Bab 14
Selepas Magrib, kami pun sampai di depan kos Rani. Ia lebih dulu di antar ke kosannya. Terlihat seorang lelaki paruh baya, keluar dari halaman kos, sambil mendorong sepeda motor milik Rani. Refleks ia langsung turun dan terlibat keributan dengan lelaki tersebut. Tak lama keluarga nya pun ikut turun. Mereka saling menyalahkan.
Dengan berani lelaki paruh baya itu menampar Rani di depan keluarganya. Abangnya terdiam tak sanggup membela Rani. Ibunya cuma bisa menangis melihat kejadian ini. Kami dan anak-anak hanya melihat dari dalam mobil. Pertengkaran belum usai malah semakin berlanjut. Sepertinya Rani tak terima di perlakukan seperti ini.
Tak lama, dari kamar sebelah keluar seorang wanita. Pertengkaran semakin meruncing. Ternyata teman wanita itu yang memberitahu ke lelaki tersebut, bahwa Rani selingkuh, balikan lagi dengan kekasih lamanya. Dan lelaki paruh baya itu adalah kekasih Rani yang sekarang.
Selama ini, lelaki itu yang membiayai hidupnya dan memberikan fasilitas sepeda motor ke Rani.
Aku dan anak-anak mendengar semua pertengkaran mereka, demikian juga dengan Bang Ben. Ku tatap melalui kaca spion di depannya, ia mengalihkan pandangan keluar mobil. Wajahnya merah padam. Terbongkar semua kebusukan yang di simpannya.
"Selingkuhannya sering datang ke sini, saat kosan sedang sepi. Kadang Rani sering tak pulang ke kosan, alasannya nginap di rumah teman dan lelaki selingkuhan itu sering mengantarnya pulang," ucap wanita itu di depan keluarga Rani.
Tanpa bicara apapun lagi, sepeda motor pun di bawa lelaki itu, tanpa ada yang berani mencegahnya. Rani hanya bisa memaki wanita itu tanpa bisa membela diri di hadapan pacarnya.
Hmm ... kami mendengar semua perdebatan mereka. Bang Ben melihat ke arahku. "Ternyata karma gak nunggu nanti ya, langsung di tunjukkan Allah," sindirku. Keluarga Rani pun meninggalkan kosan itu, lalu naik lagi ke dalam mobil. Sepanjang jalan menuju rumahku, kami semua diam tanpa berbicara apapun. Satu jam kemudian kami sudah sampai di depan rumah.
"Nay ... Maafkan Rani, ya," ibunya berbisik di telingaku. Aku hanya diam tak menjawab, kemudian turun dari mobil mereka.
*******
Sesampainya di rumah, barang bawaan langsung ku letakkan ke dapur. Karena situasi kemarin, hingga tak kepikiran lagi untuk membeli buahan, ciri khas daerah sana. Untungnya sempat jalan-jalan ke pulau kecil itu. Sempat membeli baju santai bergambarkan pemandangan danau dan pepohonan. Sinta tanpa di suruh, membawa adiknya masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai, mereka langsung masuk ke kamarnya. Anak sulung ku ini sangat pengertian, ia tahu ibunya sudah letih.
Bang Ben duduk termenung di ruang tivi. Aku tak berucap sepatah kata pun. Tak ada lagi yang perlu di bahas dengannya. Sudah sering ia berbuat begitu di belakang ku. Kali ini dia kena batunya. Setiap berbuat kasar, menyakiti hatiku, pasti langsung dapat balasannya. Karena sudah kelelahan aku tak menyiapkan lagi makan malam untuknya.
Hanya ada sisa lauk rendang yang ku hangatkan barusan. Kalau ia lapar tinggal ambil saja di lemari. Aku masuk lebih dulu ke kamar, sambil rebahan aku periksa hape, siapa tau ada pesan masuk.
Keesokan harinya aku bertengkar hebat dengan Bang Ben. Ia tak pernah mau di salahkan. Cukup aku mengalah selama ini. tiba-tiba malamnya ia kesakitan sambil memegang kakinya. Ia menjerit, meraung tak bisa jalan. Padahal sebelumnya biasa aja. Aku dan anak-anak kebingungan melihatnya. Kemana mau ku cari obatnya malam-malam begini. Sinta berbisik di telingaku, "kualat itu, Bu. Karena suka nyakiti hati Ibu." Hmm ... aku tertegun mendengar ucapan si sulung ini.
Aku telfon seorang teman yang, faham mengobati penyakit luar dan dalam. Aku sebut penyakit Bang Ben ini. Ia ingin berbicara langsung dengan Bang Ben. Selesai bicara dengan temanku, Bang Ben langsung minta maaf, memegang kakiku. Mulutnya terus minta maaf ke aku. Kan jadi bingung melihat sikapnya. Sepertinya ia merasa telah banyak buat salah padaku.
Kaki terasa tertusuk paku, ngilu di pijakkan, sampai ke kamar mandi pun tak bisa jalan. Itu terus yang di keluhkan Bang Ben padaku. Susah payah ku papah tubuhnya, ia menyeret, memegang kakinya hingga sampai kamar mandi. Begitu juga setelahnya. Melihat ia terus kesakitan, lalu ku oleskan minyak kusuk ke kakinya, sambil membacakan doa.
Perlahan rasa sakitnya berkurang, ia meraih tanganku lalu menciumnya.
*******
Keesokan harinya, aku di sarankan teman untuk membeli obat di tempat Sinse (sebutan untuk penjual obat cina) bentuknya kapsul, isinya ramuan cina, dapat mengobati dan menyembuhkan ngilu tulang dan persendian. Harganya lumayan mahal, tak apalah yang penting bisa menyembuhkan sakitnya. Pusing juga mendengar raungan sepanjang malam. Karena sakitnya sering kumat malam hari.
"Maka nya, mulut jangan kasar, kalau bicara jangan suka nyakiti hati orang," sindirku.
"Tiap hari minta maaf, tiap hari di buat lagi." Bang Ben terdiam mendengar omelanku.
"Pantesan kapal bot si Rani, hampir tenggelam kemarin ya," ucapku mengingatkan. "
Kalau ingat kejadian itu, jera rasanya, tak berani lagi menyebrang danau atau laut sekali pun."
Maka nya banyak-banyak bertaubat, karma itu langsung. Doa orang terzolimi di dengar Allah." Bang Ben termenung mendengar ucapan ku. Berubahnya kadang sebentar saja, waktu terasa sakitnya, setelah itu balik lagi ke aslinya. Memang susah merubah tabiat seseorang, sudah dari kecil terbentuk karakter kasarnya. Sepertinya ia mewarisi tabiat orangtua laki-lakinya. Karena Bang Ben suka cerita, kalau orangtuanya itu kasar dan kejam.
Menurutku sifat tak baik jangan di tiru, apalagi di buat sebagai alasan untuk menyakiti orang. Bukannya di segani malah di benci semua orang. Jangan karena ia mengalami seperti itu lalu di terapkan pula ke istri dan anaknya. Sudah berulang kali aku peringatkan. Apa yang di lakukan pasti di ingat selamanya oleh kami. Cepat atau lambat, perbuatan baik atau buruk pasti di balaskan oleh Allah.
******
Hari ini, aku akan pergi ke kosnya Rani. Aku ingin dengar sendiri dari mulutnya, sejauh mana hubungan mereka. Takutnya hamil dengan yang lain, suamiku pula yang nanti di minta tanggung jawab. Karena semua tahu gaya hidupnya, suka berganti pasangan. Niatnya aku datang baik-baik bukan mengajak ribut. Untuk memastikan sekali lagi. Jangan sampai ia berhasil menghancurkan rumah tanggaku dengan tipu dayanya.
Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, aku pamit ke Bang Ben, alasan pergi ke pasar. Hati ku masih teramat sakit. Tak banyak bicara, langsung ku bawa si bungsu Nina bersamaku. Sengaja berpakaian seperti ke pasar, agar Bang Ben tak curiga. Bisa-bisa ia mencegahku kalau tau aku ke tempat Rani.
Bang Ben tak buka bengkel, karena alasan nya masih capek. Ia masih tidur di kamar. Jadi tak mungkin ia mengikutiku. Lalu ku pesan ojek, sesuai alamat kemarin. Untung nya aku tahu daerah kos Rani. Teman sekolahku banyak tinggal di daerah sana.
Setengah jam kemudian, aku dan si bungsu sampai di depan kost Rani.
"Bu ... Ini rumah siapa?" tanya Nina dengan polos nya.
"Ini rumah tante Rani, Sayang."
"Nanti jangan bilang ke Ayah, kalau kita main ke sini ya!"
"Kenapa, Bu?"
"Nanti Ayah marah sama Ibu. Karena alasan Ibu, tadi pergi ke pasar."
"Ohhh ... jadi kalau di tanya, perginya ke pasar, ya Bu?" tanya Nina dengan wajah yang masih bingung.
"Iya, Sayang," jawabku sambil menggandeng tangannya.
Aku pun berjalan menuju kamar kos Rani. Ada sendal di depan kamarnya, berartinya ia ada di dalam. Ku ketuk pintunya, tak ada jawaban. Mungkin masih tidur, pikirku. Ku ketuk beberapa kali. Eehh ... yang keluar malah teman sebelahnya.
Bersambung ....