Amelia menatap lembaran kertas itu dengan bahagia. Akhirnya dia bisa memiliki properti atas nama dirinya, juga mobil baru yang Yustina berikan sebagai hadiah untuk dirinya yang akan melahirkan penerus keluarga Wijaya.
Seluruh keluarga sudah diberi kabar bahagia itu sesaat setelah Robi berkunjung, satu persatu anggota keluarga bahkan termasuk pamannya—Martin mengirimkan banyak hadiah kecil sebagai formalitas. Tidak sepenuhnya dari mereka tulus melakukan itu, apalagi dengan adanya anak dalam kandungan Amelia, semakin memperkuat posisi Mayang dan juga Robi.
Amelia beralih menatap tumpukan hadiah dari saudara suaminya, semua barang itu mahal namun tetap tidak bisa menghibur hatinya yang seolah meronta-ronta.
Kenapa aku merasa tidak bahagia? Apa lagi yang kurang? Semua sudah kudapatkan, hanya tinggal menunggu waktu untuk benar-benar pergi dan menikmati hidup dengannya—batin Amelia.
"Mel, kenapa?" tanya Robi yang tengah sibuk bersiap untuk pergi bekerja.
"Banyak sekali kadonya, Mas."
"Lalu? Bukankah itu artinya bagus?"
"Iya, Mas. Hanya saja terasa bagai mimpi untukku."
"Mas paham itu, karena Mas sendiri merasakannya. Oh ya, Mami bilang siang nanti kamu harus ikut acara Tea Time di rumah."
"Lagi?"
"Ya, mau bagaimana lagi. Mami ingin pamer pada temannya, jadi ikuti saja."
"Iya, Mas."
"Mel, apa kamu yakin belum membutuhkan pelayan saat ini?"
"Tidak usah, Mas. Bi Narsih bilang masih sanggup mengerjakannya, nanti anaknya dari kampung akan datang untuk membantu."
"Mas sih setuju saja, tapi Mami pasti agak sulit dibujuk."
"Bi Narsih bawa dua orang kok, Mas. Nanti bilang saja kita dapat dari penyalur."
"Ya sudah, kamu yang lebih tahu soal itu."
Robi kini telah siap untuk pergi, dia langsung mengecup kening sang istri sebelum pergi. "Maa jalan dulu."
"Hati-hati, Mas."
"Iya, Sayang."
Robi berlalu pergi, meninggalkan Amelia yang masih terbaring di atas ranjang baru miliknya. Sudah dua minggu sejak dia mengumumkan kehamilannya, selama itu juga dia diminta untuk berbaring di kasur dan hanya diizinkan melakukan aktivitas kecil lainnya.
Amelia mengusap lembut tubuhnya, mencoba mengobati rasa rindu akan belaian dari pria itu. Robi enggan menyetubuhi karena khawatir akan mengganggu pertumbuhan janin dalam trimester satu, membuatnya haus akan belaian.
Diraihnya ponsel yang berada di atas maka, lalu dia menghubungi seseorang yang kini dia butuhkan.
Sesaat dia menunggu tapi kekasih hatinya tidak menjawab. Tidak lama kemudian, pesan singkat menyusul masuk darinya.
[Aku ada meeting hari ini, Sayang. Nanti aku hubungi lagi.]
[Aku rindu ... juga butuh kamu saat ini.]
[Nanti siang aku datang, tapi tidak dengan sekarang. Robi akan curiga jika aku tidak ada pagi ini.]
[Tidak usah. Siang nanti Mayang memintaku untuk menemaninya Tea Time.]
[Ikut saja, siapa tahu nanti kamu bisa dapat sesuatu lagi.]
[Lalu, kapan kamu mau temui aku?]
[Jika ada kesempatan, pasti aku kabari.]
[Ya sudah.]
[Sayang, jangan lupa kirim uang ke rekening tabungan kita.]
[Sudah, nanti cek saja.]
[Sungguh?]
[Kapan aku pernah bohong, Sayang?]
[Benar, Ameliaku tidak pernah bohong. Aku lanjut kerja dulu.]
[Ya, semangat!]
Amelia segera menghapus pesan mereka, menghilangkan jejak sebaik mungkin selagi bisa. Dia kecewa, lagi-lagi kekasihnya tidak bisa datang.
Pagi ini dia rasanya sudah tidak bisa tahan lagi. Seluruh tubuhnya terasa sensitif setiap kali tangannya menyentuh bagian tertentu, tubuhnya seolah meronta ingin mendapat sentuhan.
Tok tok tok'
Suara ketukan pintu membuyarkan fantasinya, Amelia segera merapikan pakaiannya. "Masuk Bi Narsih."
Narsih membawakan sarapan untuk tuannya, dia terlihat gelisah. "Ini sarapannya Nyonya."
"Ya, simpan saja di atas meja."
"Nyonya, di luar ada Tuan ...."
Amelia berlonjak girang, meski bukan orang yang dia harapkan, setidaknya pria itu bisa mengobati dahaganya pada sentuhan.
"Suruh dia masuk, Bi."
"Nyonya ... saya takut kalau ketahuan."
"He! Kerjakan saja apa yang aku minta!" sentaknya.
Narsih hanya bisa meneguk salivanya yang terasa kering, dia tidak bisa berbuat apa-apa hingga waktu sendiri yang akan membukanya.
"Baik, Nyonya."
Narsih berlalu pergi, menghampiri pria yang kini menunggu di luar sana. "Nyonya bilang silakan masuk, Tuan."
"Sudah kubilang, dia pasti mengizinkannya. Dasar wanita tua Bangka!" hardiknya.
Pria itu langsung menerobos masuk lalu mengunci kamar Amelia. Sedangkan wanita itu juga langsung menghamburkan diri pada pelukan pria di hadapannya.
"Aku rindu," bisik Amelia.
"Aku juga."
Mereka saling memagutkan bibir. Birahi yang selama dua minggu ini terpendam membuat Amelia menggila.
Dengan kasar dia melucuti pakaiannya dan juga pria itu, lalu menggiringnya ke atas kasur. "Akus sungguh ingin dipuaskan."
"Akan aku lakukan."
Pria itu dengan beringas menciumi tubuh Amelia, dari ujung kaki hingga kepala tidak ada yang dia lewatkan. Sedangkan wanita liar itu, semakin tidak karuan melenguh dan menggelinjang menikmati setiap sensasi yang dia rasakan.
Ini memang sarapan terbaik—batinnya.
Kini, Amelia yang mengambil alih permainan. Dia memberikan kenikmatan setimpal sebagai balasan setimpal atas kenikmatan yang dia terima. Pria itu memejamkan mata dan melenguh keenakan.
"Kau memang paling tahu apa yang aku butuhkan," lirihnya sambil terus menekan kepala Amelia agar lebih dalam.
Amelia sudah kehilangan akal sehatnya, yang terpenting baginya saat ini hanyalah bisa menyalurkan semua birahinya. Pagi itu menjadi pagi yang panas, erangan kenikmatan memenuhi ruangan.
***
Di kantor, Robi tengah bersiap memimpin rapat. Dia begitu serius sampai tidak menyadari Adit masuk ke ruangannya.
"Bi."
"Astaga! Kaget aku."
"Serius banget, aku ketuk pintu saja enggak dengar."
"Ini lagi periksa dulu berkasnya, Dit."
"Kamu ini teliti sekali, padahal sudah di audit juga, Bi."
"Hanya memastikan, Dit."
"Ini minum dulu, jangan lupa vitaminmu."
"Thanks, Dit."
Sebenarnya Robi tidak sepenuhnya fokus, dia khawatir pada Amelia yang kini tengah hamil muda. Meski ada Narsih, tapi dia masih merasa gelisah.
"Kenapa, Bi?"
"E-eh, kenapa apanya?"
"Kamu terlihat gelisah."
"Kamu memang pandai menebak, Dit."
"Ada apa? Cerita saja, barangkali aku bisa bantu."
"Aku khawatir sama Amelia, dia hanya berdua sama Narsih di rumah."
"Kenapa enggak pesan pelayan saja?"
"Katanya Narsih mau bawa anak dan saudaranya masuk, jadi Amelia melarang ku untuk mencari pelayan."
"Ah ... begitu."
"Aku juga khawatir terjadi sesuatu, apalagi rumah baru kami berada agak di dalam perumahan."
"Sewa Security tambahan saja, Dit."
"Ya, aku juga sudah usulkan itu tapi Amelia malah takut jika ada pria lain di rumah."
"Kan hanya duduk di luar, Bi."
"Dia tetap khawatir, Dit."
Adit hanya bisa tersenyum getir. "Kamu terlalu menurut pada istrimu, Bi. Bilang saja, semua itu demi keselamatannya."
"Akan coba kubujuk lagi, Dit."
Robi kembali berkutat dengan lembaran kertas di tangannya, meski fokusnya terpecah ketika mereka membicarakan Amelia.
Selagi menunggu, Adit memainkan ponsel miliknya. Sesekali dia tertawa melihat apa yang muncul di layar ponselnya, membuat Robi penasaran.
"Lihat apa sih, Dit?"
Adit mendekatkan ponselnya pada Robi, terlihat di sana rekaman CCTV yang tersambung di ponselnya.
"Ini di apartemenmu, kan?"
"Iya. Aku sengaja pasang CCTV untuk memantau putriku. Kamu kan tahu, aku tidak bisa sepenuhnya percaya pada pengasuh apalagi banyak kabar kurang sedap akhir-akhir ini."
Adit adalah seorang Ayah tunggal, dia sudah bercerai beberapa tahun lalu karena sang istri lebih memilih profesinya daripada keluarga.
"Enak juga ya, bisa lihat putrimu kalau sedang rindu."
"Kenapa kamu enggak pasang juga, Bi? Aku malah heran kamu enggan pasang CCTV di rumah, padahal demi keamanan."
"Amelia melarangku, dia merasa diawasi katanya."
"Astaga Robi ... pasang saja diam-diam. Ini demi keamanan rumah, Bi. Kamu memang kurang waspada jadi orang. Di dunia ini, tidak semuanya sebaik dan sepolos kamu, Bi."
"Tapi—"
"Bayangkan jika terjadi sesuatu lalu kamu tidak punya bukti karena tidak ada CCTV. Contohnya saat pengasuh putriku mencubit diam-diam, aku bisa tahu dan langsung memecatnya karena punya bukti kuat."
Robi berpikir sejenak, dia rasa tidak ada salahnya untuk melakukan hal yang sama apalagi kini keselamatan Amelia menjadi hal utama baginya.
"Kalau begitu, bantu aku untuk hubungi jasa pasang CCTV, Dit."
"Kapan?"
"Akhir pekan Amelia ada acara sama Oma, bisa kita manfaatkan untuk pasang CCTV saat itu."
"Oke, kabari lagi saja, Bi."
Robi meyakinkan dirinya bahwa apa yang dia lakukan demi keamanan Amelia, bukan karena ingin menguntit istrinya seperti apa yang Amelia tuduhkan dulu.