"Itu ngga ada hubungannya denganku. Jika kamu emang punya masalah dengan tuan Rames, kenapa ngga kamu selesaikan?"
Diguna tampak kesal mendengar penuturan Riana. Entah apa yang akan Diguna lakukan jika Alan tidak mencegahnya saat itu.
"Kak Diguna, sabar, Kak. Riana ngga tau apa-apa," ucap Alan, berusaha meredam amarah kakak sepupunya.
Diguna membuang muka, enggan untuk melihat Riana. "Silahkan cari anak kamu sendiri. Jangan pernah lagi minta bantuan saya," ucapnya, masih bernada kesal.
"Kak, Alan mohon, tolong maafin Riana. Dia ngga sengaja ngomong kayak gitu," pintanya.
"Silahkan kalian pergi, temui Alvin di pondok puncak gunung. Mungkin dia bisa menemukan di mana orang tua dan anaknya berada," jelas Diguna, tetap menolak untuk membantu Riana.
"Kami akan pergi, tapi Alan minta ... Kak Diguna mau maafin Riana," ucapnya.
"Pergi sekarang juga," sentak Diguna.
..
Riana dan Alan sudah berada di puncak gunung, di mana pondok yang Diguna katakan berada.
Memang benar, pondok itu tampak kecil jika dilihat dari luar. Bagaimana Alvin bisa ada di sana? Lalu, bagaimana Diguna bisa tau? Aps dia mempunyai indera keenam?
"Alan, apa itu pondoknya?" Tunjuk Riana.
"Iya, hanya ada satu pondok di sini. Itu artinya, emang pondok itu yang kita cari," jawab Alan.
Pemandangan dari atas gunung tampak begitu indah. Riana hampir terlena dibuatnya. Jika saja kedatangannya bukan untuk mencari sang suami, mungkin saat ini Riana tengah menikmati keindahan alam yang terpampang di hadapannya.
"Alvin?" Panggil Riana.
"Kak Alvin. Kak?" Alan juga turut memanggil sang kakak.
Pondok itu sangat sepi. Jika memang ada orang di dalamnya, pasti terdengar sampai keluar aktivitas di dalamnya.
Riana memberanikan diri untuk membuka pintu secara perlahan. Segelah pintu terbuka setengah, Riana hanya mengintip sedikit.
"Alvin," panggilnya lagi.
Tetap tidak ada suara. Apa mungkin Diguna berbohong? Ya mungkin saja. Tidak ada dasar apa pun untuk Riana mempercayai laki-laki itu. Diguna orang asing sekaligus orang aneh.
"Eh, tunggu." Cegah Riana saat Alan masuk ke dalam pondok begitu saja.
Alan tidak mengindahkannya. Dia sudah jauh masuk ke dalam. "Kak Alvin?" teriaknya. Membuat Riana terkejut.
"Alvin"
Pemandangan apa ini? Alvin tidur di ranjang bersama seorang wanita. Siapa wanita itu? Mengapa terlihat begitu tua?
Teriakan mereka membangunkan wanita itu, tapi tidak dengan Alvin. Dia tetap terpejam tanpa bergerak sedikit pun.
"Siapa kalian? Beraninya masuk ke pondokku," sentak wanita tua itu.
"Apa yang kamu lakukan pada Alvin? Dia suamiku," balas Riana.
Wanita itu tersenyum. "Alvin sudah menjadi milikku. Tidak ada yang boleh mengambilnya," teriaknya.
Wuusshh. Brug.
Riana dan Alan terlempar jauh hingga ke bawah gunung. Apa yang terjadi? Wanita tua itu hanya berteriak, kenapa mereka bisa terlempar jauh?
"Riana, kamu ngga apa-apa?" tanya Alan.
"Enggak. Aku ngga apa-apa kok," jawab Riana.
"Apa itu tadi? Kenapa kita bisa kelempar ke bawah?" tanyanya.
Alan membenarkan posisi duduk, memejamkan mata sebentar. "Wanita itu adalah wanita yang menjawab telfonku tadi malem."
"Apa? Ibu-ibu tadi?"
"Iya. Aku masih hafal suaranya. Makanya aku ajak kamu dateng ke rumah Kak Diguna," balas Alan.
"Diguna? Apa hubungannya dengan ibu-ibu tadi?"
"Ibu-ibu yang ada di pondok itu ... ibu kandung Kak Diguna, tante Kristin namanya" jelas Alan.
"Ibunya Diguna? Bukannya dia bilang kalo semua keluarganya udah ngga ada?" ucap Riana mengingat jawaban Diguna tadi.
"Benar, tapi ngga semua. Di keluarga Narendra hanya tersisa Kak Diguna dan ibunya. Tante Kristin mengalami gangguan mental setelah kehilangan suami dan kelima anaknya," ungkap Alan.
"Itu berarti ada 6 anak di keluarga Narendra? Alvin sebagai anak sulung dan Diguna anak bungsu?" tebak Riana.
Alan mengangguk. "Iya, kamu benar. Hanya tante Kristin yang selamat pada peristiwa itu. Dia berada di tempat kejadian saat semua keluarganya meninggal," ucapnya bercerita.
"Terus Diguna? Gimana dia bisa selamat? Bukankah mereka semua mengalami peristiwa itu?" tanya Riana, tampak antusias.
"Enggak. Kebetulan saat itu kak Diguna lagi di luar negeri. Jadi, dia ngga mengalaminya, saat mendengar kabar tersebut ... kak Diguna langsung kembali ke sini," ungkap Alan.
"Tunggu. Terus apa hubungannya hal itu sama tuan Rames? Diguna bilang, papamu yang menyebabkan keluarganya meninggal," ucap Riana.
"Entahlah, aku juga ngga begitu tau mengenai masalah itu. Papa ngga pernah mengatakan hal apa pun tentang peristiwa yang dialami keluarga Narendra"
"O iya, bukannya kamu bilang ... kalo orang tuamu selalu mengunjungi makam di puncak itu saat tanggal 17 setiap bulannya. Apa arti dari angka itu?" tanya Riana.
"Itu adalah hari di mana mereka semua mengalami insiden dan meninggal di tempat. Aku masih ingat jelas ... pagi itu papa sedang bersiap untuk pergi ke kantor, lalu ponselnya berdering dan berita duka pun sampai di telinga kami semua"
Di tengah cerita Alan, teriakan seseorang tiba-tiba terdengar begitu keras. "Itu suara tante Kristin. Apa yang terjadi?" seru Alan bergegas naik ke atas puncak.
"Alan, tunggu." Riana juga mengikuti Alan kembali naik.
Teriakan kembali terdengar. Itu teriakan orang yang histeris. Apa yang terjadi pada tante Kristin? Apa mungkin Alvin sudah sadar?
Lelah sekali rasanya, kaki seperti akan lepas. Berjalan melewati puluhan anak tangga dengan berlari. Sungguh sangat melelahkan.
"Tante." Alan mendobrak pintu dengan cara menendangnya.
"Tante Kristin." Alan mendekati wanita yang duduk sambil memeluk lutut.
Riana mencari keberadaan Alvin. Di mana dia? Ranjang yang Alvin tempati sudah kosong. Ke mana dia pergi?
"Alvin," teriak Riana, mencari di segala sisi pondok.
"Alvin." Riana berteriak semakin keras.
Tidak ada jawaban, juga tidak ada sosok yang Riana cari. Riana mulai menuruni anak tangga, siapa tau Alvin sudah turun tanpa sepengetahuan mereka berdua.
"Riana"
"Alvin?" Riana melihat suaminya sedang duduk di bawah pohon yang cukup rindang.
Satu hari. Riana tidak melihat Alvin selama itu. Bagaimana bisa penampilannya seperti orang yang sudah dikurung berminggu-minggu? Kucel dan berantakan.
"Alvin." Riana memeluknya. "Syukurlah kamu ngga apa-apa. Aku khawatir sekali, aku takut kam-"
"Ssstt, aku baik-baik aja. Aku senang bisa melihatmu lagi," ucap Alvin, membalas pelukan sang istri.
"Apa yanh terjadi sama tante Kristin? Kenapa dia berteriak histeris?"
"Dia selalu seperti itu saat melihatku. Nama dan wajahku mengingatkannya pada putra sulung yang paling dia sayangi," terang Alvin.
"Maksud kamu ... Alvin Narendra? Apa wajah kalian sangat mirip?"
"Ya, untuk orang yang belum mengenal kami dan hanya melihat sekilas. Kami terlihat seperti orang kembar, itu kenapa tante Kristin selalu seperti itu, setiap kali melihatku"
"Nanti aku ceritain lagi saat sampai di rumah," jelas Alvin. "O iya, kamu, gimana kamu bisa tau tempat ini?" tanyanya.
"Dari kakak sepupumu, Diguna"
"Diguna?"
next...