Keesokan harinya aku terbangun karena Bang Ben mengguncang tubuhku. Ia heran, kok aku tidur selubungan memakai selimut, biasanya paling gerah. Tubuhku terasa berat sekali di gerakkan. Ia melihat gelagatku, seperti ada sesuatu yang tak beres, yang ingin ku ceritakan. Aku minta di temani ke kamar mandi. Walaupun telah Subuh, tapi aku masih merasa takut, teringat kejadian tadi malam.
Orang di rumah pun, baru Bapak dan kami yang bangun. Itu pun Bapak sudah pergi ke Masjid, untuk sholat berjamaah. Ku pegang tangan Bang Ben, menuju kamar mandi. Ia tau lampu kamar mandi itu mati, dan pintunya ternyata belum terpasang. Hanya di tutup dengan selembar seng saja. Kami bergantian masuk ke kamar mandi untuk mengambil air wuduk, lalu salat Subuh di rumah saja.
Setelah selesai salat Subuh, ku ajak Bang Ben masuk ke kamar tamu, lalu bercerita
tentang kejadian tengah malam tadi. Ia heran mendengar ceritaku, karena tak mendengar suara sama sekali. Jelaslah tak dengar, mereka tidurnya nyenyak sekali. Lagi pula anak bayi kan ada di kamar sebelah, kenapa suaranya ada di luar. Bang Ben bingung mendengar ceritaku.
Lalu ku ajak ke dapur, sepertinya di samping dapur itu ada kuburan keluarga Bapak. Pantas lah tadi malam mencekam sekali. Kami kan tamu, sepertinya penghuni sebelah itu ingin berkenalan dengan kami. Hiii ... aku bergidik ngeriii membayangkannya.
Sepulangnya Bapak dari Masjid, kami sudah duduk di ruang tamu. Rasanya ingin segera bercerita dan bertanya tentang ke anehan tadi malam. Tapi ku urungkan niat tersebut. Takut Bapak tersinggung. Bang Ben mengalihkan konsentrasiku dengan bercerita tentang rencana pergi berlibur itu.
Dasarnya aku orangnya kepo, ingin tahu sesuatu hal. Langsung saja ku ceritakan pada Bapak kejadian aneh itu. Bapak menarik nafas dalam-dalam. Lalu mulai bercerita. Ada cucunya umur setahun, sedang lasak-lasaknya. Ia bermain di sekitar dapur, tanpa sepengetahuan ibunya ia masuk ke kamar mandi lalu jatuh ke sumur. Begitu tersadar tak melihat anaknya tadi, semua orang pun mencari keberadaanya.
Dan akhirnya anak itu di temukan sudah mengapung di dalam sumur. Kadang suara rengekan atau tangisan sering terdengar bila ada tamu datang ke rumah. Apalagi membawa anak seumuran Raka dan Nina. Mungkin ia ingin berkenalan, mengajak main bersama, antara percaya atau tidak begitulah kesimpulannya.
******
Setelah dua hari menginap di kota tempat tinggal Bapak. Suamiku minta izin untuk pulang lebih dulu. Alasannya suntuk karena tak ada kegiatan di sini. Aku mengizinkan dia pulang, lagi pula niatnya kan hanya mengantar saja. Libur sekolah pun masih panjang. Kalau Bapak, terserah pada keputusan kami berdua saja. Beliau tak ingin mencampuri terlalu jauh urusan rumah tanggaku.
Setelah menempuh enam jam perjalanan. Suamiku pun sampai di rumah, ia langsung menelfonku. Ia merasa kan hampa, dan kehilangan. Saat membuka pintu, tak ada orang di rumah. Biasanya anak-anak selalu menyambut kedatangan, saat pulang bekerja. Terasa sunyi, belum pernah sekali pun terpisah dengan anak dan istri. Biasanya kemana pun pergi, selalu bersama. Selalu itu saja yang di ucapkan nya padaku.
Keesokan harinya, suamiku membuka bengkel seperti biasanya. Karena sudah kelamaan tutup, pelanggan pun masih sedikit yang mampir. Sementara bengkel di sebrang nya tampak mulai ramai. Sepertinya ada beberapa langganan yang berpindah ke sana. Itu lah resikonya, kalau punya saingan, tempatnya saling berdekatan. Sabar saja lah, rezeki sudah di atur Tuhan, tak akan tertukar juga. Itu yang di ucapkan Bang Ben setiap menelfonku.
Setiap malam sebelum tidur, ia selalu vidio call, ingin lihat langsung aku dan anak-anaknya. Ia bekerja tak bisa fokus, karena jauh dariku. Dalam hati ini berkata, biar Bang Ben merasakan sakitnya kehilangan, walaupun sementara. Kalau terpisah begini, bisa saling merenung atas semua yang telah terjadi. Menyadari semua kesalahan yang sudah di perbuatnya.
******
Suatu pagi, Bapak bertanya karena melihat wajahku yang murung setelah kepulangan Bang Ben.
"Kalau boleh tau, ada masalah apa yang membuat kamu dan anak-anak sampai liburan ke sini. Biasanya kamu paling males mengunjungi Bapak?" selidiknya.
"Maaf kan Nayla, Pak! Nayla lagi ingin aja liburan ke sini, dekat dengan Bapak," ucapku sambil menundukkan wajah.
"Saran Bapak, kalau ada masalah apa pun di antara kalian. Bicarakan baik-baik dengan hati tenang. Anak kalian sudah besar-besar. Mereka butuh kasih sayang dari kedua orangtuanya." Bapak menghela nafas sejenak, lalu melanjutkan bicaranya.
"Jangan seperti Bapak dulu, tak bisa menjadi contoh orangtua yang baik. Makanya ibumu lebih milih berpisah daripada bertahan. Kalian dari kecil tak pernah merasakan kasih sayang dari Bapak. Bapak merasa sangat berdosa sekali. Dulu Bapak jarang sekali memberi nafkah untuk kalian. Makanya ibumu lebih memilih bercerai. Bapak banyak utang nafkah pada kalian semua. Bapak mohon, kalian mau memaafkan kesalahan Bapak."
Bapak menggenggam tanganku, sambil menitikkan air mata. Aku terdiam mencerna semua ucapannya. Aku sudah dengar semua cerita ini dari Ibu. Andai Bapak bertanggungjawab terhadap kami. Pastilah Ibu bertahan walau hidup pas-pasan. Tetapi kenyataannya sangat berbeda. Puncaknya saat adikku yang paling kecil lahir, Bapak membuat ulah hingga tak pernah lagi pulang ke rumah.
"Sudah lah, Pak! Semua sudah terjadi, tak ada gunanya di sesali lagi," ucapku lirih.
Aku jadi teringat kembali, saat perpisahan itu terjadi. Begitu Ibu bercerai dari Bapak. Kakek begitu terpukul atas perceraian itu. Bayangkan saja, Ibu menyandang status janda beranak tiga. Tak punya penghasilan untuk membiayai hidup. Selama ini Kakek yang membantu semua biaya keluarga kami. Kakek membuka usaha toko obat di rumah. Satu-satunya toko yang ada di kota kami. Setiap hari pembeli datang dari pelosok kampung untuk membeli obat. Ibu ikut membantu Kakek berjualan.
Sedangkan Bapak bekerja serabutan. Kadang di panggil sebagai tukang bangunan, kadang ikut berjualan di toko kami. Kakek awalnya sangat percaya dengan Bapak, beliau menyerahkan toko untuk di kelola secara bersama. Tapi semuanya tak sesuai harapan. Bapak diam-diam menikah lagi dengan wanita lain. Uang hasil berjualan di toko, ia bawa lari ke kampungnya.
Sudah bisa di bayangkan, bagaimana terpukulnya perasaan Ibu dan kakekku. Saat itu ibuku sedang hamil anak kedua. Setiap ibuku hamil, pasti Bapak membuat ulah, entah mungkin ia tak leluasa untuk menggauli ibu, hingga mencari pelampiasan di luar rumah.
Apa semua yang ku alami ini, karma dari Bapak. Sempat terlintas pertanyaan itu di pikiran. Makanya sengaja aku pulang ke rumah Bapak, ingin mengadukan semua yang terjadi dalam rumah tangga ini. Akan tetapi sesampainya di sini, tak jadi ku utarakan, semuanya ku pendam sendiri. Baru ketahuan berselingkuh saja, hati ini sangat terluka. Bagaimana kalau sampai ketahuan menikah dan punya anak. Aku tak sanggup membayangkannya.
Bersambung ....