Chereads / The wound in my heart / Chapter 18 - Butuh bukti bukan janji

Chapter 18 - Butuh bukti bukan janji

Bab 18.

Sejak suamiku pulang lebih dulu, siang malam ia menelfon dan video call terus. Ia ingin tahu apa saja yang ku lakukan di sini. "Makan tak enak, tidur tak nyenyak," ucapnya, karena sendirian tak ada kami di sana. Bapak tersenyum mendengar ucapan Bang Ben di vidio call.

"Nay ... setelah libur sekolah selesai, pulang lah! Perbaiki lagi hubungan kalian. Suamimu itu penyayang dan bertanggung jawab terhadap keluarga. Sikapnya jauh lebih baik dari Bapakmu ini.

Aku diam termenung, mencerna semua ucapan Bapak. Karena bukan rumah sendiri, terasa jenuh juga. Sedangkan kalau di rumah sendiri, banyak yang bisa ku kerjakan. Bisnis online ku jadi terbengkalai. Banyak pelanggan yang bertanya, tentang produk kosmetik terbaru.

Baru seminggu liburan di rumah Bapak. Bang Ben datang untuk menjemput kami. Tak tenang hatinya bekerja, selalu gelisah memikirkan aku dan anak-anak. Tanpa menelfon, ia sudah sampai di depan rumah Bapak. Sebelum pulang ke rumah, ia mengajak kami berjalan-jalan sepuasnya. Bapak tersenyum dan menggelengkan kepala, melihat sikap suamiku. "Kalau sayang keluarga, pasti merasakan kehilangan saat tak bersama," ucapnya.

Setelah puas berjalan-jalan, keesokan harinya, kami pun mohon izin ke Bapak untuk pulang.

"Loh, katanya ingin tinggal bersama Kakeknya, baru seminggu, kok sudah pulang, sih?" ledek Bapak, sambil melirik ke arahku dan Bang Ben.

"Iya Kek, gak jadi, kami ingin menghabiskan sisa liburan di rumah, sambil jalan-jalan lagi di sana," jawab Sinta sambil tersenyum ke arahku.

"Ya-sudah, kalau ada umur dan rezeki, kami datang lagi untuk menjenguk Bapak. Kita bisa juga saling bertukar kabar lewat telfon dan vidio call," ucapku.

"Bapak jaga kesehatannya ya, jangan banyak pikiran. Biar kita bisa jumpa lagi," pesan Bang Ben.

"Kalian baik-baik di sana ya, selesaikan masalah dengan hati tenang. Jangan mengambil keputusan saat marah. Tak baik hasilnya. "Itu pesan Bapak sebelum kami pulang.

"Sunyi lagi dong, rumah Kakek. Gak ada suara tangis Nina dan teriakan nakal dari Raka, yang suka bertengkar karena rebutan mainan." Kami pun tertawa mendengar ucapan ibu tiriku.

*******

Baru seminggu di sini, rasanya seperti sudah lama. Semua saling menyayangi. Ibu dan saudara tiriku langsung akrab. Sebutan ibu tiri yang jahat itu tak selamanya benar. Aku sangat beruntung mempunyai keluarga baru seperti mereka. Tak lama, mobil travel tiba di depan rumah Bapak, untuk menjemput kami. Sambil menitikkan air mata, Bapak memelukku dengan erat. Ku balas dengan mencium tangannya. Kami pun saling berpamitan pada keluarga Bapak. Suasana sangat mengharukan, saat kami naik ke mobil sambil melambaikan tangan. Setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan. 

Mobil yang kami tumpangi mengalami kendala. perjalanan tertunda dua jam. Mobil mengalami pecah ban. Kondisi ban mobil yang sudah tipis, melewati jalan licin berbatu, semakin memperburuk keadaan. Aku dan anak-anak terbangun, mendengar suara supir dan penumpang saling menyalahkan. Bang Ben berada di antara mereka. Supir menelfon seseorang di hapenya. Sepertinya ia meminta bantuan pada sesama supit

Di pinggir hutan terpencil, penumpang tak berani turun. Semua yang berada di mobil berharap cemas, dua jam lebih kami menunggu. Tadi pagi ban serapnya tertinggal di terminal tempat kami naik. Tak ada yang bisa di lakukan selain berdoa. Selang dua jam, mobil rute berikutnya pun lewat.

Untungnya Ia mempunyai ban serap. Setelah di pasang, mobil pun bisa jalan kembali, seluruh penumpang berucap syukur. Mengingat kondisi hutan yang sangat gelap, semua orang bergidik ngeri. Akhirnya perjalanan bisa dilanjutkan kembali. Alhamdulillah ... jam delapan malam sudah sampai di rumah dengan selamat.

Semua barang bawaan, langsung saja ku bawa ke dapur, besok pagi baru di bereskan. Kamar sedikit berantakan, dan berdebu. Segera ku bersihkan, maklum lah sudah di tinggal seminggu. Anak-anak tanpa di suruh, sudah pandai berganti pakaian. Kamar mereka sudah bersih, tinggal tidur dan beristirahat saja. Sekarang giliran aku yang membersihkan diri. Bang Ben sedang di dapur, sepertinya ia lapar, ada sisa mi instan di dalam kulkas.

"Nay ... Abang masakin mi goreng ya, sekalian untuk anak-anak juga! Seru nya dari dapur.

"Sejak kapan abang, bisa masak? Biasanya  buat teh aja selalu gagal. Harusnya di seduh pakai air panas, eeh gak taunya di siram air dingin," ledekku.

"Hmm ... sejak di tinggal kamu lah," sahut Bang Ben pelan.

"Ya, sudah, panggil anak-anak! Mi nya sudah matang ini."

"Iya, sebentar, akan ku panggil mereka."

********

Ternyata hanya Sinta yang belum tidur, ia sedang bermain hape. Langsung saja ku ajak makan. Kasihan bocil yg dua itu mereka lebih dahulu tertidur, karena kelelahan. Ku tutupi tubuh mereka dengan selimut. Biasanya Sinta paling malas semeja dengan ayahnya, karena kurang dekat. Aku dan Sinta sering di kasari oleh Bang Ben, membuat ia tak simpati lagi.

Sebagai orangtua aku selalu menasihati Sinta agar tak membenci ayahnya. Tapi Bang Ben selalu menunjukan perangai buruknya di depan anak-anak. Membuat ketiga anakku punya watak yang keras kepala. Susah mengalah kalau sedang bertengkar dengan adiknya. Seiring berjalannya waktu, umur Sinta pun bertambah, cara berpikirnya pun mulai berubah. Memang harus banyak sabar mendidik anak-anak ini

Selesai makan malam, Sinta izin untuk masuk ke kamar. Ia merasa matanya begitu berat menahan kantuk. Pastilah lelah, karena perjalanan tadi waktunya nambah karena mobil yang pecah ban.

"Begitu kenyang, mata pun kok jadi mengantuk, ya Bu," tanyanya. 

"Ha-haa ... tadi Ayah masak mi, di kasi obat tidur lo," ledek Bang Ben.

"Ya sudah, tidur lah," ucapku.

Setelah Sinta masuk ke kamar. Aku pun beranjak ke dapur untuk membereskan piring kotor sisa makanan, lalu mencucinya di westafel cuci piring. Sudah bersih semuanya, aku lanjut masuk ke kamar mandi untuk mengambil air wuduk, lalu menunaikan salat Isya. Bang Ben mengekor di belakangku. Tapi ia langsung masuk ke kamar. Setelah selesai salat, aku langsung rebahan di atas ranjang. Rasanya sangat lelah sekali.

Bang Ben belum tidur, terlihat ia sedang memainkan hapenya. Begitu melihatku, hape langsung di matikannya. Selesai salat, ku buka tas pakaian, baju yang masih rapi bekas ku setrika di rumah Bapak, aku susun kembali ke dalam lemari. Syukurlah tak banyak lagi pakaian kotor di dapur. Hanya yang kami pakai tadi saja.

Aku pun naik ke atas ranjang, tubuh terasa lelah sekali, ingin langsung tidur tanpa ada ganguan apapun. Tak lama Bang Ben mendekat ke arahku, sambil duduk di tepi ranjang ia berucap.

"Nay ... jangan merajuk lagi ya," ucapnya sambil meraih tanganku.

"Mungkin kamu sudah bosan, mendengar permintaan maaf ini. Aku janji, gak akan membuat mu menangis lagi. Aku gak sanggup, jauh dari kalian. Hampir gila rasanya. Padahal kalian hanya pergi berlibur."

"Gak usah banyak janji. Buktikan saja semua ucapanmu. Kalau berbohong, abang sendiri yang kualat," ucapku sambil menarik selimut.

Bersambung ....