Cinta dan sebuah kepercayaan
.
.
.
Kediaman keluarga Decode gempar. Sosok yang selama ini menghilang tanpa kabar mendadak hadir, tidak seorang diri melainkan bersama seorang anak kecil. Novalin Decode masuk dalam rumah mewah yang masih menjadi hak suaminya bersama Javier. Tentu saja pemandangan ini mengejutkan semua orang.
Tidak disangka setelah menghilang setahun, sosok yang menjadi istri sah Saga mendadak datang namun juga dibarengi seorang anak yang hampir mencapai sepuluh tahun. Tentu saja ini menarik. Karena siapa anak kecil itu. Apakah itu anak Saga Decode? Bila memang anaknya, mengapa sudah bertumbuh sebesar itu. Apakah selama ini Saga Decode memang melakukan suatu skandal dimasa lalu, seperti yang sudah-sudah dan menyembunyikannya rapat-rapat? Tetapi paras anak itu tidaklah semirip Saga. Bila dia memang putra dari wanita yang menjadi istri Saga, artinya selama ini Saga menikahi seorang janda. Bagaimana itu mungkin?
Novalin menyadari akan semua itu, karena itu dia berharap semoga Javier menurutinya kali ini. Dia berhak melindungi Javier dari siapapun termasuk keluarga besar Decode yang menatap kehadiran mereka dengan beragam ekspresi.
Sadam Decode tersenyum dan menyambut mereka diruang makan. Novalin tetap waspada, pesan Saga padanya terngiang kembali.
"Akhirnya kita ketemu lagi, Nov. Halo, Javier…" sapa Sadam pada kedua tamu pentingnya. Novalin mengangguk mendengar sapaan itu sementara Javier menatap sekilas ke arah ibunya.
"Itu bos Mom, Jav. Suaminya tante Mona." Bisik Novalin menjawab pertanyaan tak tersebut diwajah putranya. Javier mengangguk dan membalas sapaan Sadam.
"Jav, mau main sebentar dengan tante Mona tidak? Ada Arthur juga lho." Jelas Sadam melirik ke ruangan disebelah ruang makan. Lagi, Javier memandangi ibunya. Kali itu Novalin tidak lekas menjawab. Karena Novalin bergeming, membuat Javier tetap berdiri disebelah tubuh ibunya.
"Ayolah, Nov. Javier hanya akan bermain dengan putraku, biar bagaimana pun mereka adalah saudara sekarang." Sadam mengingatkan dengan santai. Novalin menghela napas saat Monalisa muncul membawa putra Sadam yang dimaksud dalam gendongannya.
"Eh ada kak Javier. Sapa kak Javier dulu Arthur," bisik Monalisa pada puteranya yang memiliki pipi gempal dan amat menggemaskan. Javier langsung tertarik saat Monalisa menghampirinya. Dia menatap ibunya sekali lagi dan pada akhirnya Novalin mengangguk. Javier langsung mendekat Monalisa dan memeluk perut wanita itu sebentar. Lalu dia menyapa Arthur yang berada dalam gendongan Monalisa.
"Kak Nov, aku pinjam Javier sebentar boleh ya?" tanya Monalisa sekali lagi dan Novalin mau tak mau mengangguk lagi. Sadam menatap semua itu dan tersenyum kecil. Selanjutnya dia mengajak Novalin menuju ruang kerjanya.
Novalin setuju dan langsung duduk ketika dipersilahkan. Sadam berdeham sebentar. "Dari yang kulihat, kau sepertinya menahan amarah Nov. Menurut Octa, kau sempat melakukannya ketika ditelepon. Perlu kau tahu, pagi ini aku sampai memutuskan tidak bekerja karena dengar kau dan kakakku akan kembali. Tahunya kau malah datang bersama Javier."
Novalin tersentak. Benar juga, dia sudah cukup mengacaukan hari itu. Sadam adalah pimpinan seluruh Decode Company. Bila ketidakhadiran lelaki itu di kantor, berarti satu hal. Entah mengapa Novalin sadar, apa yang dia lakukan. Mengapa dia mendadak berubah dalam sekejap hanya karena apa yang Saga jelaskan. Padahal dia adalah seorang yang sangat loyal terhadap pekerjaannya sendiri.
"Maafkan saya tuan, saya…"
"Sudahlah. Sekarang kau adalah kakak iparku, Nov. Jadi katakan padaku, apa yang sesungguhnya terjadi? Mengapa kalian mendadak ke kota dan informasi terakhir dari DS, kalian menuju rumah sakit. Benarkah itu semua?"
Novalin menghela napas panjang. Pada akhirnya dia menceritakan kronologis sakitnya Javier dan mereka terpaksa menuju ke kota untuk mendapatkan penanganan terhadap kesehatan putranya.
"Bukankah ada dokter di desa?"
Novalin mengangguk. "Tapi dokter sedang tidak ada saat itu. Makanya Saga memutuskan agar kita ke kota saja."
Sadam menunduk sebentar. "Maafkan aku, Nov. Harusnya aku menitipkan alat komunikasi padamu, saat itu. Agar tidak terjadi kejadian seperti ini."
Membahas tentang itu membuat wajah Novalin mendadak dingin. Dia terngiang lagi penjelasan Saga akan hal tersebut. "Tentu saja tuan sudah mempertimbangkannya. Tanpa alat komunikasi, berarti kami sudah tidak dibutuhkan lagi. Kalau pun terjadi sesuatu yang urgent terhadap kami, Decode tidak akan bertanggung jawab. Karena kabar itu pun takkan sampai ke Decode."
Sadam terdiam sejenak mendengar itu sebelum tersenyum. Bukan saja senyum, lelaki itu bahkan berusaha agar tidak tertawa. Dan Novalin menjadi semakin kesal. Dia yakin asumsi Saga selama ini tidak keliru.
"Anda tidak ingin membantah tuan?"
Sadam hanya menopang kepalanya dengan satu tangannya sebelum membalas tatapan kakak iparnya dengan tenang. "Sepertinya, pilihanku tidak keliru Nov. Kau pasti sangat mencintai Saga."
Entah mengapa wajah Novalin mendadak merona mendengar itu. "A-pa maksud tuan?"
Sadam kembali menegakkan bahunya. "Aku tidak memberi kalian akses komunikasi karena kau tinggal bersama Saga, Nov. Kau tahu kan seperti apa sifatnya. Posisi dia sementara hilang ingatan. Namun dari apa yang barusan kau katakan, bisa kusimpulkan kalau ingatan Saga sudah kembali. Dan dia membuatmu berpikir demikian tentangku atau Decode. Kalau ada alat komunikasi, maka setiap saat kau pasti akan menghubungi kami. Saga akan curiga. Bukan tidak mungkin dia malah bisa menyakiti kalian. Bukankah kalian tinggal bersama selama ini. Kau ingin Javier tahu, bagaimana sifat asli kakakku?"
Novalin terdiam lagi. Penjelasan Sadam membuat pikirannya kembali bercabang.
"Sudahlah aku tidak menyalahkanmu atas pemikiranmu. Hanya saja perlu kau tahu Nov. Aku tidak mungkin menyakiti kalian. Saga adalah keluargaku, ingat? Kau pun sama. Jangan biarkan pikiran sepele itu merusak ikatan diantara kita." Tandas Saga sekali lagi.
"Tapi Saga menghilang tuan. Saya sangat khawatir, tuan."
Sadam mengangguk. "Iya aku tahu, kali ini sepertinya mafia-mafia itu tidak main-main. Aku sudah menghubungi semua koneksiku untuk mendapatkannya kembali."
Novalin merasa hatinya sedikit lebih tenang dengan janji dari atasan, merangkap adik iparnya tersebut.
^
"Mom, Arthur punya banyak sekali mainan. Tante Mona izinin aku main semua itu juga." Cerita Javier dengan penuh keceriaan saat Novalin menghampirinya didalam kamar. Mereka sementara menempati bagian rumah milik Saga dulunya, selagi tim DS melakukan pencarian terhadap Saga. Javier bahkan melupakan fakta bahwa mereka tidak sedang bersama ayahnya.
"Terus apa lagi, sayang?"
"Tante Mona bilang, nanti buat Jav juga akan dibelikan yang sama, kalau Jav mau Mom. Boleh tidak Mom?"
"Tante Mona bilang begitu?"
Kepala Javier mengangguk lagi. "Iya Mom, tante Mona bilang kalau kita tinggal disini, nanti dibuatkan ruang bermain khusus buat Jav juga, Mom."
Novalin tertegun mendengar itu. Tawaran yang sangat menarik. "Jav, mau kita tinggal disini?"
Javier balas menatap ibunya dengan tidak percaya. "Memang boleh Mom?"
Novalin pura-pura menatap ke langit-langit kamar. "Tapi Jav punya teman-teman didesa. Jav sekolah disana. Jav mau pindah-pindah lagi?"
Javier mendadak terdiam. "Iya juga Mommy. Kalau pindah nanti Jav mengulangi semua lagi? Tidak enak Mom."
Novalin menahan senyumnya. "Jadi masih mau tinggal disini?"
Kepala Javier otomatis menggeleng. Melihat itu membuat Novalin tahu putranya tidak pernah berubah sedikit pun. Mungkin Saga benar. Putranya sangatlah baik dan penurut. Itu lebih berharga dibanding seluruh mainan atau kenyamanan apapun yang coba ditawarkan Decode pada mereka.
"Tenang saja, Jav. Nanti kalau dapat waktu libur, kita pasti akan mengunjungi rumah ini. Ini rumah Dad. Jadi Jav juga bebas main ke sini. Tapi, sekali lagi, pas libur saja ya."
Javier bersorak senang. Dia langsung memeluk tubuh ibunya. Novalin hanya mengacak rambut ikalnya. Keduanya lantas tertidur dalam kamar itu. Novalin sendiri engan menggunakan kamar pribadi Saga. Bukan tanpa alasan. Karena dia amat mengkhawatirkan lelaki itu sekarang. Bila dia harus menempati kamar lelaki itu, otomatis akan banyak kenangan bahkan aroma tubuh lelaki itu disana. Novalin pasti akan mudah sedih dan Javier akan ikut mencemaskan keberadaan lelaki itu. Biarlah masalah ini menjadi beban pikirannya. Putranya tidak perlu sampai merasakan hal yang sama. Mereka sudah mengalami banyak hal sebelumnya.
^
Entah berapa lama tubuhnya terikat, hanya saja Saga tahu sesuatu. Tuhan takkan berhenti menghukumnya. Bila dulu, dia masih tidak peduli akan semua itu maka sekarang bukanlah saat yang tepat. Saga tidak lagi seperti dulu. Dia punya prioritas dalam hidupnya.
Dia punya keluarga untuk dihidupinya. Dia punya orang-orang yang mencintainya dan sangat mendambakan kehadirannya. Dia mencintai istri dan putra tirinya. Saga menyesalkan keputusannya dalam mencari Novalin. Seharusnya dia tetap menunggu seperti biasa. Bukankah Novalin memiliki ilmu bela diri. Sudah pasti wanita itu bisa melindungi dirinya sendiri. Dia tidak perlu mengambil langkah dan membuatnya tertangkap seperti sekarang.
Saga tidak tahu dimana dia sekarang. Matanya ditutup dan kedua anggota gerak tubuhnya dalam kondisi terikat. Tubuhnya mulai lemas karena dia belum juga diberi makanan sama sekali. Dia pikir, sebentar lagi ajal akan menjemputnya. Semua dosa-dosanya mendadak menari-nari dalam benaknya. Namun dibanding semua itu, dia hanya teringat akan wajah istri dan putra tirinya. Semoga kedua orang itu dalam keadaan baik-baik saja. Mereka bisa selamat dan mendapat kehidupan layak.
Tidak seharusnya memang dia masuk dalam kehidupan mereka kalau pada akhirnya dia akan pergi dengan cara seperti ini. Seakan belum cukup, kehilangan yang harus mereka rasakan seperti yang terjadi pada suami Novalin sebelumnya. Nasibnya pun takkan jauh berbeda. Apa yang salah disini? Novalin dan Javier adalah dua orang baik.
Tidak semestinya mereka mendapat takdir yang seburuk miliknya.
"Mengapa dia tidak bergerak?"
Saga tetap mempertahankan posisinya mendengar suara yang mendekati tubuhnya. "Apakah dia sudah mati?"
"Mana kita tahu, dia cuma seperti itu sejak dibawa kesini."
"Hei… bangun, brengsek."
Saga tidak kunjung merespon sampai sebuah tendangan mengenai perutnya. Mau tak mau Saga mengerang dan mereka menertawainya. Tak berselang terdengar suara kunci dibuka dan langkah-langkah panjang terdengar.
"Sial, M kesini."
"Kita harus apakan dia?"
"Sudah diamkan saja. Jangan kita sentuh sebelum M memberi perintah. Atau kita yang mati."
Saga mendengar semua itu dan tetap diam. Dia tahu M yang mereka sebut sudah mendekat bahkan dari perubahan suasana dalam ruangan itu dia cukup yakin M sementara memandanginya yang terikat tak berdaya diatas lantai.
Sebuah penyesalan kecil merambah benak Saga. Andai, dulu dia tidak melakukan kerja sama dengan iblis seperti M maka semua pasti takkan seperti ini. Akar masalah mereka tentu saja ada pada adiknya. Andai, adiknya mau mengalah memberi kekuasaan Decode terhadapnya, maka semua ini tidak perlu terjadi. Saga tahu menyalahkan keadaan seperti sekarang amatlah bodoh. Dia cukup memikirkan cara lepas dari orang-orang ini.
"Nyawamu kebanyakan atau pelindungmu yang banyak, tuan Saga Decode?" suara M terdengar. Saga mencoba tersenyum mendengarnya.
"Tebaklah, M."
Begitu jawaban itu keluar dari mulutnya, perut dan kakinya ditendang lebih keras. Saga mengerang kesakitan karena tidak mampu melawan sama sekali.
"Aku benar-benar malas berurusan denganmu, tuan Saga. Karena hasilnya akan sama saja."
"Kalau begitu kenapa kau tak membebaskanku saja?" tawar Saga dan reaksi yang dia terima adalah keterkejutan beberapa orang didalam sana. Sepertinya mereka tidak mengira bahwa orang sepertinya akan meminta pembebasan dengan cara sesantai itu.
M mengabaikan omong kosong itu. "Kudengar, kau sudah menikah dan punya anak. Jadi sekarang, kau ingin segera bebas bukan?"
Saga tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya dia serius mendengar. Kali ini mustahil M akan melakukan kesepakatan dengannya lagi. Karena Saga pikir, M hanya akan memberi keputusan bukan lagi sebuah perjanjian kerja sama. Terakhir saat Saga menawarkannya berakhir dengan kecelakaan akibat kemarahan M. Saga tahu dimata M, semua rencana maupun kesepakatan mereka tidak pernah berujung dengan hasil baik.
"Begini saja, kalau nanti kau berhasil bebas kali ini, akan kupastikan dua hal tuan Saga. Pertama, tuan Sadam dan yang kedua, keluargamu. Aku rasa kau paham bukan cara kerjaku."
Saga menghela napas dalam hati. Tentu saja dia tahu. Pilihan pertama yang M tawarkan adalah adiknya. Target sejak lama diantara mereka, Saga jelas tidak peduli. Bahkan kalau mau menggantikan posisinya sekarang dengan Sadam, Saga akan sangat senang. Sadam adalah satu-satunya yang takkan dia tolong bila memang didunia ini hanya tersisa mereka. Berbeda dengan pilihan kedua. Saga tidak ingin mereka kenapa-napa.
Itu artinya bila Saga berhasil selamat maka dia tidak boleh bersentuhan lagi dengan keluarga kecilnya. Tanpa mengucap perpisahan pada mereka, menghilang seperti biasanya. Saga merasa itu pilihan yang amat menyakitkan. Bahkan memikirkannya saja langsung menyentak hati kecilnya.
"Tapi itu bila kau berhasil bebas dari sini, dengan caramu. Sudah aku tidak mau lama-lama disini. Kalian urus dia." Perintah M melangkah menjauhi ruangan. Sepeninggal itu, Saga kembali dihajar secara sembarang membuat tubuh Saga semakin lemas.
^
Octa membuka matanya yang mengantuk karena mendapat sebuah telepon. Dia lupa mematikan nada panggilan sehingga buru-buru turun dari ranjangnya. Dia tidak ingin suara itu mengganggu waktu istirahat suami dan anak-anaknya. Kamar anak-anaknya persis diseberang kamar mereka. Lagian subuh-subuh begini, siapa yang berani menghubunginya.
Nama seorang informan DS tertera membuat rasa kesal Octa sirna. "Halo, Lan, ada apa?"
"Maaf Bu jadi ganggu. Kami sudah melacak berdasarkan akvititas terakhir mafia yang pernah menahan tuan Saga. Ada aktivitas pada sebuah gudang semen dipinggiran kota. Pikirku, bisa saja itu menjadi tempat tuan Saga ditawan Bu."
"Kamu yakin Lan?"
"Iya Bu. Selanjutnya gimana bu?"
Octa menghela napas. "Tetap pantau saja. Aku akan menghubungi bos besar dulu. Pastikan datanya akurat Lan, atau kita dalam masalah."
"Baik Bu."
Menghubungi bos besar sekarang sama dengan perang dunia. Mau tak mau Octa kembali ke kamarnya. Memikirkan cara terbaik mengatasi masalah ini.