Chereads / Love And Conspiracy / Chapter 26 - Aksi Regina

Chapter 26 - Aksi Regina

Polusi membawa bencana bagi banyak orang, udara tak sehat memenuhi jalanan dengan kebisingan yang merajalela. Salah satu kendaraan dengan tingkat kebisingan yang tinggi melaju dengan kencang. Suara klakson motor terdengar keras, memekikkan gendang telinga.

Seorang wanita berkacamata hitam mengendarai motor gede dengan helm berwarna pink. Dia menguasai jalanan tanpa mempedulikan kendaraan di sekitarnya. Gerakannya sangat lincah seperti seorang pembalap. Padahal, ia tak pernah mengikuti pertandingan semacam itu.

Dia hanya suka menonton mereka dari televisi. Sosoknya yang mengendarai motor gede, cukup mengejutkan banyak orang. Pasalnya, dia tidak memberikan kebebasan kendaraan lain untuk bergerak semestinya di jalan raya. Dia tak peduli.

Keegoisannya meningkat hingga ia melewati lampu lalu lintas tanpa memperdulikan lampu merah. Kebetulan disana ada beberapa polisi yang melakukan pemeriksaan helm, SIM, KTP, serta STNK.

Dia dicegat dan mengharuskannya menghentikan motor gede. Salah satu polisi meminta untuk menunjukkan kartu identitas beserta kelengkapan dalam kendaraan bermotor. Dia tak beruntung, karena hanya memakai helm dan membawa KTP saja.

Wanita itu hanya mengulas senyuman lebar. Tak ada rasa takut di dalam benaknya. Tak lama, ia digiring ke pos pengamanan. "Pak, kita damai saja ya," ujar wanita itu sambil merayu.

Ia memberikan sejumlah uang pada mereka. Walau uang yang dikeluarkan tak sedikit, tak ada satupun polisi yang mau menerimanya hingga ia menambah nominal dari uang itu. Akan tetapi, itu percuma, mereka tetap tak mau.

Banyaknya pelanggaran yang terjadi, membuatnya kesulitan menempuh jalan damai. Mereka ingin wanita itu melalui jalur persidangan. Segala upaya dilakukan agar tak melalui jalur itu, nyatanya mereka begitu sulit dihadapi. Kemudian, ia menentang mereka agar memanggil kepala kepolisian untuk menghadapinya.

Wanita itu menggertakkan gigi. Kesal, amarah, serta kecewa bertumpuk menjadi satu. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Akhirnya, ia mengeluarkan salah satu kartu keanggotaan agen rahasia. Kartu itu sering ia bawa kemana-mana.

Mereka cukup terkejut wanita itu merupakan salah satu anggota agen rahasia. Padahal, dia telah keluar dari sana beberapa tahun yang lalu. Untung saja ia tak membuang kartu itu. Perasaannya cukup lega. Akan tetapi, seorang polisi tiba-tiba mengeceknya dan terbukti jika nama wanita itu sudah tak tergabung dalam agen rahasia.

Wanita itu tak tahu darimana informasi seperti itu mereka dapatkan. Agen rahasia tempat ia bekerja dulu tak banyak dikenal oleh masyarakat, polisi juga belum tentu mengenalinya. Dia merasa aneh polisi bisa melacaknya dengan mudah.

Dia menduga ada seseorang yang membantu polisi diam-diam. Pilihan terakhirnya yang ia miliki adalah menghubungi seseorang yang memiliki wewenang tinggi. Mungkin, hanya dia yang mampu membantunya.

"Halo!" ujar seorang pria yang ia telepon.

"Tuan muda, motorku kena razia."

"Dasar ceroboh! Gimana bisa?"

"Yah, aku menggunakan jalur biasa dengan kecepatan tinggi. Aku enggak bawa STNK dan SIM C."

"Aku sudah bilang untuk bertindak hati-hati. Kenapa kamu bisa seceroboh itu?"

"Tuan muda sendiri yang menyuruhku untuk segera menemukan David, jadi aku…"

"Kamu menyalahkan saya?"

"Eng-nggak juga sih, tetapi tahu sendiri kan kalau mencari David tidak boleh bergerak terlalu lambat. Jadi, aku menggunakan jalur umum agar cepat. Mana ku tahu kalau jadi seperti ini. Bos, tolongin aku, ya. Please," ujarnya.

Dia mengganti panggilan tuan muda menjadi bos. Panggilan itu digunakan untuk merajuk pada Keenan. Pria itu membuang nafas dengan kesal. "Ya sudah, dimana kamu sekarang?"

"Ada di persimpangan kota B."

"Cukup jauh dari sini."

"Sejauh apapun aku, tolong aku ya, Bosku yang ganteng," kata Regina bernada centil.

Kalau bukan karena statusnya sebagai tangan kanan Keenan, ia tak mau meladeni Regina. Sejauh ini, pekerjaan Regina cukup memuaskan, walau ia tak suka dengan tingkah wanita itu, meskipun ia tahu Regina bertingkah seperti itu demi menyelamatkan diri.

"Tunggu aku disana," ujar Keenan bernada dingin.

"Tuan muda, ja---" Tut… Tut… Keenan menutup sambungan teleponnya, rasa jengkel menyelimuti hati Regina. "Kebiasaan! Belum selesai bicara, eh malah dimatikan," gerutunya. Ia berdecak sebal.

Dua orang polisi memperhatikan sikapnya. Ia mengumbar senyuman manis ke arah mereka. Senyuman itu perlahan memudar. Dia berharap, superhero yang membantunya kali ini akan melepaskan dari jeratan polisi.

Hari semakin gelap, cukup lama Keenan tak menunjukkan batang hidungnya. Ia semakin kesal. "Kemana sih dia? Jangan bilang, kalau dia lupa," gumamnya seraya melipat kedua tangan. Ia sudah melewati batas kesabaran yang tinggi.

Kebas merayapi salah satu kakinya. Kaki itu tak merasakan pijakan tanah. Ia tak kuasa menunggu lebih lama lagi. Letih seakan mencengkeram seluruh tubuhnya. Angin malam menghasut kegelapan yang kian mencekam.

Hawa dingin menerpanya. Tak hanya itu, rambut-rambutnya bergerak dengan bebas. Hal itu menimbulkan kantuk yang luar biasa. Entah berapa kali mulutnya menguap tanpa ia tutupi. Dia menatap sebal setiap polisi yang berada disekitarnya.

Mereka tak membiarkan Regina membawa kembali motornya. Namun, wanita itu berencana untuk melawan polisi-polisi itu. Kebetulan, tangannya terasa gatal. Sudah beberapa bulan ia membiarkan kedua tangannya tak memangsa siapapun.

Melihat tatapan bengis dari beberapa polisi, ia semakin gencar memunculkan segala aksinya. Dia memasang kuda-kuda, kemudian menendang satu polisi yang ada di depannya. Tendangan itu beralih pada polisi yang lain.

Gerakannya seakan tak terlihat karena terlalu cepat. Dia berhasil melumpuhkan beberapa polisi. Dia tersenyum dengan bangga seolah mengejek mereka. Selama ini belum ada yang bisa menyamai kemampuan bertarungnya.

Jika David bertarung dengannya, pria itu juga belum tentu bisa mengalahkan Regina, walau mereka belum pernah mencoba bertarung. Kelincahan Regina dalam mengalahkan lawan tak berlangsung lama. Para polisi begitu takjub dengan kemampuan yang wanita itu miliki.

Akan tetapi, rasa takjub itu tak berlangsung lama. Satu diantara para polisi itu mengambil pistolnya, lalu mengarahkan pistol itu pada Regina. Suara tembakan memberi peringatan pada orang-orang sekitarnya untuk menjauh. Kepanikan serta ketakutan timbul di hati mereka.

Kendaraan melaju dengan tatanan yang tidak rapi, mereka tidak peduli melanggar peraturan perundang-undangan lalu lintas. Tak seperti mereka, Regina bersikap biasa saja. Ia tampak tenang.

"Huh, berani-beraninya bermain pistol. Apa kalian pikir, aku takut?" Regina menatap mereka tajam. Padahal, peluru bergerak ingin meledakkan salah satu bagian tubuhnya. Ia terbiasa bergelut dengan peluru.

Sejak kecil ia menjadikan benda itu sahabat sejatinya. Itu terbukti, Regina berhasil menangkap peluru hanya dengan tangan kosong. Ia tak ingin hanya menerima serangan mereka saja. Seringainya terlihat mengerikan, ia merencanakan sesuatu.

Ketika peluru bergerak kembali, ia menghindari peluru itu dengan memutar kedua kakinya, kaki kanan sebagai porosnya. Polisi itu tersungkur ke tanah, Regina berhasil menendang bagian vital. Tak ada polisi yang mampu menyerangnya lagi.

Mobil mewah dengan plat nomor yang cantik tiba, pada saat Regina berhasil mengalahkan mereka semua. Keenan turun dari mobil dengan menggunakan kacamata hitam.

Ketika ia menghampiri Regina, ia menggelengkan kepala melihat aksi brutal wanita itu. Sepertinya, Keenan cukup sulit mengatasi hal itu. Apa yang Keenan lakukan selanjutnya?