Chereads / The wound in my heart / Chapter 27 - Kasus lama

Chapter 27 - Kasus lama

Bab 27..

Masih bersungut-sungut, Bang Ben terus saja mengomel, membahas ipar yang membuat sebel itu, aku hanya mendengarkan saja.

"Keluarganya di kampung sana, sudah tak mau peduli dengannya. Buat malu keluarga kata mereka. Intinya sudah benci dan tak mau pusing lagi lah."

"Iya, mereka enak bicara seperti itu. Giliran di sana kesusahan, datang juga ke sini minta bantuan dengan Kakakmu," ucapku mengingatkan.

"Tunggu saja ceritanya besok. Tadi iparku itu tak banyak bicara. Mungkin ingin menenangkan diri dulu," jelas Bang Ben.

"Ya, sudah, kita istirahat saja, besok saja di bahas lagi." Akhirnya kami pun terlelap karena kelelahan.

*******

Keesokan paginya, kebetulan hari minggu. Selesai salat Subuh, aku lanjut rebahan lagi di atas ranjang. Paling asik itu rebahan sambil membuka hape lalu berselancar di medsos. Oh, iya aku hampir lupa membangunkan Bang Ben, untuk salat Subuh. Sambil menggeliat, ia membuka mata dan melihat ke arah jam dinding.

"Nay ... Bang Sanif sudah bangun, ya?

"Belum, tuh. Tadi aku lewat ke kamar mandi, ia masih tidur pulas," jawabku.

Lalu Bang Ben turun dari ranjang, kemudian berjalan menuju kamar mandi.

Selesai berselancar di medsos, aku turun dari ranjang. Lalu keluar dan mengetuk kamar Sinta, menyuruhnya untuk salat Subuh. Selesai salat, Bang Ben duduk di ruang tamu. Ia langsung mengaktifkan hapenya, karena sejak tadi malam mati, karena habis baterai.

Tak lama terdengar suaranya sedang berbicara di hape dengan seseorang. Sepertinya ia berbicara dengan kakaknya, karena menyebutkan nama. Sedangkan Bang ipar duduk sambil termenung. Hmm ... pagi-pagi sudah melamun.

"Nay ... buatin teh hangat dua gelas, ya! Nanti bawa ke ruang tamu aja," pinta Bang Ben.

Aku melangkah menuju dapur, Bang Sanif mengekor di belakangku. ia hendak ke kamar mandi. Aku jarang berkomunikasi dengan iparku itu. Segan rasanya, karena umurnya jauh lebih tua dari kami berdua. Teh hangat sudah tersaji di meja ruang tamu. Raka dan Nina pun sudah bangun. Biasanya hari minggu begini, mereka paling suka nonton filem kartun di chanel kesayangannya.

"Bu ... pagi ini, kita sarapan apa?" tanya si bungsu Nina, saat kami duduk di ruang tivi.

"Kamu, inginnya apa? Biar Ibu masakin," sahutku.

"Buatin nasi goreng ya, Bu!"

"Kalau Abang, mau lontong sayur dong, Bu!" Pinta Raka.

"Waduh ... seperti makan di warung aja, banyak mau nya," protes Sinta. Aku jadi tertawa mendengar celotehan mereka.

"Kalau begitu Ibu buat teh hangat aja lah!

Praktis dan ekonomisss," ledekku. Dengan serempak mereka protes dengan mengucapkan, "Huhhhh, Ibu pelittt!"

Sedang asik berbicara dengan anak-anak, tiba-tiba terdengar suara ketukan dari luar pintu. Aku dan Sinta saling berpandangan, siapa yang bertamu sepagi ini, pikirku. Sinta mengintip dari balik pintu, aku pun jadi ikutan kepo, Hee hee.

******

Bang Ben yang berada di ruang tamu, langsung membukakan pintu. Ternyata yang datang itu, kakaknya. Tapi kok tak terdengar suara mobilnya masuk ke halaman rumah, penasaran deh. Anak-anak tetap ku suruh main, di ruang tivi, kemudian aku menuju ruang tamu, untuk bertemu mereka.

Bang Sanif sudah duduk di sana. Menurutku Bang Sanif terlihat lebih kurus, tidak seperti biasanya. Istrinya juga seperti itu, padahal orang kaya banyak hartanya lagi.

"Assalamu'alaikum." Kak Eli sudah berdiri di depan pintu.

"Wa'alaikumsalam," jawab kami serentak.

"Nay ... ini Kakak bawakan sarapan untuk kalian," ucap iparku.

"Ada beberapa bungkus ketupat sayur," ucapnya lagi.

"Jadi ngerepotin Kakak, pagi-pagi udah di bawain sarapan untuk kami," sahutku.

"Tak apa, Nay. Tadi taksinya Kakak suruh singgah di tempat langganan, kebetulan jalannya searah dengan rumahmu ini."

"Taksinya berhenti di depan jalan sana, gak sampai depan rumah ini. Nanti takut ada yang ngikuti," bisiknya lirih.

"Ya-sudah, kita sarapan dulu, nanti lanjut ceritanya!" ajak iparku.

"Sebentar ya, Kak! Aku ambil piring-sendok dan minum dulu!"

Aku pun menuju dapur, sambil membawa beberapa bungkus sarapan untuk anak-anak.

"Sayang, ini ada sarapan di bawakan, Uwak untuk kalian," imbuhku.

Aku meletakkan bungkusan itu ke atas meja dekat tivi. Sinta langsung ke dapur membantu ku, untuk membawakan piring-sendok dan minum menuju ruang tamu.

"Sinta, ini sarapan untuk kalian bertiga! Uwakmu datang, Ibu hendak buatkan minum untuknya."

"Pucuk di cinta, ulam pun tiba. Kepingin sarapan, ketupat pun tiba," kelakar Sinta, di sambut riuh suara tawa adiknya.

"Oh-iya, tapi kenapa pagi-pagi, Uwak sudah datang ke rumah kita, Bu?"

"Mereka lagi ada masalah, Ibu pun belum tau apa yang terjadi," bisikku.

"Sudah, Ibu tinggal dulu, ya! Entar ayahmu ngomel pula, kalau Ibu kelamaan di dapur."

"Iya, Bu."

*******

Saat sedang sarapan, ku lihat Bang Sanif lebih banyak diam. Biasanya paling kepo kalau bertamu ke rumahku. Makanya aku kurang suka dengan ipar yang satu ini. Karena dari dulu, suka ingin tahu dan ikut campur saja urusan orang lain. Selesai sarapan, semua piring kotor aku bawa ke dapur.

Lalu kembali lagi duduk di ruang tamu. Makin penasaran, sebenarnya ada masalah apa antara mereka. sampai numpang sembunyi di sini. Wajar dong, aku kepo, sembunyi di rumahku pula. Kalau ada Kak Eli aku mau duduk bersama mereka, kalau tak ada seganlah, Nanti di pikir mau tau urusan orang saja.

"Sebenarnya ada masalah apa, Bang?" tanya Bang Ben langsung ke iparnya.

"Begini Ben, ini masalah dua tahun yang lalu," ucapnya, sambil menarik nafas kasar.

"Dulu mobilku pernah di rental beberapa hari, oleh teman kerja. Aku gak tau ia gunakan untuk apa. Setelah tiba waktu yang di sepakati, mobilku telat di pulang kannya. Setelah di telpon, ia bersedia membayar uang dendanya. Akhirnya mobil itu pun di kembalikannya."

"Akan tetapi, setelah dua bulan, temanku itu di kabarkan tertangkap polisi saat bersembunyi di rumah istri barunya. Ia terlibat perampokan di toko grosir. Ia merampok bersama tiga orang teman. Sialnya lagi mereka pakai mobil aku, untuk melancarkan aksinya."

"Abang beneran tak terlibat dengan mereka?" tanya Bang Ben.

"Ii-ii-ya, gak lah," jawabnya sedikit gugup.

"Aku kan gak tau, dari mana mereka dapat uang. Yang penting lewat waktu rentalnya, aku minta denda lah," jawabnya sedikit sewot.

"Akan tetapi, sebelum mereka rental mobil kita, Abang pernah jalan sama mereka, sampai tak pulang semalaman," selidik kakak ipar.

"Ii-itu kan, sebelum kejadian mereka di tangkap."

"Terus Abang ke mana, sampai tak pulang semalaman?" tanya Bang Ben.

"Ya, urusan kerjaan lah, namanya wartawan, jam kerjanya gak menentu," jawabnya ketus.

"Oh, begitu ya. Jadi sekarang kenapa kasus itu terungkap lagi? Kan mereka sudah tertangkap dan jalani hukuman?" tanya Bang Ben mulai kritis.

"Setelah keluar dari penjara, mereka merampok lagi. Ada korbannya yang mengenali mereka, saat merampok pakai mobil punyaku."

"Hmm ... jadi panjang masalahnya ini," ucap Bang Ben.

Takut juga rasanya, nanti di bilang ikut menyembunyikan saksi. Padahal belum tentu bersalah. Setau aku, saksi itu kan di lindungi polisi. Jadi untuk apa Bang Sanif takut. Apa mungkin ia ikut terlibat juga pikirku. Dari gelagatnya sih, ia sedikit gugup ketika di tanya Bang Ben.

Bersambung ....