Kirana mendekap sebuah foto Hermawan, air matanya terus keluar. Ini adalah patah hati yang paling menyakitkan bagi seorang putri yang kehilngan lelaki pertama yang mencintainya. Dunia terasa begitu kelam seakan tak ada lagi harapan. Ayah yang tidak pernah menyakitinya, sosok pelindung yang tak pernah mengecewakannya kini telah pergi untuk selamanya menuju keabadian.
"Ayah, bagaimana aku harus melanjutkan hidupku tanpamu? Kau berjanji akan selalu ada untukku, akan merawat anakku bersama-sama, Mengapa ingkar dengan meninggalkanku?" ucapnya lirih dengan memeluk erat foto sang ayah.
Hal yang sama di rasakan Ratih, dia yang telah kehilangan belahan jiwanya. Kepergian suaminya yang begitu mendadak tanpa pertanda tanpa firasat. Pagi tadi dia masih berbincang-bincang dengan suaminya seakan semua berjalan seperti biasanya, tapi kini hanya dalam hitungan jam suaminya sudah terkubur di sana di pemabringan terakhirnya.
Ketika teringat Kirana dia tersadar, dia harus tegar di depan putrinya itu. Kini di dunia ini mereka hanya memiliki satu sama lain tanpa pelindung, yang artinya mereka harus saling melindungi satu sama lain. Ratih menuju kamar Kirana, yang pintunya sedikit terbuka.
"Sayang kita belum makan, Ibu lapar!" ucap Ratih, ia berharap Kirana mengikuti dan menemaninya makan.
"Ibu makan saja! Aku tidak lapar Bu," kata Kirana dengan pandangan kosong.
Ratih mengehela napas dengan berat, sebenarnya dirinya juga tidak merasa lapar. Jika bukan karena Kirana dia pun enggan untuk makan.
"Kita harus makn Kiran, ayah pasti tidak akan senang melihat kita seperti ini!" tutur Ratih.
Bulir kesedihan itu membasahi pipi Kirana kembali, iya ayahnya pasti tidak senang! Dia yang selau mengingatkannya untuk makan bahkan jika Kirana sedang malas ayahnya yang akan membawakan makanan itu ke hadapannya dan menyuapinya. Sekarang jika seperti ini pasti ayahnya sangat sedih.
"Baik Bu, kita harus makan, aku takut ayah merasa sedih," ucap Kirana. Dia lalu turun dari ranjangnya berjalan keluar kamar menuju ruang makan.
Adrian yang masih berada di rumah orang tuanya merasa gusar dan gundah, perkataan Zayn di pemakaman tadi sore masih terngiang-ngiang di telinga dan pikirannya.
"Dia bilang akan menjadi ayah bagi anak Kirana, hah jangan mimpi? Itu anakku kenapa harus dia yang menjadi ayahnya," ucap Adrian bicara sendiri.
Dia mengambil ponselnya mencoba menghubungi Kirana, namun wanita itu tidak menjawab panggilannya. Tentu ini semakin membuatnya kesal dan frustasi.
"PRAANGG!!"
Adrian melempar ponselnya pada lemari kaca yang ada di hadapannya, perasaan emosi sudah menguasai hatinya.
Suara pecahan kaca terdengar sampai ke ruang tengah, Julia yang mendengar itu menghampiri kamar Adrian. wanita itu membuka pintu kamar putranya, tampak pecahan kaca berserakan di lantai.
"Adrian apa yang kamu lakukan? Kamu kenapa?' tanya Julia sambil masuk dengan kaki menjinjit khawatir pecahan kaca itu mengenai kakinya. Adrian tidak menjawab ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
"Adrian kamu ada masalah apa? Kamu bertengkar dengan Sintia?' tanya Julia kembali.
"Sudahlah Mama jangan banyak bertanya Adrian lagi pusing, Mama keluar saja!" jawab Adrian. Ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang membelakangi ibunya.
"Apa ini tentang Kirana? Apa dia menuntutmu bertanggung jawab atas bayinya?" tanya Julia. Bukannya pergi ia malah duduk di tepi ranjang.
"Dari mana Mama tahu dia sedang hamil?" Adrian bangkit dan menatap ibunya.
"Dari adik kamu, dia bilang Kirana mengatakan itu sewaktu dia datang ke gedung pernikahanmu, Mama pikir dia berbohong hanya untuk menarik simpatimu," ungkap Julia.
"Dia hamil anakku Mama!" kata Adrian.
"Ya terus kamu mau apa? Sintia juga sedang hamil anak kamu bukan?" ucap Julia kesal ia melanjutkan, "Sudah tidak perlu lagi kau hiraukan lagi si Kirana! Sintia lebih penting karena dia istrimu sekarang bukankah kau sangat mencintai Sintia?" Dia kemudian keluar meninggalkan Adrian.
Adrian memikirkan ucapan Julia dan membenarkan pendapat ibunya itu, untuk apa dia memikirkan Kirana? Bukankah ia sangat mencintai Sintia? Dia kemudian memutuskan untuk pulang kembali ke rumahnya bersama Sintia.
"Kamu mau ke mana"? tanya Julia yang melihat Adrian terburu-buru.
"Pulang," jawab Adrian singkat.
Dua hari kemudian, Kirana mengunjungi makam ayahnya bersama Ratih. Ia membawa beberapa bunga untuk ia tabur di atas pusara laki-laki yang di sayanginya itu.
Ketika selesai dan hendak pulang Kirana melihat Zayn di sana yang seolah menunggunya, Kirana mengahampiri Zayn sedangkan Ratih menuju mobil. Kirana lalu bertanya, "Apakah Anda menunggu saya?"
"Iya," jawab Zayn.
"Oh maaf, tentang jaket itu aku tidak sempat mengembalikannya padamu," tutur Kirana.
"Tidak apa-apa!" jawba Zayn.
"Bagaimana ... kamu bisa tahu tentang aku dan ibuku?" tanya Kirana hati-hati. Dia teringat peristiwa di tempat parkir.
"Aku salah satu kenalan ayahmu dulu kami sempat menjalin kerjasama bisnis," jawab Zayn berbohong.
Kirana mengerutkan keninganya, benarkah ayahnya mengenal orang ini? Dia tidak tahu sama sekali dengan dunia bisnis yang di miliki ayahnya termasuk rekan-rekan ayahnya.
"Baiklah aku akan mengembalikan jaketmu lain kali," ucap Kirana, sambil melangkahkan kakinya untuk pergi.
Raut kekecewaan tampak di wajah Zayn, karena Kirana meninggalkannya begitu saja
"Tapi bagaimana kita bertemu lagi?" tanya Kirana kembali, sambil menoleh ke arah Zayn.
Zayn tersenyum, "Berikan aku nomor teleponmu! Aku akan memanggilmu," ucapnya. Untuk sesaat Kirana nampak ragu-ragu, tetapi akhirnya dia memberi nomornya. Dia membuka ponselnya dan menemukan satu panggilan dari Zayn.
"Oh ya siapa namamu?" tanya Kirana ketika hendak menyimpan nomor Zayn dalam kontak ponselnya.
Laki-laki itu mengulurkan tangannya tersenyum dengan binar manik kejora, "Aku lupa belum memperkenalkan diriku, namaku Zayn Faeyza Manaf kau bisa memanggilku Zayn."
Kirana menyambut uluran laki-laki itu untuk kedua kalinya, setelah pertemuan di tempat parkir perusahaan ayahnya yang kini sudah beralih tangan.
"Kirana Anandira," balas Kirana. Untuk sesaat mereka saling memandang, Kirana melepaskan uluran tangan itu ketika Ratih memanggilnya.
"Kirana ayo!" panggil Ratih, dengan suara serak karena baru saja menangis.
"Aku harus pergi sekarang, terima kasih!" ucap Kirana sambil berlalu meninggalkan Zayn.
Kirana pun akhirnya pergi bersama Ratih, sedangkan Zayn masih terpaku memandang kepergian mobil Kirana.
"Kisah kita akan di mulai dari sekarang Kirana," gumamanya.
"Siapa laki-laki tadi?" tanya Ratih, pada putrinya sesaat setelah mobil itu melaju meninggalkan pemakaman.
"Dia Zayn, dia bilang salah satu kenalan ayah kemarin waktu pemakaman aku melihatnya juga," jelas Kirana, dia tidak memberitahukan tentang kejadian sepulang dari pantai karena menurutnya itu bukan hal yang penting untuk ia ceritakan kepada ibunya. Ratih tidak bertanya lebih lanjut lagi, ia mencoba memejamkan mata untuk tenggelam kembali dengan lamunannya.
Malamnya Kirana tidak bisa memejamkan matanya, ia memilih keluar kamarnya menuju balkon untuk merasakan hembusan angin malam. Pikirannya penat dan sangat lelah, teringat kembali dengan mendiang ayahnya. Jika ia berdiri di atas balkon berlama-lama ayahnya akan cepat menegurnya untuk segera masuk ke dalam rumah. "Di luar anginnya sangat kencang kau bisa masuk angin, tidak baik anak perawan di luar malam-malam!" Dan masih banyak lagi kata-kata Hermawan yang masih terngiang-ngiang di kepalanya.
Dulu ia merasa sangat risih jika ayahnya menegurnya, tapi kini semua kata-kata itu amat ia rindukan dia masih sangat ingin mendengarkan ayahnya. Jika waktu masih bisa di putar kembali Kirana ingin mematuhi semua apa-apa yang ayahnya ucapkan agar membuatnya bahagia, terakhir yang Kirana beri untuk ayahnya adalah sebuah kekecewaan.
"Kirana rindu yah!" lirih Kirana dalam tangisnya.
Kirana tidak menyadari jika di bawah Adrian memperhatikannya. Bahkan ia bisa tahu Kirana sedang menangis dan tidak ada yang bisa ia lakukan, hanya bisa menatapnya dari kejauhan.
Kirana mendapat sebuah pesan dari Zayn yang mengajaknya bertemu esok hari, Kirana pun membals pesan itu kemudian masuk ke dalam kamarnya kembali.
Sementara itu Ratih di kamarnya tampak sangat rapuh. Bagaimana tidak, cobaan sungguh bertubu-tubi menghampiri ia dan keluarganya. Dia tidak bisa memejamkan matanya selama dua hari ini. Dia mengambil obat dari laci nakasnya dan meminumnya beberapa butir meskipun tidak bisa me terpejam, setidaknya obat-obatan itu bisa membuatnya sedikit tenang.
Sintia menunggu Adrian dengan perasaan kesal, beberapa hari ini suaminya itu selau saja datang terlambat tanpa memberi kabar. Tiba-tiba ia mendapat telpon dari mertuanya, Julia.
"Ada apa Ma?"
"Sintia, kamu tidak lupa 'kan rencana kita besok?" tanya Julia.
"Tentu saja aku tidak lupa, aku sudah tidak sabar menantikan besok!"