Memang tak mudah untuk bekerja sebagai agen rahasia, terlebih lagi, harus mengutamakan kesempurnaan dalam bertindak serta keberhasilan seratus persen. Hanya karena kecerobohannya, ia gagal dalam misi.
Sesuai peraturan dari tempatnya bekerja, bagi siapapun yang gagal dalam misi, tak peduli seberapa banyak kontribusi yang diberikan, tetap ditindaklanjuti sesuai hukum disana, yaitu dengan memberhentikannya secara langsung.
Padahal, Regina satu-satunya agen rahasia yang memiliki kedudukan cukup tinggi disana. Banyak agen rahasia yang lain menghormati dan menjunjung tinggi martabatnya. Walau ia masih sangat muda saat itu, ia terbiasa berkecimpung di dunia persenjataan.
Ayahnya bekerja sebagai seorang tentara bayaran, ia dilatih untuk menjadi kuat. Tidak seperti kebanyakan perempuan lain yang dibelikan boneka dengan beraneka ragam bentuk, ia sudah dibekali senjata sejak usianya menginjak 5 tahun.
Walau terkesan terburu-buru, ada alasan tertentu kenapa ayahnya bersikeras melatihnya saat itu. Sebagai seorang tentara bayaran, tentu tak luput dari kejaran musuh. Banyak kelompok-kelompok yang berusaha menyerangnya karena dendam pribadi atau masalah lainnya.
Selain terbiasa berada di lingkungan yang keras, Regina dan keluarganya juga sering berpindah tempat tinggal. Entah berapa kali mereka pindah dalam sebulan, dari pindah kompleks, kota, hingga negara. Hidup mereka tak pernah tenteram. Uniknya, Regina tak pernah mengomel atau menangis karena lingkungannya yang selalu baru.
Dia seakan mengerti apa yang terjadi pada sang ayah. Ketika pria itu melihat tatapan Regina sama seperti tatapannya, ia mencoba melatih Regina. Meski begitu, istrinya pernah menentangnya. Terjadi percekcokan disana yang menghebohkan.
Namun, mereka berhenti seketika, saat Regina tak sengaja menekan pelatuk. Tanpa sadar peluru itu mengenai papan tembak. Senyuman tak pernah lepas dari bibir ayah Regina. Ia bangga memiliki putri yang memiliki bakat yang sama dengannya.
Sejak saat itu, hidup Regina tak pernah lepas dari latihan persenjataan. Suatu ketika hidup Regina berubah dalam sekejap. Ketika ia berusia 17 tahun, ia habis pulang dari sekolah, ia melihat orang tuanya terkapar bersimbah darah.
Tangisannya pecah karena kehilangan kedua orang tuanya. Dia mulai menghidupi dirinya sendiri. Namun, tak mudah mencari pekerjaan, usianya yang muda menjadi salah satu kendala terbesar dalam hidupnya.
Pada masa itu, keputusasaan Regina melonjak, antara hidup dan mati ia sudah tak peduli. Tubuhnya kurus kekurangan gizi, tak ada yang bisa dimintai tolong karena seringnya berpindah rumah, membuatnya sulit bersosialisasi.
Dalam keadaan yang memprihatinkan itu, ia ditolong oleh seseorang. Ternyata, sosok itu bekerja sebagai agen rahasia. Regina tak mau hidup tanpa melakukan apapun. Berkat dari tekad yang ia miliki, ia berhasil menjadi agen rahasia.
Terkadang, ia merasa jenuh, dan melampiaskannya pada kegiatan yang lain seperti memancing atau mendaki gunung. Hal itu tak bisa ia lakukan sesering mungkin, pekerjaannya yang membuat waktu untuk dirinya sendiri terbatas.
Seiring berjalannya waktu, ia mulai terbiasa. Biarpun ia sempat mengalami patah semangat karena diberhentikan dari tempat kerjanya, kehadiran Keenan memberikan secercah harapan padanya. Seperti handphone yang telah di charge penuh, semangat Regina kembali menggebu-gebu.
Kendati Keenan memanggilnya tak sesering mungkin, uang yang diberikannya bernilai fantastis, sepuluh kali lipat dibandingkan gaji sebagai agen rahasia. Tak peduli dimana Regina tinggal, ia tak pernah kekurangan uang, dan Keenan juga membutuhkan Regina.
Mereka saling membutuhkan, yang satunya membutuhkan uang, dan satunya lagi membutuhkan tenaga dalam hal penyelidikan. Sungguh partner yang saling melengkapi! Tatapan mata Keenan yang tajam, memberi tahu alam bawah sadar Regina kalau pria itu benar-benar membutuhkan bantuannya.
"Aku enggak ada waktu buat memancing," ucapnya dengan ekspresi datar.
"Pernahkah kamu punya waktu? Setahuku, kamu terlalu sibuk mengurusi pekerjaanmu."
"Sudahlah, jangan cerewet! Nih, kamu periksa rumah siapa ini."
"Sebentar, kamu menugasiku hanya berdasarkan satu lembar foto saja? Nggak ada foto lainnya?" tanya Regina, kedua alisnya berkerut.
"Hanya ini. Kamu sudah terbiasa hidup di lingkungan yang bebas. Aku rasa, pekerjaan ini mudah bagimu."
"Hei, ayolah, bagaimana aku bisa menemukan informasinya dengan benar? Ini cukup sulit."
"Aku tidak peduli caramu melakukannya, aku percaya kamu pasti bisa bekerja dengan baik. Oh ya, jangan lupa untuk mencari tahu identitas perempuan ini. Aku ingin tahu semua latar belakangnya," kata Keenan. Regina tertawa pelan.
"Kenapa kamu tertawa? Ada yang lucu?"
"Ini pertama kalinya kamu meminta bantuanku untuk menemukan informasi seorang perempuan. Aku rasa, perempuan ini sangat penting di hatimu ya," ujarnya. Ia memang suka kepo akan sesuatu, rasa penasarannya tinggi.
"Kalau kamu bosan dengan pekerjaanmu, aku bisa memanggil orang lain untuk melakukannya dan saat itu hubungan di antara kita akan berakhir," kata Keenan dengan kejam.
"Duh, kamu ini terlalu serius. Muka yang seperti itu cepat tua, lho."
"Regina, jangan membuat kesabaran saya habis."
"Aku hanya berharap perempuan ini betah dengan sikapmu," ujar Regina sambil menggelengkan kepala. Ia beranjak dari kursinya.
"Regina, tunggu!"
"Ada apa? Apa ada misi lainnya lagi?" terka Regina.
"Ada satu hal pekerjaan lagi untukmu."
"Kalau begitu gajinya tiga kali lipat, ya?"
"Dasar mata duitan!"
"Hidup itu terus berjalan, tanpa uang apa yang bisa dilakukan?"
"Lima puluh juta."
"Enggak mau."
"Kamu ini…"
"Pekerjaan seperti itu membutuhkan waktu yang banyak. Apalagi, tak sedikit pekerjaan yang ku lakukan."
"Kamu minta berapa?"
"Tergantung permintaanmu yang ketiga. Kalau sulit, maka uangnya juga gedein dikit ya," kata Regina sembari mengedipkan mata.
"Seratus juta dan gak lebih dari itu. Kalau keberatan, aku bisa langsung memanggil polisi untuk menyeretmu."
"Kamu begitu kejam. Bahkan, belum menyebutkan pekerjaanku yang ketiga, langsung memasang harga. Ya udah, apa misi ketigaku?"
"Kamu harus selidiki darimana perempuan ini datang dan bersama siapa dia datang ke greenhouse."
"Itu bukan hal yang sulit, tetapi, kenapa kamu tidak melihat dari cctv saja?"
"Sudah ku lakukan, dia berjalan sendirian ke greenhouse. Anehnya, ia tak pernah ingat kalau berjalan sendirian."
"Lumayan rumit kasusnya. Mungkinkah, ia mengalami depresi atau memiliki kebiasaan tidur sambil berjalan?"
"Tidak seperti itu. Dia berjalan dengan mata yang terbuka."
"Itu lebih aneh lagi. Apa dia itu zombie yang suka menggigit manusia?" ucapnya. Regina merinding seketika, membayangkan ia bertemu zombie.
"Kamu terlalu banyak menonton film dan bermain game. Suka ngehalu sendiri." Keenan menggelengkan kepala berkali-kali.
"Yah, bisa jadi zombie itu nyata dan…" Pukulan mendarat pada kepala Regina. Pria itu memandangi Regina dengan begitu tajam. Regina terdiam sekilas.
"Apapun terjadi, aku ingin meminta hasilnya yang sempurna dan jangan ada yang tahu soal ini, siapapun tanpa kecuali. Mengerti?"
"Iya, aku mengerti."
"Udah sana pergi!"
"Kenapa aku merasa, misi ini akan lebih sulit ya? Mungkin, aku akan menemukan jalan buntu, tetapi aku tidak akan menyerah," batin Regina.
Misi ini akan menjadi misi yang paling susah ia pecahkan. Seseorang yang berada dibalik itu, pasti bukan seseorang yang mudah dihadapi. Apa yang harus dilakukan Regina, jika nyawanya juga terancam? Biarlah takdir yang menentukan hidup dan matinya.