Bab 20.
Aku makin penasaran, dengan ucapan tetangga tadi pagi. Sedangkan Bang Ben lebih memilih diam, tak berkomentar apa pun. Pura-pura tak peduli, tapi ia sering curi pandang memperhatikan wajahku, sedang marah atau tidak. Aku pun berpikirlah, tak mungkin mengajak ribut atau berdebat di depan anak-anak.
Bang Ben menyibukkan diri dengan menyapu halaman dan menyiram tanaman bungaku yang sudah layu. Mulai pandai ia menarik perhatianku, itu bunga kesayangan. Kalau sempat bunganya mati, habislah kena omelanku. Anak-anak mulai kelelahan, aku bergegas ke dapur untuk menyiapkan camilan dan minuman segar.
"Anak-anak ... ini Ibu bawa kan yang gurih dan segar," teriakku, sambil meletakkan nampan di atas meja.
"Yeee ... ayuk kita minum Bang," panggil Nina, sambil mengajak Raka.
"Ayah juga ke sini, nanti kami habisin kuenya lo," seru mereka.
"Eittt ... basuh muka dan tangan dulu ya, kan tadi tangannya sudah pegang sampah dedaunan," pintaku.
Raka dan Nina membuka kran air yang terletak di samping teras. Lalu membasuh muka, tangan dan kakinya. Aku dan Sinta menuangkan minuman segar, ke gelas masing-masing. Camilan yang ku beli ini berupa keripik dan kue kering. Kami paling suka makan camilan, sambil menonton tivi. Karena membersihkan rumah secara bersama, tak terasa lelahnya. Begitu lihat jam dinding, sudah pukul sebelas siang. Saat nya memasak untuk keluarga tercinta.
"Sinta, ke sini! Bantu Ibu untuk memetik sayur dan cabai ya!" pintaku.
"Oke, Bu! Nina boleh ikutan petik sayur, juga Bu?" tanya Sinta.
"Boleh ... tapi jangan pegang cabai ya, nanti tangan adik kamu menjadi panas," jelasku.
"Oke deh, Ibuku sayang!"
Menu siang ini cukup sederhana, gulai ikan dan sayur kangkung tumis pedas. Anak-anak paling suka makan pedas. Terlihat turunan darah minangnya. Apalagi Bang Ben, kalau makan harus ada sambal cabai di meja makan. Walau pun menunya hanya telur dadar. Hanya Nina yang baru pandai makan ikan dan sambal. Selama ini ia selalu menangis kalau di berikan lauk itu. Karena sering ketulangan, tertelan tulang ikan.
Pernah suatu hari ia makan sendiri. Padahal ikan dan tulangnya sudah ku pisahkan. Tiba-tiba ia menangis dan muntah-muntah. Ternyata tulang ikan yang halus masih menempel di ikannya. Aku sampai jera memberinya makan, pakai lauk ikan. Tubuhnya pun semakin kurus, karena kurang gizi. Setiap bulan sering sakit-sakitan. Aku pun berinisiatif untuk membelikan vitamin dan susu. Alhamdulillah, tubuhnya pun mulai sehat kembali.
******
Rencananya, besok Bang Ben membuka kembali bengkelnya. Kebetulan besok itu hari Sabtu. Biasanya langganan sering datang untuk menyervis kendaraan. Karena keesokan harinya akan di pakai untuk berlibur. Semoga saja esok hari ada rezeki, agar kami bisa berlibur lagi, doaku di hati. Sedang asik melamun, aku di kejutkan dengan suara ketukan pintu. Padahal baru saja, ingin istirahat masuk ke kamar. Ku lihat sekeliling, ternyata anak-anak sudah masuk ke kamar.
Gegas Bang Ben membuka pintu, aku buru-buru memakai hijab instan. Lalu mengintip dari balik jendela kamar, penasaran ingin tau siapa tamunya. Sepertinya yang datang sepasang suami istri. Apa mungkin mereka ini yang di maksud oleh tetanggaku. Aku tak perhatikan kali wajahnya, karena hanya melihat sekilas saja. Bang Ben masuk ke kamar sambil berkata.
"Nay, ada yang ingin bertemu dengan kamu."
"Siapa? Orangtuanya Rani, ya?"
"Iya, temui lah, Nay!"
Aku langsung keluar dari kamar, kemudian menyapa dan bersalaman dengan mereka. Saling berbasa-basi dan menanyakan kabar. Bang Ben, hanya diam duduk di sebelahku.
"Kemarin, Ibu dan Bapak datang ke sini juga, ya?" tanyaku.
"Eh-oh-iya, kami yang datang ke sini, tapi tetangga sebelah itu bilang, sudah seminggu kamu dan anak-anak tak ada di rumah. Hanya Beni sendiri, itu pun setiap hari pergi kerja, pulangnya malam," jawab ibunya Rani.
"Sebentar ya Bu, Nayla ke dapur dulu untuk buatin minuman," pamitku.
"Gak usah repot-repot, Nayla! Kami hanya sebentar kok." kali ini bapaknya Rani yang berbicara. Ibunya Rani menarik lembut tangan ini dan menyuruh aku untuk duduk kembali.
"Langsung saja, Bapak dan Ibu, ingin minta maaf pada kamu Nayla!" Bapak Rani bicara tegas, sambil melirik Bang Ben.
"Kami sudah tau, apa yang terjadi antara Rani dan Beni. Meskipun Rani itu anak kami, kalau ia salah, tak akan kami bela. Ia bukan istri yang baik, itu lah sebabnya, kenapa suaminya menggugat cerai. Kami sudah berulang kali menasihatinya, tetapi ia selalu keras kepala. Kalau tak mau mendengar nasihat orangtuanya ini, lebih baik ia pergi, keluar dari rumah! Itu sudah keputusan Bapak dahulu, sebelum ia bercerai dari suaminya."
"Untuk kamu Beni, jangan sia-sia kan seorang istri yang soleha. Jangan karena sikap iseng kamu, istrimu terluka dan menangis. Cam kan itu! Saya berbicara seperti ini, karena sudah mengganggap kalian seperti anak sendiri. Gak usah lagi berhubungan dengan Rani. Nanti kamu menyesal, Beni! Faham kan maksud Bapak."
********
Bang Beni hanya mengganggukkan kepala, dan tertunduk malu. Aku tertegun mendengar semua nasihat orangtua Rani. Tak menyangka sama sekali, kalau mereka berpihak padaku dan menyalahkan anaknya sendiri. Dari tadi Bang Ben, tak ada berbicara sepatah kata pun. Hanya diam seribu bahasa. Mungkin ia merasa malu, tak mampu lagi membela diri.
"Ibu-Bapak ... maafkan semua kesalahan saya." Hanya itu yang terucap dari mulutnya.
"Ya-sudah, hanya ini yang ingin kami sampaikan pada kalian berdua. Atas nama Rani, Bapak dan Ibu mohon maaf pada kamu ya, Nayla. Kami pamit pulang!" Mereka pun berdiri, kami pun saling bersalaman.
Setelah tamu itu pulang, aku langsung masuk ke kamar. Lelah rasanya tubuh ini, selesai salat Zuhur, aku rebahan di atas ranjang. Ku raih hape yang terletak di atas meja, lalu mengaktifkannya. Banyak pesan masuk di aplikasi berwarna hijau. Salah satunya, chat dari kakaknya Bang Ben.
Ada beberapa chat yang belum ku baca. Dahiku berkerut membaca isi chatnya. Banyak pertanyaan tentang Ban Ben, tentang hubungannya dengan mantannya itu. Aku bingung, dari mana kakak ipar itu tau masalah yang sedang ku hadapi. Sedangkan aku tak pernah bercerita ke siapapun.
Tak menunggu lama, Bang Ben masuk ke kamar. Langsung saja ku tanyakan, dari mana kakaknya tau masalah ini. Ternyata si Rani itu pernah datang beberapa kali ke bengkelnya, dan bertemu dengan iparnya itu. Kebetulan suami kakaknya sedang memperbaiki sepeda motor.
Semua tau pakaian dan sikap si Rani itu, rada kurang sopan. Iparnya langsung kepo, banyak tanya. Nah si Rani itu, mengaku sebagai teman lamanya Bang Ben. Selanjutnya tau lah apa yang terjadi. Iparnya mengadu ke istrinya, yaitu kakaknya Bang Ben.
Keesokan harinya, kakak Bang Ben datang ke bengkel bersama suaminya. Mereka tidak tau, kalau aku dan anak-anak tak berada di rumah. Begitu mereka tahu, kalau aku sedang merajuk dan sedang berada di rumah bapak di luar kota.
Mereka pun langsung melampiaskan amarahnya. Habis-habisan kakaknya menyalahkan Bang Ben. Lalu mereka menyuruh untuk segera menjemput ku. Pantaslah, baru seminggu di rumah Bapak, Bang Ben sibuk terus membujuk ku untuk pulang.
Bersambung ....