Bab 28.
Kakak iparku dari tadi terlihat tegang, mendengar suaminya bercerita. Biasalah, selama ini mereka hidup berkecukupan, dari hasil kerja suaminya. Ia tak pernah tau suaminya dapat uang dari mana. Setiap berhasil menyelesaikan satu kasus, suaminya pulang bawa uang yang cukup lumayan. Katanya seperti itulah profesi seorang wartawan. Aku sih percaya saja dengan ceritanya, karena tak faham juga dengan cara kerjanya.
Sekarang solusinya, menghindar sementara lah dulu. Karena polisi sedang mencari komplotan perampok yang lainnya. Iparku takut ditanya dan di jadikan saksi oleh polisi. Tapi hendak sampai kapan, ia bersembunyi. Seharusnya masalah itu kan di hadapi, bukan bersembunyi seperti ini.
Ia berpesan ke istrinya, kalau ada yang datang ke rumah, bertanya tentangnya, bilang saja sedang pergi ke luar kota, tugas kerja. Dan istrinya jangan sering datang ke ke rumahku, takut ada yang mengikuti.
Aku dan Bang Ben saling berpandangan. Kalau seperti ini caranya, bisa-bisa nanti kami jadi ikut terlibat juga. Aku yang sejak tadi diam, langsung di tanya oleh iparku.
"Nay, gak papa ya, kalau sementara, Abang nginap di sini dulu?"
"Menurut aku sih, kalau Abang tak salah kenapa harus takut dan sembunyi?"
"Sekarang Abang belum siap, di tanya-tanya oleh polisi," alasannya padaku.
"Oh-ya, Nay, coba kita cerita masalah ini, ke saudara kamu, yang aparat negara itu. Kan pangkatnya sudah tinggi. Siapa tau ada solusinya," ucap Kak Eli.
"Nantilah, Kak! Aku hubungi dulu, dia ada di sini atau lagi dinas ke luar kota," jawabku pelan.
"Mudah-mudan saudara kamu, bisa membantu menyelesaikan masalah kami, ya, Nay," pinta iparku.
"Biasanya Bang Herry itu susah di temui, harus buat janji dulu, Kak. Telfonnya pun sering sibuk. Aku sudah jarang berkomunikasi dengannya, karena segan aja. Dia kan orang penting. Paling lebaran atau bertemu di acara keluarga barulah saling bersilaturahmi," jelasku panjang lebar.
"Tapi besoklah aku coba hubungi dia, mana tau ia tak sibuk," ucapku.
"Iya, kali ini Kakak minta tolong ya, Nay!"
"Ini aku bawakan baju ganti mu, Bang!"
Kak Eli menyodorkan bungkusan plastik ke tangan suaminya.
Kalau iparku sementara nginap di sini, besok pagi, kalau Bang Ben pergi kerja, aku kan segan di rumah hanya dengan anak-anak saja. Risih rasanya kalau ada laki-laki di rumah, ipar pula lagi. Jadi tak bebas melakukan aktifitas. Bagaimana lah ini, pikirku.
*******
Syukurnya Sinta sudah bisa di jadikan teman curhat. Ia menemani aku sepanjang hari di rumah. Sedangkan Bang Sanif hanya tiduran dari pagi hingga malam. Kenapa tak menginap di rumah anaknya saja. Dua orang anaknya yang besar sudah berkeluarga, hidupnya pun mapan.
Mungkin mereka tak menyukai kelakuan ayahnya. Jadi ketika ku tanya alasannya, rumah ini cocok untuknya yang sedang ingin ketenangan, padahal ingin bersembunyi dari masalah. Sebenarnya Bang Ben kurang menyukai sifatnya. Tapi namanya ipar, tak mungkin juga di usir. Apalagi ia sedang ada masalah.
Bagiku selama ia tak melibatkan kami, tak menyusahkan, masih bisalah di bantu. Bang Ben berjanji padaku, akan cepat pulang. Sebelum Magrib sudah sampai di rumah. Itu kalau lagi tak ada pelanggan, kalau lagi ramai biasanya sampai di rumah jam delapan malam.
Selama menikah aku belum pernah menerima tamu lelaki menginap di rumahku, kecuali adikku Ivan dan Derry. Itu pun aku merasa canggung kalau ada mereka. Apalagi dengan orang lain seperti ipar. Ada-ada sajalah kelakuan orang jaman sekarang.
Ada-ada saja kelakuan ipar ini. Padahal anaknya sudah dua orang yang berumah tangga, kenapa tak menginap di rumah anaknya saja, sekalian bersembunyi gitu. Nanti ku suruh Bang Ben bicara dengannya. Tak lama kakak ipar pamit pulang. Ia berpesan sekali lagi padaku, untuk menghubungi saudara yang aparat itu. Aku kasihan melihat Kak Eli, semua urusan di rumah tangganya, selalu ia yang di suruh menyelesaikannya. Sementara suaminya tenang-tenang saja.
Bang Ben menyusulku ke dalam kamar.
"Nay ... Kira-kira saudaramu itu, mau gak nolongin masalah, Bang Sanif ini?"
"Mana aku tau, coba aja telfon sendiri! Aku segan bicara dengannya."
"Sini nomor hapenya, biar ku coba untuk hubungi dia," pinta Bang Ben.
*******
Setelah menghubungi nomor hapenya, telfon pun tersambung. Bang Ben menghidupkan speker hape, agar aku bisa juga mendengar percskapan mereka. Awalnya berbasa-basi dahulu, dengan menanyakan kabarnya. Bang Ben diam sejenak, ia melirik ke arahku. Lalu dengan nada pelan, ia menyampaikan maksud dan tujuannya menelfon saudaraku yang bernama Hery. Bang Ben menceritakan kejadiannya dari awal hingga akhir.
Kemudian Bang Hery berkata.
"ikuti saja aturan polisi itu. Kalau tidak terlibat, mengapa harus takut. Berarti ada sesuatu yang terjadi, hingga iparmu bersembunyi," itu kesimpulannya. Ia berjanji besok, setelah pulang kerja, akan ke rumahku untuk bertemu Bang Sanif. Aku terdiam mendengar ucapan Bang Hery.
"Kalau ternyata Bang Sanif terlibat, memberikan fasilitas untuk perampok itu, maka hukumannya di penjara dong?" tanyaku pada Bang Ben.
"Hmm ... paling tidak setahun atau dua tahun juga hitungan penjaranya," sahut Bang Ben.
"Kalau Bang Sanif ingin berdamai, kira-kira bisa gak tuh?" tanyaku.
"Ya-bisa aja, tapi uang damainya, kan mahal. Masalahnya kalau polisinya minta sekian puluh juta, apa mereka sanggup membayarnya?"
"Aihhh ... mereka kan banyak harta, untuk sebuah kebebasan, apa pun caranya pasti di usahakan nya." kesimpulanku begitu.
"Semoga aja, Bang Hery bisa membantu menyelesaikan masalah ini. Kasihan lihat kakakku itu, mulai kurus memikirkan tingkah suaminya." protes Bang Ben.
Ketika memasak di dapur, ternyata Sinta, diam-diam ikut memperhatikan juga. Lalu ia berbisik di telingaku.
"Bu ... Uwak kenapa menginap di sini? Lagi ada masalah, ya?"
"Iya, Sin! Entar kalau kamu keluar, ada orang yang bertanya-tanya tentang Uwak, bilang aja gak tau, ya!" Pesanku.
"Iya, Bu."
*******
Esok harinya, selesai sarapan, Bang Hery memenuhi janjinya untuk datang ke rumahku. Saat itu Bang Ben hendak pergi bekerja. Karena menghargai saudaraku, Bang Ben menunda untuk membuka bengkelnya, ia terlebih dahulu menemui Bang Hery untuk membicarakan masalah yang menimpa Bang Sanif. Aku langsung menghubungi Kak Eli, agar ia bisa tau cara penyelesaian kasus suaminya. Setelah mereka berkumpul, aku buatkan teh hangat. Tapi aku tak ikut bergabung di ruang tamu.
Aku lebih memilih menyelesaikan tugas dapur, menyiapkan sarapan untuk anak-anak. Sebentar lagi mereka akan pergi ke sekolah. Ini hari pertama sekolah, setelah libur panjang selama dua minggu. Walaupun masih suasana covid'19, tetapi sekolah mereka masih bisa tatap muka, seminggu tiga kali. Ketika aku bersiap untuk mengantar anak-anak ke sekolah, Bang Ben langsung mengeluarkan sepeda motornya untuk mengantarkan Raka dan Nina.
Syukurlah, aku bisa melanjutkan pekerjaan yang tertunda tadi. Sedangkan Sinta sejak kelas tiga SMA, belajarnya secara online dari rumah. Hanya seminggu sekali ke sekolah untuk mengantarkan tugas ke guru bidang studinya. Lumayanlah hemat ongkos angkot. Jadi uang jajan bisa di tabungnya untuk keperluan sekolah dan pribadinya.
Bersambung ....