Angin berhembus tanpa sepatah kata menerjang ombak yang tampak tenang, menyebabkan ombak menggulung dengan dahsyat. Deburan ombak menghancurkan rumah pasir yang dibangun oleh beberapa anak kecil.
Kesedihan serta tangisan mereka terhembus angin, kesejukan mengalir tiada henti. Pepohonan melambai-lambai mengguncang dedaunan hingga berjatuhan. Cuaca yang cukup ekstrim itu tak cocok menjadi tempat berlayar.
Namun, dari arah barat sebuah kapal berlayar dengan guncangan yang cukup hebat. Beberapa dari mereka melompat karena air telah masuk pada perahu nelayan. Satu dari mereka yang berhasil keluar dari perahu itu berteriak melihat seseorang yang mengambang di air.
Keberadaannya tak begitu jauh dari pria yang mengambang itu. Mereka menarik dan menyelamatkannya. Denyut nadi yang masih terasa, menandakan pria itu masih hidup. Dia dibawa di salah satu persinggahan yang berukuran cukup kecil. Mungkin, jika lebih dari tiga orang, tempat itu terasa sempit.
Beberapa menit kemudian, pria itu membuka mata. Suara batuk menggema di sekitar sana, mengundang seseorang datang untuk memeriksa keadaannya. "Kamu enggak apa-apa?" tanya seorang wanita yang berusia 50 tahun an. Pria itu mengangguk lemah.
"Dimana aku?" tanyanya bersuara lemah. Wanita paruh baya itu tersenyum lembut.
"Kamu ada di tempat persinggahan. Beberapa orang menyelamatkanmu tadi. Ombak cukup tinggi, kamu beruntung bisa selamat."
"Terima kasih, tetapi kenapa aku bisa ada disini?" Pria itu masih mengingat jelas, dia sedang berbincang dengan Keenan. Ekspresi wajahnya berubah sesaat, mengingat nama Keenan.
"Mau kemana?" tanya wanita itu cemas.
"Aku harus kembali. Tuan muda dalam bahaya."
"Tetapi, kamu masih terluka. Sebaiknya, disini saja dahulu sampai lukamu sembuh," ucapnya. Wanita itu mengkhawatirkan beberapa luka yang ada di tangan dan kaki David. Luka itu berasal dari siksaan ombak yang membawanya tanpa henti.
"Terima kasih, tetapi maaf, saya tidak punya banyak waktu."
David meninggalkan wanita itu, ia menatap sekitarnya. Segalanya terlihat asing. Ia tak pernah berada ditempat itu. Ponsel yang biasa ia bawa terbawa arus air. Kini, ia tak tahu harus kemana. Cukup lama ia berdiri di sana hingga wanita tadi menawarkannya untuk makan malam.
"Makan dahulu sebelum kembali."
"Apa kamu tahu kapan kapal berlayar ke sana?" tanya David seraya menunjukkan arah yang ia tuju. Ia tak menggunakan bahasa formal pada wanita itu karena umur mereka sama.
"Besok sore."
"Apa hari ini tidak ada kapal yang bergerak menuju ke sana?"
"Cuaca tadi cukup buruk, beberapa orang luka-luka akibat tadi siang. Semua kapal berlayar ditunda hingga besok."
"Bagaimana dengan besok pagi?" tanya David. Ia tak mau berlama-lama berada ditempat itu.
"Kalau dilihat dari cuacanya, kemungkinan besar besok pagi ombaknya masih tinggi. Sebaiknya, makan dulu, lalu istirahatlah disini. Walau tempat ini kecil, kami masih mampu menampung beberapa orang."
"Terima kasih banyak." David menundukkan kepala. Ia semakin tak enak hati dengan kebaikan wanita itu. "Kalau boleh tahu, siapa namamu?" tanya David. Walau ia tak tinggal lama disana, sudah sewajarnya untuk saling mengenal. Mungkin, suatu saat nanti mereka dapat bertemu kembali.
"Namaku Nafa."
"Aku David." Keduanya saling berjabat tangan tanpa mengurangi rasa hormat.
"Ibu, ikannya sudah matang!" seru Adella, anak angkat dari Nafa.
"Ayo, makan dulu!" ajak Nafa. Mereka makan bersama. David hanya melihat seorang pria berpenampilan kacau balau, anak kecil yang berusia 10 tahun serta Nafa. Tak ada yang lain.
"Ini hanya makanan sederhana yang berasal dari desa kami. Maklum, kami sehari-hari hanya bisa makan seperti ini," ujar Nafa seraya memberikan sepiring nasi dan ikan pada David.
Wajahnya terlihat sendu. David bisa merasakan betapa pahitnya hidup Nafa. Akan tetapi, ia menikmati kebersamaan mereka. Kesederhanaan itulah menyebabkan David seperti merindukan sesuatu. David tanpa diduga meneteskan air mata. Tiba-tiba ia teringat masakan rumah.
Sudah lama, ia tak pulang kampung sejak bekerja menjadi salah satu tangan kanan Keenan. Ia tidak tahu bagaimana keadaan ibunya hingga sekarang. "Kenapa om nangis? Gak suka ya sama ikannya? Ikannya nggak enak?" tanya Adella dengan cara bicara yang ceplas-ceplos.
"Adella jangan bicara seperti itu. Itu enggak sopan. Minta maaf sana," ucap Nafa. Bibir Adella mengerucut lucu.
"Tidak apa-apa. Aku hanya…" Tangisan David pecah. Ini pertama kalinya ia menangis sederas itu didepan orang lain.
"Del, ambilkan air minum sana untuk om ini!" seru Nafa. Timbul rasa kasihan dihatinya. Adella melakukan apa yang disuruh Nafa.
"Nih, om minum dulu. Maafin Della ya, Om. Jangan menangis lagi!" Adella menggenggam tangan David. Tangan mungil gadis itu menghentikan air mata David sepintas. Dia tersenyum memandang Adella.
"Om enggak apa-apa. Masakan dan suasana seperti ini seperti kampung halamanku."
"Om kangen rumah, ya?"
"Iya. Sudah lama om nggak pulang."
"Kenapa om tidak pulang?"
"Banyak hal telah terjadi. Semuanya berubah begitu cepat hingga tanpa sadar om melupakan kampung halaman," ungkap David sembari menundukkan kepala. Dia membayangkan wajah sang ibu yang mungkin menunggu kepulangannya. Air mata menetes hingga ke tanah.
"Om bisa ke sini kapanpun kalau om kangen rumah," kata Adella. Gadis kecil itu tak segarang tadi mendengar cerita David. Hatinya gampang terenyuh. David mengusap lembut kepala gadis itu. Senyuman lembut tak henti ia tebarkan.
Malam semakin larut, Adella tertidur dengan pulas. Pria yang bersamanya juga tidur tak jauh darinya. Seulas senyuman terlukis pada bibir Nafa. Dia tak bosan menyaksikan wajah Adella yang kecil dan menggemaskan.
"Dia adalah anak angkatku. Kedua orang tuanya meninggal karena kapal yang karam. Aku kasihan melihatnya yang hidup sebatang kara, jadi aku mengangkatnya sebagai anakku. Awalnya, ia tidak seceria itu, wajahnya begitu murung. Lambat laun, aku berhasil membuatnya merasa nyaman tinggal disini. Ia juga terbiasa menganggap aku sebagai ibunya."
"Tidak kusangka, gadis sekecil itu memikul beban yang besar. Dia pasti merindukan kedua orang tuanya," sahut David. Tatapannya beralih pada pria yang tertidur pulas, yang tak jauh dari Adella. "Siapa pria itu? Apa suamimu?" tanyanya asal. David tak tahu, pria itu lebih muda 10 tahun dibandingkan dirinya dan Nafa.
"Bukan. Dia kehilangan istri dan anaknya. Peristiwa itu mengguncang kehidupannya hingga ia mencoba mengakhiri hidup. Beruntung, aku dapat menggagalkan rencana bodohnya. Namun, hatinya begitu kacau. Luka yang sudah melebar, sulit untuk disembuhkan." Nafa menghela nafas sejenak.
"Meskipun aku berusaha mengobati hatinya, aku tak bisa. Sudah bertahun-tahun ia seperti itu. Kamu bisa melihat tatapannya tampak kosong. Seringkali, Adella menemaninya, mencoba menghibur. Ia sering merasa kasihan dengan keadaannya. Mungkin, mereka bisa saling mengobati hati yang terluka karena ditinggalkan oleh orang yang dicintai."
David tak menyangka masih ada orang yang lebih menderita dibandingkan hidupnya. Kisah mereka membuka hati sekaligus menyindir David, ia menduga loyalitas dan pekerjaan adalah segalanya. Kehilangan itu seakan dunianya terhenti.
Padahal, perjuangan dimulai saat kegagalan mendatangi kita. Hanya saja, manusia seringkali mengeluh dan menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi pada hidup mereka. Kegagalan bukan sesuatu yang menghentikan langkah kita untuk maju.
Itu hanyalah proses menuju awal dari keberhasilan. Jangan pernah merasa kalau kegagalan dapat menghancurkan hidupmu. Buang rasa takut itu, tunjukkan pada dunia kalau kamu mampu. Tetap tersenyum dan jangan menyerah pada sesuatu yang membawamu menuju keberhasilan.
Suatu saat nanti semua usahamu pasti akan terbayarkan dengan hasil yang memuaskan. Hari ini mungkin akan gagal, tetapi tidak untuk keesokan harinya atau hari-hari berikutnya. Belajarlah untuk bersyukur, menerima segala sesuatu dengan indah, pasti akan dimudahkan jalannya oleh Sang Maha Kuasa.