Bab 24.
Setelah mendengar diagnosa Dokter, kami pun pikir-pikir dulu. Inginnya sih minum obat dulu, mendengar kata operasi saja, kami sudah takut dan khawatir.
"Ya-sudah, Dokter, kami rundingkan lebih dulu dengan keluarga di rumah. Hendak berobat ke rumah sakit atau berobat alternatif," ucapku.
Karena ku lihat, wajah Bang Ben berubah pucat, saat Dokter menyebutkan penyakitnya. Apalagi kalau harus di operasi. Pastilah ia semakin ketakutan. Setelah membayar obat di klinik tersebut, kami pun segera pamit pulang, dengan membawa surat rujukan dari Dokter.Melihat tingkah Bang Ben di klinik tadi, aku tersenyum geli sendiri. Hanya periksa dan suntik saja, tapi wajahnya langsung pucat pasi, tangannya dingin dan berkeringat. Padahal tak di apa-apa kan, heran deh. Pasien yang sedang duduk mengantri pun ikut tersenyum. Merasa di perhatikan, Bang Ben berpindah duduk keluar ruang klinik. Lucu juga, hee ... hee
Setelah pulang dari klinik, terlebih mendengar kata dokter tadi, Bang Ben merasa cemas dan ketakutan. Untuk memastikan sakit apa sebenarnya, aku berinisiatif untuk membawa Bang Ben ke rumah sakit besar. Akan tetapi Bang Ben bersikeras untuk berobat alternatif saja. Ia mengira sakit perutnya ini hanya masuk angin dan telat makan saja. Ku berikan air hangat dan obat yang di berikan dokter tadi, untuk di minumnya. Agar berkurang perih dan sakit perutnya.
"Nay ... aku takut berurusan dengan rumah sakit itu, pasti diagnosanya penyakit yang berat, terus dikit-dikit harus operasi lagi," protesnya.
"Ya, terserah aja, yang ngerasain sakit kan kamu," jawabku.
"Aku mau minum obat ramuan yang di rebus gitu, biarlah pahit, asal tak berurusan dengan jarum suntik."
"Besok temenin aku ke tempat alternatif itu, ya!" Pinta Bang Ben.
"Emangnya besok, Abang tak buka bengkel?"
"Kita pergi berobat dulu, setelah itu kalau nyeri di perut ini mereda, Abang akan buka bengkel seperti biasa," jawabnya.
Aku bertanya seperti itu, karena ku lihat setelah pulang dari klinik tadi, perih di lambungnya mulai berkurang. Ia tak meringis lagi. Apalagi setelah meminum obat dokter. Ia langsung bisa buang angin.
Syukurlah, Bang Ben lumayan tenang, tak keringat dingin lagi.
Setelah Bang Ben istirahat di kamar, aku menuju dapur untuk mencuci pakaian, lalu memasak untuk makan siang. Sedangkan anak-anak asik bermain di ruang tivi. Waktu libur mereka tinggal tiga hari lagi. Padahal Bang Ben sudah janji akan mengajak liburan terakhir sebelum tiba masuk sekolah. Kondisi Bang Ben saja, tak memungkinkan untuk bepergian jauh. Nanti lah ku bicarakan dengan mereka, sisa liburannya di buat asik saja, meskipun hanya di rumah.
Sedang memasak di dapur,terdengar suara erangan dari arah kamar. Gegas ku lihat dari celah pintu, ternyata Bang Ben memegangi perutnya sambil meringis. Ia meraih obat yang terletak di atas meja. Sepertinya ia kualat, di berikan sakit oleh Allah, agar bisa mengurangi dosa yang telah di perbuatnya.
******
Keesokan harinya, setelah selesai tugas di dapur, aku dan Bang Ben pergi berobat ke tempat alternatif. Di sana banyak pasien yang mengalami penyakit dalam, rata-rata mereka takut berurusan dengan jarum suntik dan operasi. Di sini yang mengobati seorang Sinse keturunan tionghoa. Sudah banyak pasien yang sembuh berobat dengannya. Namanya Sinse Ahong, sangat terkenal di kotaku. Selain bisa mengobati pasien, ia juga bisa membaca sifat atau karakter pasiennya. Semacam psikologlah.
Bang Ben dapat antrian nomor dekat, karena kami datangnya pagi. Jadi bisa lebih leluasa untuk berkonsultasi. Sinse itu meraba perut Bang Ben, ia bilang ada angin bersarang di dalam perutnya. Sangat berbahaya, tak bisa di anggap sepele. Ia menyarankan tak boleh mandi malam. Kalau pun terpaksa harus mandi dengan air hangat. Ia juga menyarankan terapi rutin dengan minum air putih satu liter, setiap pagi setelah bangun tidur.
Sambil konsultasi, Sinse ini juga membaca sifat atau karakter pasien. Banyak nasihat yang di berikannya untuk Bang Ben. "Penyakit itu datang, bila seseorang banyak pikiran atau punya masalah. Pola makan harus di jaga serta terapkan juga pola hidup sehat." ucapnya sambil meracik ramuan untuk Bang Ben. Sepertinya nasihat Sinse ini mensugesti di dalam pikiran Bang Ben. Rasa khawatir yang berlebihan, sudah tak terlihat lagi di wajahnya.
Sinse memberikan beberapa bungkus rempah. Caranya di rebus dahulu, setelah itu di minum, serta rempah yang mengandung minyak untuk di balurkan ke perut Bang Ben. Lalu kami membayar obat tersebut dengan harga yang sudah di sepakati. Aku sedikit lega, ternyata sakit perutnya bisa di obati dengan cara ini. Karena aku juga yang repot, bila terjadi sesuatu hal dengannya.
Biasanya kalau terasa masuk angin sedikit saja, Bang Ben selalu mengambil satu siung bawang putih di dalam kulkas. Kemudian bawang putih itu di gepreknya hingga sedikit halus menggunakan sendok, lalu menelannya sambil minum air hangat. Tetapi kali ini tak mempan, ia malah semakin-muntah.
Aku bingung setengah mati, langsung ku oleskan minyak angin ke perutnya. Baru teringat ketika adikku Ivan masuk angin, ia pernah berobat kampung, istilahnya begitu. Tapi aku bingung lebih baik konsultasi kemana ini, ke dokter atau ke tempat alternatif? Atas saran dari seorang temanku yang punya riwayat sakit lambung dan hampir operasi, ia mengirimkan lewat chat, alamat seorang Sinse yang terkenal di kota kami.
Akhirnya keesokan harinya, dengan mengendarai sepeda motor, kami pun pergi mencari alamat Sinse tersebut. Tempat prakteknya masuk ke daerah perkampungan. Setelah tanya sana-sini dengan warga sekitar, alamat itu pun ketemu. Kami pun bisa bernafas lega.
******
Sesampainya di rumah, ramuan itu langsung ku rebus lalu di simpan di dalam wadah teko. Agar gampang di hangatkan dan di seduh bila ingin meminumnya. Rasanya sangat pahit, bila di cium terasa aroma jamu menyeruak dari rempah ini. Setelah meminum rempah tersebut dan mengoleskan minyak di perutnya, Bang Ben langsung beristirahat. Sudah dua hari, Bang Ben tak bekerja. Semoga saja, besok sudah mulai baikan sakitnya, doaku.
Anak-anak mulai bingung, kok sudah dua hari ini, ayahnya bolak-balik pergi berobat. Sinta berbisik di telingaku.
"Bu, sebenarnya Ayah sakit apa, ya?"
"Hmm ... Ayahmu masuk angin, perutnya kram karena angin bersarang di perutnya, Jadi susah buang angin, keluarnya diare terus," jelasku.
"Kenapa gak di suntik aja sih, Bu?"
"Ia paling takut dengan jarum suntik," jawabku.
"Tampangnya sangar, tapi sama jarum suntik kok takut," protesnya.
"Sinta kasihan dengan Ibu, sudah dua hari repot di buat Ayah, karena sakitnya."
"Habisnya siapa lagi yang mau urus ayahmu, kalau bukan Ibu."
"Iya, sih Bu. Tapi Ayah itu sering kasar, kemarin Ibu sampai menangis di buatnya," protes Sinta.
"Sayang, sini dekat Ibu!"
"Allah sudah menegurnya, ia di beri sakit yang tak tertahankan. Membuat ia menangis karena sakit itu," ucapku lirih di telinga Sinta.
"Kita pergi selama seminggu, itu sudah menyiksa hatinya. Sebelumnya ia tak pernah berpisah dari istri dan anaknya. Saat itu lah ia berpikir, tak sanggup hidup tanpa kita." Sinta termenung mendengar nasihatku.
Bersambung ....