Chereads / The wound in my heart / Chapter 15 - Liburan lagi

Chapter 15 - Liburan lagi

Bab 15.

Aku pun berjalan menuju kamar kos Rani. Ada sendal di depan kamarnya, berartinya ia ada di dalam. Ku ketuk pintunya, tak ada jawaban. Mungkin masih tidur, pikirku. Ku ketuk beberapa kali. Eehh ... yang keluar malah teman sebelahnya. 

"Kak Nayla ya?" tanya nya.

"Iya," jawab ku.

"Kok kamu kenal aku?"

"Iya kak, kemarin aku lihat foto kakak sekeluarga, di hapenya Rani.

"Oh-gitu," sahut ku.

Aku mengernyitkan dahi, kok bisa Rani menyimpan foto kami. Belum terjawab  kebingungan ini, terlihat pintu kamar Rani terbuka. Ia kaget melihat aku sudah berada di depannya.

"Masuk, Nay! Ada apa?" tanya nya.

Ia mempersilakan aku duduk, ada karpet terbentang di depan tivinya.

Tapi aku berdiri saja, karena Nina sedang rewel, jadi ingin di gendong.

"Sejauh mana hubunganmu dengan Bang Ben," tanyaku sambil menatapnya tajam.

"Hanya berteman saja," jawabnya santai, sambil memainkan hape.

"Gak usah bohong, Bang Ben sudah cerita semuanya, tentang hubungan kalian. Bahkan kamu sedang hamil, betul begitu," pancingku, agar ia mengaku.

Ia kaget mendengar ucapanku. Lalu melemparkan hapenya begitu saja ke atas tempat tidur.

"Itu bohong, aku gak hamil. Lagian aku gak mau hamil anak siapapun," jawabnya.

Aku sedikit lega mendengarnya.

"Apa sih yang kamu cari, Ran??? Bang Ben itu gak punya apa-apa. Gak ada hartanya, penghasilannya pun, pas untuk makan saja."

"Cuma anak yang bisa di kasinya ke aku. Apa gak bisa, cari lelaki lajang atau duda yang kaya? Kenapa suami orang, yang di pacari? Mending kaya, nah ini kere," maki ku dengan kasar.

Rani terdiam tak berani membela diri. mungkin ia tak menyangka akan di labrak begini. Yang aku tau, ia jadi janda karena tak mau repot mengurus anak dan suami. Kerjanya nongkrong terus dengan teman sosialitanya.

******

"I-i-ya, kami telah berhubungan, tapi aku gak hamil kok," ucap Rani terbata-bata. 

"Maafin aku Nay, telah mengganggu rumah tangga kalian. Akan ku jauhi Beni," janjinya padaku.

"Kalau berbuat dosa gak usah nanggung. Cari tuh anak sultan, yang kaya raya. Untuk apa cari yang kere, buat capek in tubuh aja," sindirku tajam. 

"Ya sudah, aku pulang," ucapku sambil berlalu. Meninggalkan Rani yang terdiam membisu.

Ketika hendak keluar, ku lihat teman-teman kosnya Rani, langsung tutup pintu. Mungkin mereka mendengar semua percakapan kami. Sesampainya di halaman kost, ku lihat seorang ibu paruh baya, sedang menelfon. Saat itu aku sedang menunggu ojek online, tak jauh dari kosan nya.

Tak lama Rani pun keluar, menemui ibu tersebut. Mereka terlibat perdebatan Sepertinya ibu itu yang punya kost ini. Ojek yang ku pesan pun datang, aku pun segera pergi dari sana. Tujuanku ke rumah teman, karena sudah lama tak berkunjung. Rencananya pulang sore, sekalian tenangi diri.

Bertemu teman lama, seketika pikiran pun jadi rileks. Mulai dari mengenang masa sekolah, hingga membicarakan masalah pribadi. Sangkin serunya bercanda, hape berdering pun tak terdengar lagi. Begitu di lihat lima panggilan tak terjawab dari Bang Ben dan Sinta. Aku abaikan saja, lagi pula si bungsu tengah asik bermain dengan anak temanku.

******

Tak terasa hari pun senja, aku pamit pulang, serta berjanji sering-sering main ke sini. Segan rasanya, sebentar lagi, suaminya pulang kerja. Aku tak ingin orang tahu, masalah yang sedang ku hadapi. Ojek online sudah datang, aku pun segera pulang. Sampai di rumah, Sinta dan Raka berlari memelukku.

"Ibu kemana aja sih, Ayah kebingungan tuh nyariin, di telfon gak di angkat," celoteh Raka, sambil menunjuk Bang Ben.

"Kami jalan-jalan, donggg," sahut Nina.

"Ibu bawa martabak, nih. Di salin ke piring ya Sinta!" ucapku sambil berlalu menuju kamar.

Bang Ben mengikuti ku masuk ke kamar. Ia memangku Nina lalu bertanya.

"Sayang, tadi kamu sama Ibu pergi kemana?" Nina bingung, ia melirik ke arahku.

"Bilang aja, Ayah gak marah, kok," bujuk Bang Ben.

"Nina ... kamu main sama kakak dulu ya," ucapku menyuruhnya keluar.

Setelah Nina keluar, Bang Ben langsung memelukku dari belakang. Aku muak melihat sikapnya. Ku lepas kan pelukannya, ku tinggal menuju kamar mandi. Ingin rasanya membalaskan sekarang, sakit hati ini. Selama ini, semua salah di matanya. Aku punya banyak teman, muncul iri hatinya. Telfonan dengan teman perempuan saja, ia marah tak jelas. Sesekali ingin jalan dengan teman di larangnya. Teman datang bertamu ke rumah, kumat julidnya. 

Ia terdiam, kehabisan kata untuk membuatku bicara. Kalau tak ketahuan tingkahnya, mungkin ia sudah kawin diam-diam, tanpa sepengetahuanku. Biasanya untuk selingkuhan, apa pun pasti di usahakan. Sejak kejadian itu, hati ini terasa hampa. Aku berencana, pulang ke rumah Bapak, yang terletak di luar kota. Anak-anak semua akan ku bawa. Sejak aku kecil, Ibu dan Bapak sudah bercerai. Tinggal Bapak yang ku punya. Aku memberi kabar ke Bapak, kalau aku akan kesana dalam waktu dekat ini.

*******

Aku menelfon Bapak yang berada di luar kota. Ku tanya kan kabarnya, Karena sudah setahun aku tak silaturahmi, Bapak senang sekali mendengar aku akan berkunjung kesana. Ia sudah kangen dengan cucunya. Sejenak hatiku terhibur saat berbicara di telfon. Berhubung anak-anak mulai masuk liburan, tak ada halangan bagiku untuk membawa mereka. Esok harinya, ku beritahu ke Bang Ben, niat untuk pulang ke rumah Bapak. Ia termenung mendengarnya.

Aku dapat nomor hape Bapak, dari adikku Ivan. Ia paling sering bersilaturahmi ke sana. Derry juga lumayan sering, hanya saja ia kurang dekat dengan Bapak. Ivan merasa heran, kok tumben aku ingin silaturahmi ke sana. Memang kedua adikku ini tak pernah tau masalah rumah tanggaku. Aku pun tak pernah sekali pun bercerita. Karena aku sudah tau jawaban mereka. Aku menikah dengan lelaki pilihan sendiri, jadi susah senangnya harus bisa mengatasi sendiri.

Bang Ben mendekatiku, lalu berucap lirih.

"Nay ... kamu ingin pergi dariku?" tanyanya sambil menatap wajahku dalam-dalam.

Aku diam saja tak menjawab pertanyaan. Hati ini masih sangat kecewa, setelah apa yang di lakukannya padaku. Untuk sementara menghindar darinya, mungkin membuatku sedikit lebih tenang. Biar saling intropeksi diri. Aku pun tak sempurna, banyak kekhilafan juga. Sekali lagi Bang Ben bertanya padaku.

"Kamu yakin akan kesana? Naik bus lagi, entar kalau mabuk di perjalanan, anak-anak bagaimana?" tanyanya lagi.

"Sebelum berangkat, kami minum obat anti mabuk," ucapku santai.

"Berapa lama di sana?" 

"Belum tau," jawabku.

Bang Ben terdiam, Ia duduk melamun di teras rumah. Sepertinya ia mencerna semua ucapanku. Setelah berpikir seharian, akhirnya ia pun memberi keputusan.

"Boleh pergi, tetapi aku ikut! Sekalian silaturahmi ke rumah Bapak." Bang Ben memberi keputusan.

"Ya ... sudah," ucapku.

Bang Ben langsung memberitahu ke anak-anak. Bahwa kami akan liburan lagi. Betapa senangnya mereka, karena sudah lama tak bertemu kakeknya. Esok harinya Bang Ben membeli tiket, ia memilih jadwal berangkat di pagi hari, agar sebelum Magrib, sudah sampai di rumah Bapak. Aku bereskan semua keperluan selama di sana, agak banyak ku bawa, karena belum tahu, kapan akan pulang.

Bersambung ....