seorang Dokter pada seluruh tamu.
Amelia sampai lelah terus memaksakan diri tersenyum lebar, jika bukan karena Robi, mungkin dia tidak akan bisa bertahan.
Matanya mencari-cari sosok yang akhir-akhir ini seolah menjadi obat pelipur lara dan penghapus dahaganya di ranjang. David dan sang mami—Marie belum juga tiba.
Sebenarnya dia tidak berharap pria itu tiba, tapi entah kenapa Amelia tetap saja penasaran pada sosoknya.
"Cari apa, Sayang?" tanya Robi heran.
"I-itu, aku lihat ada koktail, sepertinya enak ...," kilahnya.
"Kamu sedang mengandung, jangan aneh-aneh. Bagaimana jika minum yang lain saja?"
"Boleh, Mas."
"Ya sudah, Mas ke dapur dulu."
"Loh, suruh saja Narsih atau pelayan, Mas."
"Mas hanya memeriksa, mereka yang buat."
"Tapi, Mas—"
"Kamu duduk saja, nikmati camilannya."
Robi berlalu pergi, sedangkan Amelia duduk seraya memperhatikan para tamu yang sedang saling menyapa penuh kepalsuan.
Di sisi lain, tanpa dia duga Ayu bisa mengimbangi mereka dan ikut berbaur dengan mudah. Padahal, Amelia sempat berpikir kalau dia akan menemukan celah kekurangan Ayu, namun nyatanya gadis desa itu melebihi dugaannya.
Bagaimana gadis desa itu bisa menjadi pusat perhatian meski hanya tersenyum lebar saja? Bahkan, Bros dengan mutiara air tawar yang begitu indah saja mudah dilupakan oleh para tamu sedangkan mereka mengerubungi Ayu seolah dia jauh lebih berharga dari hadiah yang Amelia siapkan.
Dari kejauhan Yustina mendekat, wanita yang sudah uzur itu membawa serta sepiring puding untuk cucu menantunya.
"Mel," sapanya membuyarkan lamunan Amelia.
"Oma, silakan duduk."
Amelia membantu wanita itu dengan menggeser sebuah kursi untuknya, lalu kembali ke tempatnya semula.
"Bagaimana acaranya, kamu suka?" tanyanya.
"Suka, meriah sekali, Oma."
"Syukurlah, Oma khawatir kamu tidak menikmatinya."
"Tidak mungkin, acara yang Oma persiapkan begitu sempurna, mana bisa aku tidak menikmatinya."
"Makanlah puding ini, Oma perhatikan kamu belum menyentuh makanan sejak datang tadi."
Amelia merasa terharu. Sejak dirinya mengumumkan kabar kehamilannya, semua orang berubah sikap padanya, termasuk Yustina yang biasanya selalu sinis.
"Terima kasih, Oma." Amelia menyantap puding itu dengan sendoknya, lalu dia berkata, "Manis sekali."
"Tentu saja, habiskanlah. Apakah kamu masih merasa mabuk?"
"Tidak, Oma. Meski terkadang perut rasanya tidak nyaman."
"Usia kandunganmu 12 minggu, bukan?"
Amelia tersenyum lebar. "Iya, Oma."
"Apa kalian sudah melakukan pemeriksaan USG?"
"Niatnya minggu depan, Oma."
"Apa perlu Oma rekomendasikan seorang Obgyn?"
"Amelia menggeleng cepat. "Tidak usah, Oma. Amel sudah buat janji dengan seorang Obgyn lain."
"Ah ... begitu. Ya sudah, makanlah lagi."
Tidak lama kemudian, Robi kembali membawakan segelas jus buah segar untuk istrinya tercinta.
"Ada Oma ternyata. Mau jus juga, Oma?" tawarnya pada Yustina.
"Tidak usah, sudah cukup. Kenapa kau meninggalkan istrimu sendirian?"
"Tadi Amelia bilang ingin minuman yang segar, jadi Robi meminta pelayan untuk membuatkannya."
"Suruh saja pelayan, kenapa kau repot-repot harus pergi meninggalkan istrimu?"
"Tidak apa, Oma. Robi hanya ingin memastikan semuanya aman untuk Amelia konsumsi."
Yustina terkekeh. "Mendengarmu bilang begitu, Oma berpikir kalau kamu mencurigai para pelayan akan melakukan sesuatu pada istrimu."
Robi tercekat, dia pikir dirinya sudah salah menyampaikan pada Omanya. "Bukan begitu Oma."
"Ya, Oma tahu kamu bukan berniat bicara seperti itu, Oma hanya merasa lucu mendengarnya. Paranoidmu itu terlalu berlebihan, Bi."
"Aku hanya ingin memastikan apa yang Amelia konsumsi adalah makanan dan minuman terbaik, dia 'kan sedang mengandung anakku, cicit Oma."
"Ya, bagus. Kau seorang Ayah yang siaga dan begitu perhatian. Tapi, berikanlah sedikit kepercayaan pada bawahanmu, tubuhmu akan lelah kalau melakukan segalanya sendiri."
"Iya, Oma."
"Ya sudah, Oma harus kembali ke kamar."
"Oma lelah? Biar Robi yang antar."
"Kebetulan ada yang ingin Oma bicarakan soal perusahaan, tapi Amelia ...."
"Kamu pergi temani Oma saja, Mas. Aku di sini saja, kasihan mami kalau harus menyapa tamu seorang diri," ucap Amelia.
"Kamu enggak apa-apa?"
"Kan ada mami, Ayu dan banyak tamu yang harus disapa. Lagi pula, Oma ingin bicara soal perusahaan."
"Istrimu begitu pengertian. Mel, Oma pinjam suamimu sebentar."
"Baik, Oma."
Robi dan Yustina berlalu pergi kini hanya ada Amelia yang masih menikmati jus dan puding pemberian Yustina.
Sedangkan di sisi lain, David yang tiba sedari tadi hanya mengawasi dari kejauhan. Dia tidak menduga acaranya akan jauh lebih ramai dari yang dia bayangkan. Jangankan menyapa Amelia, bahkan untuk pura-pura mendekat saja terlalu sulit karena banyak pasang mata yang akan melihat.
"Dav, mami mau coba dekati Nyonya keluarga Anggara, katanya putri bungsunya itu baru pulang studi dari luar negeri loh," bisik sang mami—Marie.
"Terserah Mami saja."
"Kamu kenapa, sih? Ayo berbaur dengan yang lainnya, kamu harus perbanyak relasi."
"Mami saja dulu, aku akan menyapa nanti."
"Benar, ya? Lihat si Alan, dia sedang cari muka dengan calon tunangannya. Meski dia bukan musuh kuat sebenarnya, tetap saja jangan beri dia celah."
"Iya, Mam ... aku paham."
"Ya sudah, Mami ke sana dulu."
"Ya."
Dilihatnya Yustina dan Robi sudah pergi meninggalkan Amelia, ini saatnya mengajak wanita pujaannya untuk bertemu—pikirnya.
Diraihnya benda pipih dari dalam saku jasnya, lalu dia kirimkan pesan singkat untuk Amelia.
[Honey ... Apa kamu bosan?]
Dari kejauhan dia melihat Amelia tengah mengedarkan pandangannya, mungkin dia sedang mencarinya—pikir David.
[Kamu sudah datang?]
[Ya, sudah.]
[Di mana? Aku tidak bisa menemukanmu.]
[Lihatlah ke belakang, aku sedang melihat punggungmu yang indah.]
Seketika mata mereka bertemu, jantung David berdebar-debar setiap itu terjadi. Dia sendiri tidak mengerti, bagaimana bisa begitu mencintai istri dari sepupunya itu.
[Kau terlihat cantik dengan gaun itu.]
[Terima kasih. Aku juga suka warna setelan jasmu hari ini.]
David merasa berbunga-bunga membaca pesan pujian dari sang kekasih rahasianya itu.
[Aku rindu kamu. Bisakah kita bertemu?]
[Bagaimana caranya? Di sini banyak sekali orang.]
[Aku tunggu di gudang paviliun, masuklah melalui rumah, jadi tidak akan ada yang memperhatikan.]
[Apa kamu yakin tidak akan ada yang curiga?]
[Aku akan ke sana lebih dulu, datanglah 10 menit lagi.]
[Oke.]
David berjalan perlahan menjauh dari kerumunan. Saking asyiknya dengan urusan masing-masing, tidak ada seorang pun yang menyadarinya pergi.
Di gudang paviliun, David menunggu dengan cemas. Tempat ini adalah tempat paling aman dan minim pengawasan, dia ingin sedikit saja melepas rindunya pada Amelia yang terlihat cantik sekali hari ini.
Terdengar suara langkah kaki mendekat, dia mengintip dari balik pintu dan begitu senang saat melihat Amelia yang datang dengan hati-hati.
Dibukanya pintu gudang, lalu menarik Amelia masuk segera. Dipeluknya Amelia erat, melepas rindunya yang terasa menyesakkan beberapa hari ini.
Mata mereka bertemu, David langsung memagut bibir ranum Amelia dan langsung disambut oleh wanita itu dengan antusias.
Untuk sesaat mereka berusaha menikmati ciuman itu dengan perasaan bercampur aduk. Debaran di dada bahkan terdengar bersama helaan napas keduanya.
"Aku rindu kamu, Mel," bisik David mesra lalu kembali mendaratkan ciumannya.