Bab 26.
Pengunjung lain pun, banyak yang mulai beranjak dari duduknya. Kalau jalan-jalan malam ini, terasa sekali singkat waktunya. Baru saja selesai makan, terus ngobrol sebentar, eeeh ... taunya sudah jam sepuluh malam saja.
Bang Ben, Sinta dan Raka jalan bersisian di depanku. Taksi online sudah menunggu di halaman parkir. Sepanjang jalan, tak hentinya Raka dan Nina berceloteh. Aku dan Bang Ben hanya tersenyum mendengarnya. Karena jalanan mulai sunyi, tak sampai satu jam, taksi yang kami tumpangi sudah di depan rumah. Lalu aku membayar ongkos taksi sesuai aplikasi dan melebihkan sedikit untuk uang tipnya.
******
Sesampainya di rumah, terlihat dari jauh, ada seseorang duduk di teras. Sepeda motornya terparkir di halaman rumah. Sepertinya mirip iparnya Bang Ben. Sejurus kemudian, tiba-tiba Raka lari lebih dulu, dan berseru.
"Ayahhh ... ada Uwak datang!"
Aku dan Bang Ben saling berpandangan, mengerutkan dahi. Dengan rasa penasaran, kami melangkah cepat menyusul Raka, yang sudah duduk di teras bersama Uwaknya. Ku colek lengan Bang Ben, sambil berkata.
"Tumben malam begini, abang iparmu datang bertamu, sendirian lagi?" bisikku..
"Mana ku tau," balasnya.
Setelah membukakan pintu, ku persilakan Bang ipar ini masuk. Ia mengekor di belakang kami. Kemudian duduk di ruang tamu, sambil sesekali menyeka keringat.
Heran deh, kok malam begini berkeringat, seperti habis lari-larian, pikirku. Bang Ben duduk di sebelahnya sambil memegangi perut. Aku langsung khawatir melihat Bang Ben, lalu bertanya.
"Perut kamu sakit lagi?"
"Gak kok, cuma kekenyangan aja."
"Oh, kirain kumat lagi perih nya," jawabku sambil menghela nafas.
Melihat wajah ipar yang kusut ini, aku merasa ada sesuatu yang tak beres, terhadapnya. Aku pamit untuk ke dapur membuatkan teh hangat. Sepertinya ia sedang di landa cemas yang berlebihan, hingga bajunya basah kena keringat. Setelah meletakkan teh hangat, aku pamit ke dapur lagi.
Langsung saja aku dan Sinta membawa kedua adiknya ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh mereka.
"Sinta ... Gantikan baju Raka, ya! Setelah itu basuh muka dan kakinya, tadi sudah main sampai berkeringat!"
"Kalau Nina, biar Ibu, yang menggantikan bajunya," ucapku.
"Sini, dik, ikut kakak!" ajak Sinta.
"Bu, kapan-kapan kita main, ke tempat itu lagi, ya!" pinta Raka.
"Iya, Sayang," jawabku sambil mencubit hidungnya.
Selesai menggantikan baju adiknya, Sinta mendekat, lalu berbisik di telingaku.
"Bu, Uwak ke sini, pasti bawa masalah," tuduh Sinta.
"Hmm ... biasanya sih begitu," ucapku.
"Kelihatan tuh, sudah jauh malam datang bertamu," Sinta mulai sewot.
"Udah biarin aja, ayah yang ngurus Uwak itu. Kita hanya sebagai pendengar budiman. Ibu saja malas ikut campur urusan orang. Gak sempat lah, sibuk setiap hari ngurusin dagang online di medsos," ucapku panjang lebar.
"Setujuuuu, Buuu." Sinta menempelkan tapak tangannya ke tapak tanganku.
"Yuk, berwuduk dulu! Lanjut salat Isya,"
ajakku.
******
Setelah membersihkan diri dan berganti baju, aku langsung berwuduk, untuk menunaikan salat Isya. Sedangkan anak-anak sudah masuk ke kamarnya dan langsung tidur. Tak lama terdengar suara sepeda motor di masukkan ke dalam rumah. Apa ipar itu menginap di sini, pikirku. Karena sepeda motor Bang Ben tadi tak di pakai, karena tak muat lagi untuk berboncengan, sebab anak-anak sudah besar.
Aku turun dari ranjang, lalu mengintip dari balik gorden pintu, ternyata mereka sudah duduk di ruang tamu. Tak lama Bang Ben beranjak dari duduknya, hendak ke kamar. Cepat-cepat aku naik lagi ke atas ranjang. Meraih hape yang masih tersimpan di dalam tas di atas meja. Bang Ben masuk sambil berkata.
"Nay ... ada selimut dan bantal?" tanyanya.
Aku mengerutkan dahi, lalu Bang Ben duduk di samping tempat tidur, sambil menjelaskan.
"Iparku itu ingin menginap di sini."
"Tumben, mau nginap di rumah kita? Tak ada ac nya ini, entar di gigit nyamuk, lo," ucapku.
"Habisnya ia maksa, karena lokasi rumah kita, lumayan jauh dari keramaian. Cocok untuknya yang butuh tempat sementara," jelas Bang Ben.
"Sebentar ya, mana bantal dan selimut? Biar ku berikan padanya."
"Mana ada selimut tebal seperti di rumahnya yang ber ac itu. Kita saja kalau tidur pakai obat nyamuk dan kipas angin, untuk mengusir panas dan nyamuk."
"Ini yang ada, bantal dan kain sarung.'
"Ya, sudah, Abang keluar dulu, untuk memberikan ini."
Ku lihat ipar itu, tidur di ruang tivi, beralaskan tikar. Tumben orang kaya mau nginap di sini, kalau tak terpaksa, pikirku.
******
Sambil duduk di samping ranjang, ku raih hape dan membukanya. Ada beberapa chat masuk dan panggilan tak terjawab dari kakak iparku. Langsung saja ku buka chatnya.
["Nay ... biarin suami kakak, nginap malam ini, di rumah kalian, ya."]
["Dia lagi ada masalah serius."]
["Jangan cerita ke siapapun, kalau ia ada ada di sana."]
["Besok pagi, kakak ke rumah kalian!"]
Aku tertegun membaca isi chatnya, tak ku balas, lebih baik ku tunggu saja, Kakak Bang Ben datang ke sini. Tak lama Bang Ben masuk ke kamar, sambil membawa segelas air putih hangat.
"Sebentar Bang, aku hangatkan ramuan obatmu dulu, sampai lupa nih," ucapku sambil menepuk jidat.
Aku langsung beranjak menuju dapur, lalu menghangatkan ramuan yang sudah berada di atas kompor. Lima menit kemudian, ramuan langsung ku seduh ke dalam gelas. Ketika melewati ruang tivi, ku lihat abang ipar sedang teleponan, sambil setengah berbisik. Kemudian aku berlalu menuju kamar.
"Ini ramuannya, dingin kan dulu!"
"Sambil menunggu dingin, Abang salat dulu, ya!" ucapnya, sambil meraih sajadah di belakang pintu kamar.
Hmm ... aku senang, melihat perubahan sifat Bang Ben. Semoga saja ia bisa berubah lebih baik lagi dan menyadari semua kesalahannya, doaku di hati. Memang Allah cepat membuka hatinya, melalui kekuatan doa. Sambil menunggu ia selesai salat, aku berselancar di aplikasi berwarna biru.
Tak lama Bang Ben pun selesai salat, sambil membaca bismillah, ia langsung meminum ramuan tadi. Kemarin perutnya mengeras, karena gembung. Serba salah rasanya, meringis terus kesakitan. Sekarang sudah ada perubahan, tak mengeluh sakit lagi.
"Bagaimana rasanya, setelah dua hari minum ramuan itu, Bang?" tanyaku.
"Perut terasa hangat, perihnya terasa hanya sesekali saja. Tiap sebentar, pasti buang angin terus," jelasnya.
"Waduh ... bentar lagi, buang angin, dong?" aku langsung menutup hidung.
Pretttt ... preettttt ...
"Akhirnya keluar jugaaa." Bang Ben tersenyum puasss.
"Hmm ... dasar perut gentong." Ku cubit ujung perutnya. Ia mengaduh kegelian.
"Oh, ya, tadi kakakmu chat ke aku." Ku tunjukan isi chatnya.
"Sepertinya iparmu itu kerjanya buat masalah, buat susah istri aja, ya," sindirku.
"Enggak malu sama anak. Sudah tua bukannya berubah, malah makin menjadi kelakuannya," sahut Bang Ben kesal.
Bersambung ....