Chereads / Love And Conspiracy / Chapter 24 - Kehangatan hati

Chapter 24 - Kehangatan hati

David tidur beralaskan tikar yang tipis. Hawa dingin membuat dirinya tak tenang. Ini sudah kesekian kali ia membolak-balikkan badan. Tanpa terasa tiga jam terlewati begitu saja. David membuka mata, Nafa dan dua orang lainnya tertidur dengan nyenyak.

Dia keluar dari sana tanpa menimbulkan suara yang membangunkan mereka. Langit masih saja gelap, matahari masih belum menunjukkan jati dirinya. Wajar saja karena masih jam satu pagi. Semakin lama kedinginan merasuk kedalam pori-pori kulit David.

Dia heran, kenapa mereka bertiga tetap tenang walau cuaca sedingin itu? Apa mereka tak takut badai menerjang tiba-tiba? Atau angin putih beliung yang datang tanpa diundang? Membayangkannya saja, membuat sekujur tubuh David lebih dingin.

Dia mencari sesuatu untuk menghangatkan tubuhnya. Mungkin, ia harus berjalan mencari kayu bakar karena ia tak menemukan di sekitar persinggahan itu. Ia berjalan sambil memeluk dirinya, rasa dingin semakin menguasainya.

Bibirnya tersenyum ketika melihat benda yang ia cari. Ia berkeinginan mengumpulkan beberapa dari mereka. Namun, kayu-kayu itu terlalu besar untuk dibakar. Sulit rasanya membawa mereka. Ia mencari sesuatu yang dapat memotong kayu-kayu tersebut.

Rasa frustasinya memuncak, ia tak dapat menemukan apa-apa. Bersin berkali-kali menandakan kalau ia harus segera kembali, mau tak mau ia merelakan kayu-kayu itu. Ketika dalam perjalanan kembali ke persinggahan, dua ekor ular menuju ke arahnya.

Ular-ular itu menatap David dengan rasa lapar yang menghantui mereka. Dia berjalan mundur, mencoba menghindar. Ia tak menyangka hidupnya tak lepas dari cobaan. Belum kembali saja, ia sudah menghadapi bahaya yang mengancam hidupnya.

Mungkinkah hidupnya akan berhenti di waktu ini? Takdir manusia tak ada yang bisa menentukan, hanya Tuhan yang tahu. Namun, David yakin kalau hidupnya segera berakhir. Kedua ular itu tak ingin melepaskan David. Apalagi, kedua binatang buas itu berukuran kurang lebih dua hingga tiga meter.

Tak butuh waktu lama bagi mereka menyantap David. Pergerakan mereka semakin mendekat, David tak terlepas dari rasa takut. Ia berpikir batu adalah jalan terbaiknya untuk melawan mereka.

Ia melempar beberapa batu ke arah mereka, namun semua lemparan itu hanya sia-sia. Mereka semakin bergerak agresif. Tubuh David bergetar. Ia merasakan kematian akan segera menjemputnya. Dia menutup kedua mata, menunggu ajal.

David membayangkan wajah sang ibu. Berkali-kali kata maaf terlontar dari dalam hatinya. Ia merasa menjadi anak yang tidak berguna, belum bisa membahagiakan ibunya. Ketika ia merasa tak berdaya, kedua ular itu menjauh darinya. David tak menyadari itu.

Dia masih menutup matanya, mungkin ia menganggap telah berada di dunia akhirat. "Mereka sudah pergi," ujar Nafa. Wanita itu memegang kayu bakar.

Suara Nafa mengagetkan David seketika. Akhirnya, ia membuka mata dan melihat Nafa tersenyum lembut ke arahnya. Ia memeluk wanita itu tanpa peduli hal lain. Jujur, itu pertama kali bagi Nafa dipeluk oleh seorang pria setelah ia hidup menjanda selama dua puluh lima tahun.

Jantung yang tak pernah berdetak oleh pria manapun, kini bergemuruh seperti suara petir yang menggelegar. Dia membeku, bahkan saat David melepaskan pelukannya. "Kamu enggak apa-apa?" tanya David.

Ia merasa aneh dengan Nafa. Wanita itu diam seribu bahasa dalam keadaan yang masih mematung. David memegang kedua pundak Nafa, menatap sepasang mata indahnya. David juga merasakan getaran yang sama pada dirinya.

Ia akui Nafa adalah wanita yang cantik. Selain cantik, Nafa juga tangguh. Dia tidak pernah melihat wanita setangguh itu seumur hidupnya. David membayangkan ketulusan hati Nafa serta kebaikannya, timbul rasa keinginan untuk memilikinya.

Kecupan lembut mendarat pada bibir Nafa. Wanita itu masih tak berkutik. Bibir Nafa yang lembut, tak menghentikan pergerakan dari bibir pria itu. David memperdalamnya. Semakin lama ia terhanyut dan sulit ia kontrol. Dia hanya tidak ingin kehilangan wanita itu.

Hawa dingin menjadi salah satu faktor yang mendorongnya agar melakukan perbuatan terlarang. David memeluk Nafa sambil mengecup kening, hidung, dan bibir wanita itu hingga ia meneruskan apa yang ia lakukan tadi.

Sudah begitu lama waktu telah terlewati dengan sempurna. Awan-awan mulai terlihat ketimbang yang tadi. David tersenyum dengan perasaan bahagia berada di samping Nafa.

Tak peduli sedingin apa cuaca di sekitarnya. Dia tak berhenti memperhatikan wajah Nafa. Kepala Nafa bersandar pada bahu kokoh milik David. David mengusap-usap kedua tangannya, lalu diletakkan pada tangan Nafa supaya terasa hangat.

Nafa terlalu lelah untuk menanggapi itu. David membiarkan dirinya terlelap. Dia membelai rambut Nafa secara perlahan. Kemudian, ia mengambil pakaiannya untuk membalut Nafa. Dia hanya tak mau wanita itu masuk angin karena hawa dingin yang terlalu ekstrem.

David memperhatikan setiap bagian wajah Nafa sekali lagi. Wajah itu memperlihatkan betapa kerasnya ia menjalani hidup. Dia bersyukur dapat bertemu dengan Nafa, tanpa sadar wanita itu telah memberikan pelajaran hidup yang berharga. Dia tak pernah menyesal menghabiskan malam bersama Nafa.

Dia mulai membayangkan kebahagiaan bersamanya. Hal itu menyebabkan rasa kantuk menyerangnya. Ia pun tertidur. Ia tak peduli angin menerpanya, ia tak ingin kehilangan momen bersama Nafa. Dia memeluk Nafa secara perlahan.

Keesokan harinya, wajah Nafa berwarna merah. Semua kenangannya bersama David teringat dengan jelas. Dia menggelengkan kepala sambil bersikap malu-malu.

Akhirnya, ia beranjak dari sana dan ingin menjauhi Davi. Namun, siapa sangka David malah menariknya hingga Nafa berada kembali di pelukan pria itu.

"Tetap disini. Temani aku."

"Kamu enggak kedinginan? Aku bisa mengambilkanmu selimut yang tebal," ujar Nafa.

"Berada disisimu sudah cukup. Kamu memberikanku sejuta kehangatan yang tak kutemukan dimanapun," ucap David. Kata-kata David menghipnotis Nafa sekejap. Bibir mereka saling menempel dengan lembut.

"Kamu akan segera kembali?" tanya Nafa.

"Iya. Kenapa? Kamu enggak rela membiarkanku pergi?"

"A-aku tidak masalah. Ha-hanya saja aku…" David menggenggam tangan Nafa, membuatnya tak bisa berkutik. Nafa terdiam, detak jantungnya begitu kencang. Dia tak sanggup berada di dekat David berlama-lama.

"Aku akan selalu merindukanmu." David mencium kening Nafa.

"Kamu tidak akan kemari?"

"Awalnya. Namun, aku berubah pikiran. Suatu saat nanti aku akan kembali ke sini. Mungkin, aku akan sangat merindukanmu," tuturnya lembut. Perasaan David kian mendalam. Ia tak ingin kehilangan Nafa. "Atau kamu bisa pergi bersamaku?"

"Kalau aku pergi bersamamu, bagaimana dengan Adhella dan pria itu? Aku tidak bisa meninggalkan mereka."

"Kalau begitu, aku pasti akan selalu merindukanmu."

"Biarlah rindu menjadi satu-satunya jalan agar kamu dapat menemuiku," kata Nafa, menampakkan senyuman yang memikat.

"Aku semakin tidak ingin melepaskanmu. Nafa, aku menginginkanmu," bisik David.

Nafa mencubit pinggang David karena malu. Pria itu tak peduli dengan cubitan itu. Irama yang indah keluar dari bibir Nafa, David semakin menggila. Gerakannya lebih agresif ketimbang sebelumnya. Ia membayangkan akan meninggalkan Nafa, hatinya seakan tak ingin pergi dari sana.

Nafa tak berdaya, ia membiarkan David berbuat apa yang ia inginkan. Mereka sama-sama tak ingin kehilangan. Keinginan yang kuat itu menciptakan segala keindahan yang hanya mereka berdua rasakan. Mungkin, mereka akan segera bertemu lagi suatu saat nanti.

"Ibu!" seru Adhella.

"I-itu suara Adhella." Nafa semakin gugup. Ia tak tahu harus berbuat apa-apa. Apa yang akan terjadi dengan mereka berdua?