"Seekor ular tetaplah ular!" gumam Sarita.
Setelah beberapa saat ia pun pergi bersama kepergian ambulans yang membawa Hermawan ke rumah sakit.
Ratih datang tergopoh-gopoh bersama Kirana di rumah sakit. Setelah di pindahkan dari Unit Gawat Darurat kini Hermawan menempati salah satu ruangan ICU.
"Suamiku apa yang terjadi?" lirih Ratih di samping suaminya.
Kirana menatap ayahnya dengan pandangan sayu, matanya terlihat sembab. Ini sungguh terasa berat baginya, cobaan begitu bertubi-tubi menimpa keluarganya. Ketika air matanya tidak bisa dibendung, ia memutuskan keluar dari ruangan itu. Ia terisak di sebuah taman yang berada di tengah-tengah rumah sakit, tanpa disadarinya ada Zayn yang sedang melihat ke arahnya.
"Apa kau masih menangisi Adrian?" sebuah suara mengejutkannya.
Kirana menoleh kepada pemilik suara itu, Sintia dengan angkuh tersenyum menatap dirinya.
"Buat apa aku menangisi dia lagi?" jawab Kirana dengan enggan.
"Benarkah? Lalu sedang apa kau di sini?" tanya Sintia kembali.
"Buat apa kau ingin tahu urusanku?" Kirana balik bertanya. Karena malas berdebat, ia hendak meninggakan Sintia. Namun, tiba-tiba Sintia menjatuhkan dirinya sendiri dan mengaduh. Kirana yang melihat itu mengerutkan kening dan keheranan.
"Awkh ... sakiit!" seru Sintia dengan memegang perutnya.
Kirana yang tidak paham hanya menatapnya dengan dingin, tiba-tiba Adrian datang dan berseru menghampiri Sintia lalu membantunya untuk berdiri.
"Sintia, kenapa bisa terjatuh?" tanya Adrian.
"Dia mendorongku Adrian," jawab Sintia dengan menunjuk ke arah Kirana.
Kirana tercengang tak percaya, dia menggelengkan kepalanya dan berkata, "Apa yang kau katakan? Aku sama sekali tidak menyentuhmu apalagi mendorongmu," bela Kirana.
"Dia tidak senang dengan kehamilanku Adrian, dia ingin mencelakai anak kita," kata Sintia dengan suara yang memelas.
"Sintia, berhenti mengatakan hal yang tidak-tidak! Untuk apa aku mendorongmu?" bela Kirana.
"Kamu yang berhenti Kiran! Jangan pernah mengganggu kami!" bentak Adrian. Kirana terperangah tak percaya, Adrian begitu mudahnya terhasut Sintia.
"Wah kalian sungguh tidak bisa di percaya, kalian memang sangat cocok satu sama lain," ucap Kirana dengan tersenyum sisnis.
"Kau iri bukan kepadaku? Anakmu tidak akan mempunyai ayah seperti anakku, atau jangan-jangan kau kemari untuk menggugurkan kandungamu itu, karena kau malu akan menanggung aib seumur hidupmu," ucap Sintia dengan ucapan yang tak kalah sinis.
"Apa? Iri kau bilang? Justru aku beruntung kelak anakku tidak akan mempunyai ayah seorang pengecut sepertinya dan aku akan lebih malu jika anakku mempunyai orang tua pembohong seperti kalian," jawab Kirana, dengan menatap tajam Adrian.
Adrian yang mendengar kata-kata itu langsung hanya terdiam. Ada perasaan sakit mengusik batinnya. Kemudian Kirana melanjutkan, "Dan kau Adrian, aku kira selama ini kita sudah mengenal satu sama lain, tetapi ternyata kau tidak menganalku dengan baik selama ini, sehingga kau bisa mempercayai apa yang dia tuduhkan padaku."
Setelah mengatakan itu Kirana langsung pergi meninggalkan mereka berdua. Sungguh ia merasa masygul harus bertemu mereka di saat seperti ini.
Kala itu Zayn masih menyaksikan perseteruan itu.
"Apa benar dia mendorongmu?" tanya Adrian, setelah memastikan Kirana hilang dari pandangannya.
"Apa kau tidak percaya padaku Adrian? Kau meragukan aku?" Sintia balik bertanya dengan ekspresi marah lalu pergi meninggalkan Adrian.
"Bukan begitu Sintia, tunggu! Kau jangan marah dulu!" seru Adrian sambil mengejar Sintia.
"Kau meragukan aku, itu membuatku sakit hati," Sintia bicara seolah ingin menangis.
"Oke baiklah aku percaya padamu, maafkan aku!" ucap Adrian karena mendengar istrinya hendak menangis. Dia meraih tangan istrinya untuk mengehentikan langkahnya. Kemudian memeluk dan mengecup kening Sintia.
Sintia tentu merasa puas dan ia tersenyum dengan licik penuh kemenangan.
"Ayo kita pulang" ajak Adrian.
Kirana memutuskan kembali menuju ruangan di mana ayahnya dirawat, tetapi dari jauh dia melihat ibunya sedang berbicara dengan seseorang. Kirana pun mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Rupanya orang itu adalah salah satu karyawan ayahnya yang hendak melihat keadaan Hermawan.
"Terima kasih sudah datang untuk menjenguk suami saya Nak Adi," ucap Ratih kepada orang yang bernama Adi itu.
"Saya sungguh merasa prihatin dengan keadaan Pak Hermawan, dia orang baik dan kami akan kehilangan sosok pemimpin yang bijaksana seperti beliau," ucap Adi.
"Memangnya kamu mau ke mana? Apakah mau resign?" tanya Ratih.
Ratih yang belum mengetahui dengan kejadian yang sebenarnya merasa heran.
"Bukan Bu, itu ... sebenarnya hari ini ...." Adi tampak ragu menjawab.
"Ada apa?" Ratih menunggu jawaban Adi.
"Tampaknya Ibu belum tahu penyebab Pak Hermawan terkena serangan jantung," ucapnya.
Ratih begitu serius mendengarkan kata-kata Adi karena dia sama sekali tidak mengetahui penyebab pasti suaminya terkena serangan jantung, begitu juga dengan Kirana yang tampak penasaran.
"Saya sungguh tidak tahu apa yang terjadi, katakanlah! Ada apa?" ucap Ratih.
"Hari ini kami para karyawan juga kaget mendengar kabar bahwa perusahaan milik Pak Hermawan telah beralih kepemilikannya atas nama Pak Ferdian, karenan Pak Hermawan sudah tidak memiliki saham lagi di perusahaan dan pemilik terbesar saham saat ini adalah Pak Ferdian," tutur Adi.
Ratih begitu syok mendengar penuturan Adi, dia berkali-kali mengelengkan kepala tak percaya, "Tidak mungkin," ucapnya.
"Bahkan kami sedih ketika Pak Hermawan tidak diizinkan masuk menginjakkan kaki di perusahaan, mungkin Pak Hermawan sangat terkejut dengan itu sehingga dia mengalami serangan jantung," tutur Adi kembali.
Ratih terduduk di lantai tidak percaya dengan apa yang telah terjadi. Kirana yang melihat itu menghampiri ibunya, " Ibu!" serunya.
"Saya sungguh menyesal mengatakan ini tapi memang begitulah kejadiannya, saya harap Pak Hermawan cepat kembali pulih," ucap Adi. Setelah mengatakan itu ia pun pamit dan pergi.
Setelah menenangkan ibunya, Kirana memutuskan untuk menemui Ferdian. Kali ini ia tidak menangis lagi, tetapi ucapan sumpah serapah yang ingin ia lontarkan untuk keluarga Ferdian. Tangisannya sudah kering terkuras habis dengan semua rentetan kekejaman keluarga Ferdian.
Kirana masuk begitu saja ke dalam ruangan Ferdian, meskipun sudah berusaha dicegah oleh beberapa pegawai yang ada di sana.
"Sekarang apa lagi yang kalian lakukan kepada keluargaku?" teriak Kirana, yang memenuhi seisi ruangan.
Ferdian menatap tajam kepada Kirana, "Apa yang kau lakukan di sini berteriak-teriak?"
"Kau masih bertanya apa yang aku lakukan? Kau sudah merampas perusahaan ayahku, kau menipunya pedahal selama ini ayahku sudah menganggap kau sebagai saudaranya sendiri, kau tega menusuknya dari belakang!" Kirana begitu emosi.
"Keluar kau dari sini! Kau dan ayahmu sudah tidak mempunyai hak lagi di sini, sungguh tidak sopan," hardik Ferdian dengan keras.
Adrian yang baru saja tiba dan mendengar ribut-ribut di ruangan itu datang menghampiri.
"Kirana, sudah kau keluar saja dari sini!" pinta Adrian dengan memegang tangan Kirana.
"Lepaskan, jangan sentuh aku! Kalian sekumpulan pengkhianat tidak tahu berterimakasih," sela Kirana dengan menepiskan tangannya.
"Adrian bawa dia keluar! Mengganggu saja pekerjaanku," suruh Ferdian.
Adrian lalu memegang Kirana begitu keras dan berusaha menyeretnya ke luar, Kirana meronta dan berteriak, "Kalian akan menyesal, aku bersumpah hidup kalian tidak akan bahagia!" teriak Kirana yang di saksikan oleh para pekerja di sana. Mereka tampaknya penasaran dengan drama kedua keluarga yang dulu begitu dekat itu.
"Lihat apa kalian? Kembali bekerja!" bentak Adrian kepada mereka.
Adrian membawa Kirana ke dalam mobilnya, namun Kirana berontak dan membuka kembali pintu mobil Adrian.
"Kirana ada yang harus kita bicarakan," kata Adrian mencegah Kirana pergi.
"Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi, aku sudah muak denganmu," balas Kirana dengan sinis.
"Ayo kita bahas tentang anak itu!" ujar Adrian.
"Anak ini bukan urusanmu, untuk apa membahasnya?" ucap Kirana sambil melangkah pergi.
Tiba-tiba Kirana mendapatkan panggilan telepon, sambil menjauh dari Adrian dia menerima panggilan itu. Adrian masih melihat dan memperhatikan Kirana.
"Apa?" ucapnya ketika menerima panggilan di ponselnya. Wajahnya memucat seketika badannya melemas. Dia langsung terduduk karena tidak sanggup menopang tubuhnya yang gemetar. Adrian yang melihat itu menghampiri Kirana yang tampak terguncang dengan derai air mata.
"Ada apa Kirana? Apa yang terjadi?" tanyanya dengan nada khawatir.
Kirana tidak menjawab dan menepis tangan Adrian yang menyentuh bahunya.
"Kirana katakan padaku! Ada apa" tanya Adrian kembali.
"Minggir!" jawab Kirana. Dia berusaha bangkit namun kakinya begitu lemas, sehingga ia tidak mampu untuk berdiri.
Tidak peduli dengan ucapan Kirana, Adrian merangkul Kirana untuk membantunya berdiri.
"Lepaskan! Jangan sentuh aku!" perintah Kirana dengan suara bergetar dan berusaha mendorong Adrian.
"Tapi Kirana kamu ...." Belum sempat Adrian menyelesaikan ucapannya, seseorang datang mendekati mereka dan memotong ucapan Adrian.
"Lepaskan dia!"