David cukup kesal. Nafa tak berhenti mendesak David. Namun, pria itu tak ingin menghentikan apa yang ia lakukan terhadap Nafa. "Tunggu sebentar, kita masih belum selesai," ucap David. Ia seakan tak ingin diganggu.
"Ba-bagaimana kalau dia melihat kita? Dia 'kan masih anak kecil. Tidak tau apa-apa."
"Sebentar saja. Nanggung."
Nafa hanya bisa menggelengkan kepala dan membiarkan pria itu berbuat sesukanya, meskipun ia tak berhenti berdesau dan mencairkan suasana sekitarnya. Dia tak bisa berbuat apa-apa, memang hanya David pria satu-satunya yang membuatnya begini.
Beberapa menit kemudian, mereka saling menjauhkan diri. David tersenyum seraya memandang wajah Nafa. Adhella semakin mendekat. Ketika ia melihat David dan Nafa, mereka sudah berpakaian lengkap.
"Ibu, ke mana saja?" tanya Adhella.
"I-ibu ha-habis…."
"Mencari kayu bakar," sahut David. Ia membantu Nafa sambil tersenyum lebar.
"Kenapa ada om juga?" tanyanya.
"Membantu ibumu mencari kayu bakar." David membelai lembut kepala Adhella.
"Lalu, kenapa wajah ibu merah? Apa ibu sakit? Leher ibu juga kemerahan."
"Ah, ini karena digigit nyamuk," jawab Nafa asal.
"Digigit nyamuk?" tanya Adhella tak percaya. Ia merasa ada yang Nafa sembunyikan darinya.
"Nyamuknya banyak banget. Om aja habis digigit nyamuk juga. Namun, nyamuk yang menggigit om sangat spesial. Dia itu... Aaah." Nafa mencubit tangan David, sorotan kedua matanya tajam.
"Daripada mikirin nyamuk, ibu akan siapkan sarapan pagi dulu. Adhel, kamu bantu ibu dahulu, ya," ujar Nafa tersenyum lembut.
"Oke, Bu."
Mereka pun pergi meninggalkan David. Satu jam kemudian, ikan bakar telah jadi. Nasi juga sudah matang. David menggenggam tangan Nafa diam-diam. Ia mengecup lembut bibirnya. "Tenang, aku enggak akan seliar tadi," bisik David.
Wajah Nafa merona. Dia berdiri menjauhi David. Jantungnya berdetak tak karuan. Pria itu tersenyum memandangnya dari kejauhan. Namun, ekspresi wajahnya berubah seketika. Kesedihan menyiksa batinnya. Hidup terkadang seperti permainan.
Ketika ia menemukan kebahagian, ia harus rela melepaskannya. Rasa itu sungguh menyiksa. Melepaskan bukan sesuatu perkara yang mudah. Bagi David yang baru merasakan indahnya mencintai, hatinya terombang-ambing. Pria seperti David mudah rapuh, namun ia tak pernah melanggar janjinya.
Pria itu bukan sekadar bicara manis, seperti pria playboy lainnya. Dia merupakan pria sejati. Nafa beruntung memiliki David. Dari dulu ia tak pernah mempermainkan wanita. Jika ia menetapkan hatinya pada satu orang wanita, dia tidak akan berganti pada wanita lain.
Nafa sibuk menyiapkan piring yang dibantu Adhella. Gadis kecil itu begitu cekatan, telah terbiasa membantu ibu angkatnya. "Bu, biar aku aja yang kasih ke om itu ya," ucap Adhel.
"Oke," ucap Nafa sambil tersenyum.
Adhella memberikan sepiring nasi dengan ikan bakar. Piring yang digunakan hanyalah piring plastik berukuran kecil. Pendapatan Nafa menangkap ikan tak banyak. Tak heran, ia kurang peduli untuk membeli piring keramik.
Jarak dengan kota cukup jauh, itu juga menjadi salah satu faktor penyebabnya. Dia juga tak bisa terlalu lama meninggalkan Adhella dan pria itu sendirian. Terkadang, ada tetangga yang iba dengan kondisinya, mengirim beberapa kebutuhan pokok.
Nafa tidak mau dikasihani dibalik kondisinya yang terpuruk. Ia tetap tersenyum sesulit apapun hidup yang ia jalani. Dia tidak pernah mengeluh walau seringkali memiliki keterbatasan. Nafa merupakan wanita yang berhati tulus.
Senyumannya tak lepas dari bibirnya, ia tak henti menatap David yang menikmati masakannya. "Makan yang banyak," ucap Nafa sambil memberikan satu ikan bakar lagi.
"Ibu, om sudah punya ikan, kenapa malah dikasih lagi?"
"Itu karena…"
"Cinta," sahut David. Nafa senyum-senyum sendiri mendengar kata itu seraya memukul tangan David. Adhella yang masih kecil kurang mengerti apa yang terjadi diantara mereka.
Sayang, kisah manis mereka sementara terhenti tak lama. David bersikukuh untuk kembali sore hari. Ia menanti waktu hingga tiba. Nafa memeluknya dari belakang seakan tak rela membiarkannya pergi. David membalikkan badan. Ia mengecup bibir Nafa yang membuatnya hilang kontrol.
"Jangan sedih, aku pasti akan kembali ke sini!" tutur David.
Sebenarnya, ia tak tahu kapan tepatnya akan kembali ke sisi Nafa. Ia tak mau membuatnya cemas, namun ia berjanji pada dirinya sendiri kalau ia pasti akan menemui Nafa. Wajah David dan Nafa saling berdekatan hingga hidung mereka bersentuhan.
Cukup lama seperti itu, membiarkan hati mereka saling menyatu. Beberapa menit kemudian, David memeluknya. Setiap kali Nafa berada dipelukan itu, membawa hatinya menari-nari diatas awan. Ia membiarkan dirinya terbenam dalam pelukan itu. Kedua matanya terpejam.
David tak ingin melepaskan Nafa. Dia mempererat pelukannya. "Nafa, aku tidak akan mengatakan selamat tinggal atau salam perpisahan," kata David.
"Aku tahu. Kamu akan kembali. Aku akan menunggumu." Nafa memberikan seulas senyuman yang hangat. Ia tak sabar menanti David dan berharap takdir mempertemukan mereka kembali.
"Tunggulah aku, aku tidak akan mengecewakanmu," kata David. Kecupan lembut mendarat pada kening Nafa. Mereka tak ingin kehilangan momen romantis sebelum kepergian David.
"Kalau kamu membawa perempuan saat kemari, aku akan mengusirmu dari sini," kata Nafa. David tersenyum mendengar perkataan wanita itu.
"Aku merasa ada bau-bau cemburu di sini," sindir David.
"Siapa yang cemburu? Cemburu hanya untuk anak ABG. Aku sudah tua, cemburu tidak berlaku untukku."
"Ya udah, aku cari wanita lain ya setelah meninggalkan tempat ini."
"Silakan. Di sini masih banyak pria yang mau denganku," ucapnya. Ia tak mau mengalah. Dia melepaskan pelukan David sejenak. David mencubit pipi Nafa.
"Walau di sini banyak pria, hanya aku satu-satunya pengobat rindumu," bisik David.
Ia mencium pipi Nafa lembut. Keduanya saling bertatapan mesra. Ciuman panas menjadi pemanis di antara mereka. Bibir mereka menyatu dalam ikatan cinta yang sulit mereka lupakan. Tangan kanan David memegang kepala Nafa bagian belakang, memperdalam ciuman.
Nafa berjinjit seraya melingkarkan kedua tangannya pada leher David. Kenangan mereka akan terus mengalir dalam hati dan pikiran mereka, sulit terlupakan, tak peduli waktu berdentang cukup lama. Cinta itu mengalir tiap menit bahkan tiap detik. Nafas yang menderu menjadi bukti kerinduan mereka.
Cinta tak bisa terucap dengan kata manis, biarlah angin membawa semua kenangan dan menjadi bukti keindahan keduanya. Laut yang membentang luas juga menjadi saksi bisu yang tak bisa terungkap dalam waktu yang singkat.
Cinta sejati hanya untuk mereka yang saling melengkapi, berjanji sehidup semati, dan tak pernah lelah untuk saling mengisi kekosongan hati. Tak semua pasangan rela sehidup semati, hanya karena ego masing-masing. Tak semua orang rela memberikan waktu berharganya demi orang yang dicintai.
Namun, Cinta David dan Nafa mungkin akan menjadi salah satu dari sekian asmara yang membekas di hati. Laut menjadi pemisah di antara mereka, tetapi tak seperti perasaan mereka yang mendalam. Takdir dapat membawa mereka untuk bersatu.
Cinta yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan, sulit dipisahkan dengan cara apapun. Kendatipun pertemuan yang tak sengaja, akan melukiskan seberapa besar takdir yang menghubungkan keduanya. Biarpun waktu bergulir tak semestinya, hanya mereka yang bisa menentukan hidup mereka.
"Kapal telah datang, sepertinya kamu harus pergi," kata Nafa. Ia harus merelakan kepergian sang pujangga hatinya. Tak ada kata perpisahan, tak ada kata yang membuat hati mereka terluka karena cinta mereka yang membawa David kembali pada Nafa.