Bab 19.
Rasanya tubuh ini seperti tak bertulang, lelah hati lelah pikiran. Bang Ben dari tadi gelisah terus, bukannya tidur, rutukku di hati. Ia menghadapkan tubuhnya ke arahku, jadi lah kami saling berhadapan.
"Mungkin kamu sudah bosan, mendengar permintaan maaf ini. Aku janji, gak akan membuat mu menangis lagi. Aku gak sanggup, jauh dari kalian. Hampir gila rasanya. Padahal kalian hanya pergi berlibur," cecar Bang Ben.
"Aku gak mau kehilangan kamu dan anak-anak. Lusa kita jalan-jalan ya! Sekarang giliran liburan di kota sendiri."
"Emangnya hendak liburan kemana?" tanyaku.
"Terserah anak-anak, hendak main ke pantai atau berenang ke waterboom. Besok abang tanyakan ke mereka."
Aku terus menguap, mata semakin berat, akhirnya kami pun terlelap di buai mimpi.
******
Efek kelelahan, pagi ini aku jadi telat bangun, dan salat Subuh pun terlewatkan. Syukurnya anak-anak masih libur sekolah. Aku segera menyiapkan sarapan pagi. Sedang sibuk di dapur, tiba-tiba pinggangku di peluk dari belakang. Hmm ... ternyata Bang Ben yang ngagetin. Ia tersenyum, sambil mengendus masakan di kuali. "Aroma ini yang membuatku terbangun," protesnya.
Aku masak nasi goreng sosis dan telur ceplok. Sebagai pelengkap sarapan pagi, tak lupa ku siapkan saos sambal dan kerupuk. Bang Ben sudah tak sabar, untuk menyantap hidangan di atas meja. Anak-anak sudah selesai mandi. Langsung saja mereka menuju meja makan. Bang Ben tersenyum sambil memandang ketiga anaknya. Tumben ia seperti itu, biasanya sering tak acuh ke mereka, sibuk dengan pikiran sendiri.
"Akhirnya kita berkumpul dan makan bersama lagi," seru Bang Ben.
"Ayah kangen sama kami, ya," tanya si bungsu Nina.
"Iya, dong. Ayah kan sayang kalian semua," ujar Bang Ben, sambil melirik ke arahku.
"Oh, ya, besok kita jalan-jalan yuk! Kalian sukanya ke pantai atau ke waterboom?" tanyanya lagi.
"Waterboommmm ...." terdengar jawaban serempak dari ketiga anakku.
"Asikkk ... abang ingin naik perosotan yang di bawahnya ada kolam kecil," seru Raka.
"Nina juga mau naik itu, Bang Raka!"
"Iya-iya, pokoknya kalian bertiga boleh main sepuasnya di Waterboom itu," ucap Bang Ben.
"Bu, ban bebek an itu, bisa di pompa lagi kan?" tanya Nina.
"Nanti Ibu lihat, masih bisa di pakai atau sudah bocor."
"Belajar berenang lah, biar bisa lomba dengan Bang Raka! Jadi gak usah pakai ban lagi," usulku.
"Oke ... siapa takut," sahut Nina sambil berkacak pinggang.
"Alahhh ... kamu aja belum mahir berenang, mau ngajarin Nina pula. Entar nyemplung ke air gak muncul lagi, tau rasa," seru Sinta, sambil meledek adiknya.
"Haa ... haaa, iya jugaaa." sahutku. kami pun tertawa mendengar celoteh mereka.
Sudah lama, aku tak tertawa lepas seperti ini. Sejak Bang Ben berulah, pikiranku di sibukkan dengan rasa sakit hati saja. Hingga komunikasi ke anak-anak menjadi berkurang. Perasaan bersalah terhadap mereka, terasa sekali saat bersama. Aku tak mau apa yang ku alami dulu, terulang lagi ke anak-anakku. Cukup aku yang merasakan pedihnya hati saat melihat Ibu siang malam menangisi nasibnya.
Ibuku sempat depresi waktu pertama kali di ceraikan oleh Bapak. Bayangkan saja seorang janda dengan tiga orang anak yang masih kecil-kecil. Dan Ibu tak punya penghasilan untuk membiayai hidup kami. Harapan hanya ada pada Kakekku. Dari hasil usaha menjual obat itu lah, kami bisa menyambung hidup. Ibu mulai sering marah-marah tanpa sebab, suka memukul adikku yang kebetulan lagi nakal dan lasak.
Kakek suka membela kami, saat kami menangis. Di bujuknya dengan membeli jajanan kesukaan. Ia pun mengerti kalau Ibu sedang terguncang jiwanya. Tak bisa menyalahkan juga. Begitu Kakek meninggal. Penderitaan pun di mulai. Usaha obat yang di tinggalkan Kakek, perlahan mulai hancur, karena Ibu tak pandai mengolahnya. Belum lagi uang hasil usaha di minta oleh anak Kakek yang lain. Siang malam Ibu banting tulang untuk membiayai hidup kami. Makanya aku tak mau itu terulang pada anakku.
******
Selesai sarapan, aku dan Sinta lanjut membersihkan dapur dan seluruh ruangan di dalam rumah. Bang Ben dan kedua si kecil ini, bertugas membersihkan teras dan halaman rumah. Hari ini kerja bakti, lumayan capek. Musim kemarau, daun kering banyak berserakan di halaman. Debu bertebaran di semua ruangan. Padahal ada Bang Ben yang menjaga rumah, selama kami pergi. Tetapi, kotornya minta ampun, seakan rumah tak berpenghuni.
Waktunya habis di bengkel dari pagi hingga Magrib. Selepas Isya, baru ia pulang ke rumah. Baju kotornya pun banyak di dalam ember cucian. Ia punya dua alasan, yang pertama: sedih kalau pulang ke rumah, tak melihat aku dan anak-anak, jadi ia menyibukkan diri di bengkel hingga malam hari.
Lalu alasan yang kedua: sering telat bangun pagi, gara-gara tiap malam telfonan dan video call denganku. Jadi tak sempat membersihkan rumah dan mencuci pakaian. "Begitulah kalau di tinggal istri, dunia serasa hendak runtuh," kelakarnya.
Mendengar alasannya, aku hanya mencebikkan bibir, sambil lanjut membersihkan rumah. Sampai ibu tetangga sebelah rumah pun menyapa, ia paling suka melihat ke kompakkan keluarga kami. Oh-ya, hampir kelupaan, camilan yang ku bawa dari kota Bapak sebagai oleh-oleh, ku berikan sebagian untuk tetangga sebelah itu.
"Kemarin, ada sepasang suami istri yang datang, hendak bertamu ke rumah kalian." ucap si tetangga.
"Oh-ya! Tumben ada yang nyari kami, Bu?" sahutku.
"Saya tanya, hendak mencari siapa?Mereka bilang ingin bertemu dengan kamu, Nay. Karena gak ada orang di rumah, mereka pun pulang kembali." jelas si ibu panjang lebar.
"Ciri-ciranya seperti apa? Ibu masih ingat gak?" tanyaku. Tapi Ibu itu lupa, karena bicaranya dari dalam rumah, tak keluar pagar.
Siapa ya? kok aku jadi penasaran. Ku beri tahu pada Bang Ben, kemarin ada tamu yang datang, ingin nyari in aku.
Bang Ben bilang, "itu orangtuanya Rani! Setelah pulang dari sini, ibunya menelfon ke hapeku. Mereka ingin bertemu dan berbicara dengan kamu, Nay! Abang bilang, kalau kalian sedang liburan ke luar kota.
"Ada urusan apa mereka, ingin mencariku?" tanyaku ketus.
"Abang mana tau! Pleaseee ... jangan berpikir yang macam-macam lah Nay.
"Abang gak pernah berurusan dengan mereka lagi."
Mendengar Bang Ben menyebut nama keluarga wanita itu, kok hatiku jadi sakit lagi. Wajahku langsung berubah jutek, terhadapnya. Suasana yang tadinya hangat, menjadi berubah tegang, gegara
informasi dari tetangga itu. Bang Ben bingung sepanjang hari ku acuhkan. Ia merasa tak berbuat salah apapun padaku.
Pikiranku langsung suuzon padanya. Bisa saja ia bertemu selingkuhan itu, saat aku tak ada. Sedang bersamaku saja ia sudah main gila. Karena sampai kapan pun aku tak percaya lagi dengannya. Ia lama termenung dan diam, mendengar ucapanku. Kelihatanlah kalau orang banyak salah, takkan sanggup membela diri, itu pun kalau yang takut dosa. Kalau yang tak takut dosa, bersumpah palsu pun pasti berani.
Bersambung ....