"Ada keperluan apa?" tanya Robi dingin.
"Apakah aku harus memiliki alasan setiap kali berkunjung ke rumah oma?"
"Oma belum pulang, di dalam sana hanya ada mami."
"Kalau begitu, aku akan menunggu di sini."
"Silakan saja, tapi sayangnya oma belum ada kabar kapan akan pulang."
"Hmm ... meski begitu, apa boleh aku ikut berbincang dengan kalian. Kita bersaudara, harus sering mengakrabkan diri seperti ini."
David meminta seorang pelayan rumah untuk menyiapkan teh baru, itu artinya dia sengaja ingin berlama-lama bersama dua saudaranya. Alan dan Robi berusaha tenang, ini bukan kali pertama mereka harus menghadapi sikap angkuh David.
"Jadi, kau ingin masuk perusahaan juga, Lan?" tanyanya.
"Kenapa? Apa tidak boleh?"
David tersenyum mengejek. "Bukan tidak boleh, aku hanya takjub saja."
"Takjub?"
"Ya, takjub. Aku pikir mengingat statusmu hanya anak haram, kamu akan tetap diam dalam bayang-bayang kakak kesayangan mu ini," ejeknya.
"Rupanya sepupuku ini sangat perhatian. Terima kasih," jawabnya tidak mau kalah.
David tersenyum getir. Bukan respons itu yang dia harapkan dari salah satu saingannya itu. "Rupanya nyaliku besar juga."
"Oh ya? Justru aku baru sadar."
Robi bangga pada adiknya, dia bisa tenang menghadapi David yang memang sering berulah.
David kesal, umpannya meleset dan malah balik membuatnya kesal. Jika Alan gagal dia provokasi, itu artinya dia harus beralih pada sepupunya yang lain—Robi.
"Bi, aku dengar dari paman kamu dan Amelia hendak inseminasi, bukan?"
Robi mendelik tajam. "Itu bukan urusanmu."
"Hei, jangan sentimental seperti itu. Aku hanya khawatir pada Tante Mayang yang sudah menantikan penerus."
"Jangan pikirkan aku dan urus saja urusanmu sendiri. Aku dengar Putri keluarga Prayogo menolakmu mentah-mentah," serang Robi balik.
David mendengus kesal. "Masih ada putri keluarga berpengaruh lainnya yang bisa aku dekati, setidaknya bukan anak seorang pelacur yang aku pungut dari jalan."
Robi sudah tidak bisa lagi mentoleransi ucapan David, terlebih jika itu menyangkut istrinya—Amelia.
"Jaga sikapmu, Dav!" sentak Alan, mencoba membantu sang kakak.
"Loh, kenapa kamu yang sewot, Lan?"
"Kamu—"
"Ah ... aku baru ingat. Kamu juga berasal dari seorang pelacur, pantas saja merasa tersinggung." David belum juga puas, apalagi saat melihat Alan dan Robi sudah terpancing emosi.
"Pergi!" sentak Robi.
"Loh, kenapa?"
"Dav—"
David tergelak, membuat dua bersaudara itu semakin geram. "Kalian sungguh menggelikan. Sungguh persaudaraan yang sempurna, si pecundang dan si anak haram. Yang satu nyali tidak ada seujung kuku dan satunya lagi hidup dalam bayang masa lalu—"
Buugghh!
Satu pukulan keras dari Robi mendarat, membuat David limbung nyaris terjatuh. "Cukup!"
"Astaga, yang barusan itu pukulan? Tenaga pembantu rumahku jauh lebih besar darimu, Bi."
"Cepat pergi, sialan!" timpal Alan tidak kalah geram.
"Oke-oke. Lagi pula tehnya juga sudah dingin."
David hendak berbalik badan dan pergi, namun dia menghentikan langkahnya lalu kembali menghampiri Robi dan Alan.
"Apa kamu sudah siap bersaing denganku, Bi?"
"Ya, tentu saja sudah."
"Dengan dasar kasih sayang sebagai saudara sepupu, aku hanya ingin mengingatkan agar kau lebih hati-hati."
Robi tersenyum tipis. "Kalau kamu mau bersaing, aku akan dengan senang hati menunggu. Kita lakukan secara adil."
David semakin mendekat pada Robi, lalu dia membisikkan sesuatu, "Dalam dunia bisnis, keadilan adalah hal tabu. Sepertinya Tante Mayang tidak mengajarimu dengan baik. Aku akan bersaing meski harus melempar kotoran sekalipun padamu, selagi aku akan menang."
Robi tersenyum kecut. Ucapan David barusan menandakan perang secara terbuka dengan segala cara meski harus saling menjatuhkan satu sama lain.
"Bukankah ada orang lain yang jauh lebih membahayakan posisimu? Adik tercintamu juga masuk perusahaan, apa kamu tidak berpikir bahwa bisa saja musuh terbesarmu ada berada tepat di sisimu?" lanjutnya lagi.
Alan yang mendengarnya kesal. Ditariknya David lalu dia dorong menjauh dari tubuh Robi. "Pergi! Jangan dengarkan dia, Kak."
David tergelak. "Kenapa, anak haram? Kamu takut jika Robi menghalangi mu masuk? Harusnya tahu diri saja, bisa tinggal dan makan tenang saja sudah syukur—"
Buugghh!
Satu bogem mentah mendarat di wajahnya, bahkan David sampai tersungkur hingga ke tanah. Darah segar mengalir dari hidungnya, segera dia seka. "Lumayan."
Robi sudah siap kembali menyerang, tapi Robi menghalanginya. "Sudah, jangan diladeni."
"Aku tidak percaya kamu memiliki darah Wijaya, Bi. Lihatlah sifat naifmu itu, sungguh lemah."
"Dav, lebih baik pergi saja dan kita selesaikan di rapat direksi nanti."
David berusaha bangkit, saat Robi hendak membantunya, dia menepis tangannya dengan kasar. "Aku bisa sendiri."
"Aku sudah memperingatkan mu baik-baik, Bi. Lalu, untuk mu anak haram. Jangan berharap bisa merebut posisi di perusahaan Wijaya, akulah yang berhak merebut itu," ancamnya seraya berlalu pergi.
"Sinting," hardik Alan.
"Sudah, biarkan saja. Kamu 'kan tahu, dia orang yang memang suka berkompetisi."
"Tetap saja, menyebalkan. Kak, jangan terhasut ucapannya, aku tidak berniat begitu."
"Sudah, jangan dibahas. Kakak pulang dulu, kasihan Amelia pasti sudah menunggu."
"Ya sudah, hati-hati ya, Kak."
Robi beranjak pergi meninggalkan istana yang terasa bagai penjara, tempat yang sewaktu-waktu bisa saja harus maminya tinggalkan jika kendali kuasa perusahaan jatuh pada pihak pamannya.
Napasnya sesak, memikirkan banyak hal yang mungkin saja terjadi di masa depan. Meski sejauh ini semuanya masih berjalan lancar berkat bantuan sang mami, belum tentu esok atau lusa.
Dia sadar betul kapasitasnya, jika boleh melarikan diri, mungkin sudah dia lakukan sejak awal. Statusnya sebagai anak pertama menjadikannya sebagai tumpuan sang mami bertahan hidup, menjadikan beban hidupnya semakin bertambah.
Jika bukan karena Amelia, mungkin dia akan memilih pergi dan memulai hidup baru. Tidak! Sebenarnya bukan karena itu, tapi karena dia terlalu penakut namun menjadikan istrinya sebagai tameng menutupi dirinya yang pecundang.
"Aaarrgghhhhh!!"
Robi berteriak histeris, melepas rasa stres yang selama ini dia sembunyikan. David sejatinya bukanlah lawan yang mudah, mengingat kepandaian serta koneksinya yang lebih luas, tidak seperti dirinya yang selalu tertinggi dan mengandalkan Mayang dalam segala hal.
Dia meratapi kebodohannya yang berpura-pura tetap tenang meski sebenarnya takut dalam hati. Soal Alan, bukan berarti dia tidak khawatir jika adiknya itu merebut posisinya, itulah sebabnya Robi bersikap baik agar Alan tidak berpikir untuk melukainya di masa depan.
Bukan hanya karena Alan juga anak mending sang papi, tapi sejatinya Alan jauh lebih pintar dalam segala hal dibanding dirinya. Dia merasa tidak layak menjadi penerus setiap kali membandingkan diri dengan adiknya.
"Kau sungguh pengecut, Bi," lirihnya seraya menyeka air mata.
Begitulah dirinya yang sebenarnya. Terlihat kuat meski jauh dalam dirinya sedang gemetar hebat, mendapat banyak persaingan dari orang-orang yang jauh lebih unggul dibandingkan dirinya.
Robi segera menghapus air matanya, lalu berusaha mengatur napas agar kesadarannya kembali. Istrinya tidak boleh tahu soal ini, begitu juga dengan orang lain. Siapa pun tidak boleh ada yang sadar, betapa pengecutnya seorang Robi Wijaya.