Regina menghabiskan segelas kopi yang ia beli. Keenan memberikan gelas kopi yang juga tak ada isinya pada Regina. Dia keluar dari ruangan itu, kemudian membuang kedua gelas plastik tersebut. Sedangkan David termenung sesaat. Dia menoleh ke arah Keenan.
"Tuan muda, saya berpikir nona itu selalu tidak ingat setiap kejadian yang menimpanya," kata David. Regina masuk kembali, ia tak mau ketinggalan pada hal-hal yang mereka bicarakan.
"Aku juga berpikir begitu, tetapi kenapa harus dia yang selalu menjadi sasarannya?"
"Saya mulai paham alurnya dan tujuan dari orang ini. Mungkin, dia dibius oleh seseorang, sehingga membuatnya tak berdaya," ucap David.
"Apa ada orang gila yang melakukan hal itu? Itu pasti perbuatan dari pria mesum yang tidak bisa menahan dirinya, dia menjebaknya karena dapat menikmati kesengsaraannya. Dia pasti pria psikopat," kata Regina asal tebak. "Bagaimana? Aku pintar 'kan?"
"Bukan pintar, tetapi bodoh."
"Tuan muda sama sekali tidak pernah memujiku. Selalu saja menganggapku bodoh." Regina mengerucutkan bibirnya, dia agak kesal.
"Coba pakai otakmu baik-baik, jika pria itu memang seperti yang kamu pikirkan, ia tak mungkin hanya memperalat perempuan itu saja demi tujuan bejatnya. Selain itu, orang-orang yang menyerang kalian bukanlah pelaku sesungguhnya. Aku yakin mereka digerakkan oleh seseorang yang berada di belakang mereka," kata Keenan.
"Masuk akal. Seseorang mengendalikan mereka sama seperti dia mengendalikan perempuan itu," sahut David.
"Aku tidak sabar bertemu dengan orang itu. Siapapun dia, aku akan memberikan tinju terbaikku." Kedua mata Regina terlihat bengis.
"Tuan muda, kasus ini cukup rumit. Kita semua harus berhati-hati karena pergerakan mereka tidak menentu."
"Kamu benar. Untuk saat ini, kita harus menemukan markas yang baru."
"Perlukah aku membakar markas kita yang lama, Tuan muda?" ucap Regina dengan ide bodohnya.
"David, lain kali kalau kita bahas masalah ini lagi, jangan melibatkan Regina dalam hal ini," ujar Keenan. David tersenyum tipis.
"Ke-kenapa? Apa aku dipecat? Tuan muda, jangan pecat aku, ya. Aku masih membutuhkan uang untuk membeli makan, memperbaiki motorku yang mulai rusak, membeli deterjen untuk mesin cuci, membayar listrik, membeli pasta gigi, dan masih banyak yang lain."
"Kalau kamu tak bosan bekerja denganku, kamu harus kurangi kebiasaanmu dalam mengatakan sesuatu yang tidak jelas," tegas Keenan.
Dia tidak mau memberikan toleransi pada sesuatu yang sulit ia terima. Regina menundukkan kepala, dia seperti mendapatkan peringatan dari Keenan kalau itu merupakan kesempatan terakhirnya untuk bekerja disana.
"Aku diam saja, ya. Tidak banyak berkomentar." Regina menundukkan kepala.
"Regina, apa kamu sudah menemukan petunjuk tentang identitas perempuan itu?"
"Tidak sama sekali. Bagaimana mau menemukan petunjuk, tuan muda sendiri yang menyuruh saya untuk segera menemukan David yang menghilang."
"Oh ya, David, kamu belum menceritakan saat kamu menghilang waktu itu. Aku hanya ingin tahu kejadian yang menimpamu," ucap Keenan seraya menyipitkan mata, menatap David dengan serius.
"Itu yang ingin saya katakan dari tadi pada tuan muda dan Regina. Saat saya diberi obat bius agar tak sadarkan diri, tanpa sengaja saya melihat sepatu yang ia kenakan. Sepatu itu seperti dibuat oleh seorang desainer dalam jumlah terbatas."
"Itu bisa menjadi petunjuk kita. Sedikit demi sedikit kita mulai dapat memecahkan permasalahannya," kata Keenan. Senyuman tersungging pada bibir indahnya.
"Biar saya saja yang mencari tahu tentang sepatu itu, Tuan muda. Gimana?" tanya Regina. Ia menunggu jawaban dari Keenan dan berharap pria itu menyetujui idenya.
"Tugasmu masih belum selesai untuk mencari tahu tentang wanita itu dan kamu ingin mengambil tugas lainnya?" Keenan menggelengkan kepala.
"Begini saja, biar saya yang mengambil alih soal penyelidikan terhadap nona itu," sahut David. Dia tidak ingin berdiam diri walau kondisinya masih tidak memungkinkan.
"Pak David masih belum sembuh sepenuhnya. Aku rasa, aku saja yang menyelidiki semua itu sendirian."
"Jika aku membiarkanmu mengerjakan itu semua, apalagi dengan tindakanmu yang ceroboh, masalah tidak akan kelar sampai kapanpun. Selain kamu merasa kesulitan, nyawamu juga berada dalam bahaya."
"Aku akan lebih berhati-hati. Tuan muda, berikan aku kesempatan, ya? Kali ini, aku jamin, aku tidak akan mengecewakan tuan muda lagi. Hmm?" Regina tak ingin dianggap tak berguna. Ia akan mengerahkan semua kemampuan yang ia miliki.
"Tuan muda, maaf kalau saya lancang. Menurut saya, tidak ada salahnya jika memberikan Regina kesempatan untuk menebus kesalahannya. Kita tidak tahu musuh seperti apa yang kita hadapi. Semakin banyak orang yang membantu kita dalam hal ini, masalah akan segera teratasi dengan baik," kata David. Dia tidak tega melihat Regina yang dirundung kesedihan.
"Baiklah. Aku akan memberikan Regina kesempatan, tetapi kamu harus ingat satu hal, Regina. Jangan bertindak ceroboh dan membuatku harus turun tangan untuk menyelesaikan masalahmu. Kamu mengerti?"
"A-aku mengerti, Tuan muda."
"Ya sudah, aku bagi tugas saja. David, setelah kamu sembuh dan keluar dari rumah sakit ini, kamu harus mencari tahu tentang identitas serta latar belakang perempuan itu, semua hal tanpa kecuali."
"Saya akan melaksanakan titah tuan muda dan saya akan bertindak lebih berhati-hati."
"Regina, kamu juga harus perhatikan setiap langkahmu dalam menangani si pelaku. Jangan sampai ketinggalan satupun beritanya! Paham?"
"Siap, Bos!" Regina bersikap hormat seperti polisi yang memberi hormat pada atasannya.
"Karena semua ini telah selesai, aku akan kembali ke hotel."
"Hotel? Tuan muda, aku sangat lapar. Gimana kalau kita makan dulu? Perutku sudah mengempis begini. Kasihanilah perutku, Tuan muda."
"Dasar, soal makanan saja kamu tidak pernah lupa!"
"Kalau aku tidak makan, gimana bisa menjalankan perintahmu, Tuan muda?" Regina tidak berhenti merengek seperti anak kecil. Padahal, umurnya bukan anak-anak atau remaja lagi.
"Ya sudah, ikut aku ke restoran terdekat sekitar sini dan sekalian beli untuk David."
"Baik, Tuan muda." Wajah Regina terlihat bersemangat. Perutnya menari-nari, ia paling tak bisa menahan lapar. Keduanya mengarah pada motor Regina yang diparkir. Wanita itu melirik Keenan, agak ragu. Keenan agak risih dilirik seperti itu.
"Kenapa melirikku?"
"A-anu… Sepertinya, bensin motorku habis," ungkap Regina, menampakkan senyumannya yang lebar seolah tak merasa bersalah.
"Kenapa baru bilang sekarang?"
"Aku baru tahu. Tadi lupa nggak aku cek."
"Naik taksi saja. Ayo, cepat!"
"Baik, Tuan muda." Regina menghentikan taksi hingga sebuah taksi berhenti tepat di depannya.
Regina mempersilahkan Keenan masuk ke dalam taksi terlebih dahulu. Wanita itu membukakan pintu untuk Keenan. Kemudian, Keenan masuk kesana tanpa memperdulikan Regina. Tatapannya tegas dan terlihat arogan.
Regina duduk di sebelah Keenan, agak gugup. Baru kali ini ia duduk di sebelah Keenan. Bukan merasa senang, ada ketakutan tersendiri di dalam dirinya. Keenan yang bersikap kurang bersahabat, membuatnya menelan ludah.
Tanpa mereka sadari, sopir yang mengendarai taksi memperhatikan mereka dengan sorotan yang tajam. Mungkinkah pria itu akan berbuat sesuatu terhadap mereka?