Chereads / LEGACY Series / Chapter 20 - KEPINGAN DUA PULUH

Chapter 20 - KEPINGAN DUA PULUH

Cara terbaik menguji ikatan adalah perpisahan

.

.

.

Novalin sadar semua pasang mata dalam meja makan meliriknya beberapa kali. Tetapi tidak ada yang berani secara terang-terangan mengatakan apapun. Disebelahnya Javier juga sedang makan dengan lahap. Masakan koki rumah mewah itu tidak boleh diragukan. Diujung meja duduk Sadam dan disisi kanannya ada Monalisa yang masih makan sambil ikut menyuapi putra mereka.

Javier menatap menu kacang merah yang dibuat amat menarik sebagai makanan kecil diatas meja makan. Dia melirik ke arah ibunya. Novalin menangkap pertanyaan itu dan mengangguk. Javier langsung mengambilnya pada piringnya namun seorang pelayan langsung menyediakan piring baru membuat Javier bingung.

"Makannya dipiring cemilan sayang. Nggak papa kok. Piring yang ini nanti dikasih ke pelayan saja ya."

Javier mengangguk lagi. Padahal dia pikir dia bisa membawa piringnya sendiri ke wadah pencucian. Kebiasaan dari rumah namun sepertinya hal itu berbeda dalam rumah besar itu. Sadam memerhatikan semua itu dari tempatnya duduk dan menatap ke arah Novalin.

"Putramu sepertinya tidak begitu paham, situasi dalam sini Nov."

"Iya tuan, maafkan dia."

Sadam menggeleng. "Tidak, justru aku tertarik dengan hal itu. Mengingatkanku ketika masih dipanti dulu, melakukan semua secara mandiri."

Monalisa langsung menyentuh lengan suaminya. "Ini masih pagi sayang."

Sadam mengangguk lagi. "Iya baiklah. Aku akan berangkat sekarang. Sampai nanti sayang." Pamit Sadam mengecup bibir Monalisa singkat dan mencium kepala Arthur. Lelaki itu tidak lupa berpamitan pada seisi meja juga. Novalin tersentuh dengan pemandangan itu. Dia jadi memikirkan nasib Saga. Namun selama Javier tidak menanyakan hal itu, maka Novalin pikir semua akan baik-baik saja.

"Udah kak Nov. Biarin pelayan saja." Kata Monalisa begitu seisi meja mulai kosong karena satu per satu anggota keluarga berpamitan menuju kantor mereka. Menyisahkan Monalisa yang masih cuek bermain dengan puteranya. Sementara Javier sudah beranjak menuju kamar bermain yang dikatakan Monalisa padanya kemarin.

Novalin tergerak untuk membantu membereskan karena dia pikir hanya dia yang tak memiliki kegiatan dalam rumah besar itu. Tangannya sudah membantu pelayan mengangkat piring sampai tangannya tanpa sengaja membawa piring berisi pasta yang belum sempat dihabiskan. Entah mengapa menatap makanan itu membuat isi perut Novalin mendadak bergolak. Wanita itu lantas meletakkan piring itu ditepi meja dan berlarian menuju ke kamar mandi dipojok ruangan dekat tangga.

Monalisa melihat itu segera memanggil pelayannya. "Emma, tolong bawa Arthur sebentar. Aku mau cek kak Novalin dulu." Perintah Mona dan pelayan yang disebutnya langsung melakukan tugasnya. Monalisa buru-buru menyusul ke toilet.

Novalin keluar dari bilik toilet dan terkejut karena Monalisa sudah menantinya. "Kakak kenapa?"

"Aku tidak apa-apa Mona." Jelas Novalin sambil mengusap keringat diwajahnya.

"Tapi kakak kelihatan pucat. Ada yang salah dengan makanannya?"

Novalin menggeleng lagi. "Makanannya tidak papa, kok. Aku hanya mual saja."

Monalisa berdeham. "Kakak tidak mau periksa dulu?"

Mendengar itu membuat Novalin menggaruk belakang kepalanya dengan salah tingkah. Entah mengapa dia tahu maksud adik iparnya itu. "Tidak perlu, Mona. Aku baik-baik saja."

Monalisa balik menggeleng. "Dengar kak, aku sudah dengar dari Sadam. Tapi sekali lagi, perlu kakak tahu, aku selalu ada buat kakak. Kalau kakak bilang kakak baik-baik saja, baiklah. Tapi kalau kakak butuh sesuatu jangan sungkan. Ingat aku sekarang adik kakak juga,"

Novalin mengangguk sambil tersenyum rasa bersalah. "Iya Mona."

"Oh iya, kakak temanin aku ya. Aku ada kegiatan hari ini. Mengenai kak Saga, tenang saja DS sepertinya sudah menemukan jejak kak Saga. Itu artinya, kakak tidak boleh hanya diam dirumah dan khawatir seharian. Kakak temanin aku ya." Putus Monalisa membuat Novalin akhirnya setuju. Sebelum berangkat Novalin berpamitan pada Javier dan putranya itu tidak keberatan. Sebaliknya dia mengatakan, dia akan menjaga Arthur selama Monalisa pergi. Tentu saja Monalisa sudah memercayakan orang-orang rumahnya untuk mengawasi keberadaan putra-putra pewaris Decode tersebut.

^

Saga menghitung dalam pikirannya. Sudah hampir tiga hari berlalu. Dan pada jam tertentu biasanya, orang-orang yang menahannya akan keluar untuk mengambil makanan mereka. Saga memperkirakan kapan saat yang tepat baginya untuk memanfaatkan celah tersebut. Walau tubuhnya semakin lemah, dia memang sempat dibekali sebungkus roti dan air mineral dalam kemasan kecil. Paling tidak itu membuatnya bertahan.

Saga merasa dirinya hampir seperti tahanan sesungguhnya. Disaat seperti inilah dia membutuhkan orang-orang seperti Pedro dan rekan-rekannya. Sayang keadaannya sangat tidak memungkinkan.

"Ayo sudah waktunya kita makan."

Tanpa sadar tubuh Saga bersiap. Meski ikatan di tangan dan kakinya cukup kuat namun Saga akan menggunakan cara lain untuk melepaskan diri dari dua orang yang menjaganya. Saga tahu, entah M sengaja atau tidak tetapi jumlah orang yang menjaganya berkurang dari sejak pertama dia diculik.

Awalnya mereka sangat banyak. Hampir mencapai enam orang namun yang tersisa sekarang adalah dua orang. Tentu saja Saga tidak sulit melumpuhkan mereka. Bunyi kunci terbuka membuat Saga mulai mengangkat badannya agar berdiri tanpa menimbulkan suara. Orang-orang yang menahannya sedang menuju pintu ruangan itu, Saga segera merangkak perlahan. Namun belum sempat melakukan apa-apa bunyi ledakan senjata diudara terdengar.

Saga otomatis menjatuhkan dirinya kembali ke tanah. Selanjutnya terdengar erangan dari orang-orang yang menahannya sementara penutup matanya terbuka. Orang-orang dalam pakaian hitam mendekatinya.

"Tuan, anda tidak apa-apa?"

Dahi Saga berkerut. "Kalian…"

"Kami dari Decode Security tuan. Ada polisi bersama dengan kami. Orang-orang yang menahan anda sudah berhasil kami lumpuhkan."

Saga tidak tahu harus bersyukur atau merutuk disaat bersamaan. Dia tetap diam ketika dibawa menuju kantor polisi. Sesudah dari sana, Saga meminta untuk menemui pimpinan DS secara terpisah. Saga pikir tidak ada cara lain untuk menjawab masalah ini. Bukannya dia tidak bersyukur karena akhirnya bisa selamat. Sekali lagi, dia tahu cara kerja M. Ada yang sosok itu rencanakan. Bisa saja penculikannya saat ini hanya sebuah jebakan. Karena bukan tidak mungkin, lokasinya bisa dengan amat cepat diketahui DS. M tidak sebodoh itu.

Pimpinan DS adalah seorang pengawal kakaknya dulu. Saga ingat betul fakta itu. Sekarang wanita itu yang menjadi pimpinan dari organisasi yang dikembangkan ayahnya sendiri. Sesuai permintaannya, mereka memilih bertemu disebuah restoran dan bukannya kantor DS.

"Bagaimana keadaan anda tuan?"

Saga berdecak. "Aku tidak butuh simpati kalian."

Octa langsung terdiam dan memilih mendengar. Sepertinya putra kedua keluarga Decode itu sedang tidak ingin berterima kasih atas usaha mereka. Tentu saja, dia tidak begitu ambil pusing. Memang resiko pekerjaannya sedari lama.

"Lantas ada yang ingin tuan sampaikan?"

Saga melipat kedua tangannya didepan dada. "Rahasiakan keberadaanku dari Novalin. Mulai saat ini, sampaikan padanya aku selesai dengannya. Kontrak pernikahan kami berakhir karena memang sudah setahun berlalu. Dia tidak memiliki ikatan apapun denganku dan aku tidak boleh dicarinya lagi."

Octa terpaku mendengar semua itu. Cara penyampaian Saga amatlah jelas namun tetap saja otak Octa masih tidak mampu mencerna semuanya sekaligus. Bila rumor bahwa Saga adalah orang terkejam, maka baru kali ini Octa menyaksikan sendiri. Dengan mata kepalanya. Saga tampak tenang diposisinya. Mengabaikan wajahnya yang masih babak belur dan penampilannya yang acak-acakan.

"Jangan tanyakan alasannya. Karena kalian tidak berhak untuk tahu. Lakukan saja itu untukku."

Octa memilin jemarinya sebentar. "Apa tidak sebaiknya anda mendiskusikan hal ini dengan bos besar?"

Kepala Saga menggeleng. "Aku tidak sebodoh itu, Octavia. Satu lagi, aku ingat masih ada simpanan terakhirku ketika setuju menikah tahun lalu dan aku yakin DS tahu tentang itu. Sekarang juga, aku akan mengambilnya dan pergi. Katakan pada Sadam, tidak perlu usaha lagi. Kali ini, dia menang. Aku tidak akan mengganggu siapapun lagi."

^

Perasaan Novalin masih tidak tenang. Berdasarkan informasi Mona tadi pagi, seharusnya sekarang dia sudah mendapat kabar terbaru mengenai keberadaan Saga. Atau paling tidak kondisinya. Bisa saja penculik itu meminta tebusan dan sebagainya. Tetapi karena tidak lagi berada dalam lingkup DS, mustahil Novalin memaksa untuk mencari tahu lebih jauh. Ucapan Sadam amatlah jelas. Paling tidak itu sudah mengurangi sedikit kecemasannya.

"Mom… mainannya banyak sekali. Ini untuk Jav?" Sambut Javier ketika Novalin bergegas masuk dari pintu utama, membawa mainan yang diborong oleh Monalisa.

"Iya sayang, jangan lupa bilang terima kasih pada tante Mona." Novalin mengingatkan ketika menyerahkan sebagian kantong belanjaan ke tangan Javier. Putranya itu menggangguk cepat dan langsung berlarian sepanjang sisi rumah menuju kamarnya di bangunan berbeda. Novalin menggeleng melihat keceriaan putranya. Anak-anak memang sangat mudah dialihkan perhatiannya.

"Kak, Javier suka tidak?" tanya Monalisa menyusul dari belakang setelah memastikan supir membawa masuk mobil ke garasi.

"Suka Mona. Nanti dia sendiri yang akan ucapin terima kasih."

Monalisa mengibaskan tangannya. "Tidak perlu sampai segitunya. Eh kak, aku ke Arthur dulu ya." Pamit Monalisa sambil menyerahkan barang-barang yang dibawanya kepada pelayan. Wanita itu beranjak menuju lantai dua, ke kamar puteranya. Biar bagaimana pun naluri seorang ibu tidaklah berubah.

Novalin juga menyusul Javier menuju kamarnya. Benar saja di dalam sana puteranya sedang asyik membuka satu demi satu mainan lego dari kemasannya. Novalin menghela napas panjang. "Jav, ingat tidak apa yang Mommy bilang tadi?"

Javier mengangkat kepala dari permainannya. "Ya Mom?"

"Javier belum terima kasih sama tante Mona."

Javier menepuk jidatnya pelan. "Oh iya Mom, Jav lupa. Tante Mona marah yah?"

Kepala Novalin otomatis menggeleng. "Tidak tahu, tapi ingat yang Mom ajarkan tidak?"

"Iya Mom. Aku akan menemui tante Mona sekarang." Kata Javier bergegas berdiri dari posisi duduknya. Dia berhenti sebentar lagi. "Tapi Mommy janji dulu, tidak boleh menyentuh mainan Jav ya."

Novalin memutar bola matanya. "Iya sayang. Sudah sana buruan sebelum tante Mona pergi lagi."

Javier mengangguk dan bergerak keluar kamar. Sepeninggal putranya, Novalin meraih sesuatu dari tas yang dipakainya. Tadi-tadinya dia dan Monalisa sempat mengunjungi pusat perbelanjaan. Ketika Monalisa sibuk memilihkan mainan untuk diberikan pada Javier sebagai hadiah, Novalin diam-diam membeli sebuah test pack. Meski dia mengatakan baik-baik saja tadi pagi, namun entah mengapa dia tidak ingin menerima sebuah kejutan disaat situasi tidak terduga semacam ini.

Novalin mengeluarkan benda itu dari bungkusannya. Membaca petunjuk sekilas, dia memisahkan wadah penampung urin dan benda kecil berbentuk persegi panjang itu. Novalin meletakkan dua benda itu diatas meja dekat wadah wastafel. Menggigit bibirnya dia berjalan memutar ruang kamar mandi sebentar. Mempertanyakan tindakannya sendiri. Pada akhirnya dia memilih duduk diatas closet.

Setelah selesai berkemih, dia menampung sedikit urinnya setelah dipastikan sesuai petunjuk yaitu bukan urin pertama yang keluar melainkan urin selanjutnya. Sambil menanti hasilnya dia dapat mendengar Javier sudah kembali masuk dalam kamar mereka.

"Mom?" panggil Javier.

"Mom dikamar mandi sayang!" teriak Novalin menjawab sambil menunggu perubahan pada alat tes tersebut. Hatinya berdoa semoga tidak ada perubahan sama sekali.

"Oke Mom. Jav sudah bilang sama tante Mona. Tante Mona senang Mom. Oh iya, tante Mona ajak kita turun untuk makan malam Mom. Jav tungguin Mom ya."

Novalin menghela napas. "Nggak papa kalo Jav mau duluan saja. Mom masih sebentar lagi sayang." Balas Novalin ketika memastikan sesuatu pada alat tes tersebut.

"Oke Mom." Jawab Javier lagi kemudian terdengar suara pintu menutup. Putranya tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Mengapa ibunya mendadak tidak meninggalkan kamar mandi.

Novalin memejamkan matanya sesaat. Dua garis merah muncul. Dan bukan samar-samar, warna dalam alat tes itu sangat jelas. Novalin langsung terduduk diatas tutup closet. Ini jelas diluar perkiraannya. Selama tinggal dengan Saga, mereka memang sudah melakukan hubungan tersebut tidak terhitung berapa kali. Namun semua aktivitas itu selalu aman tanpa mengusik putranya sedikit pun. Biar bagaimana pun kedua orang itu sama-sama sadar akan apa yang mereka lakukan.

Hanya saja memiliki anak lagi, Novalin tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Javier pasti takkan keberatan bila dia punya adik lagi. Usianya sudah sembilan tahun, bila menghitung kedepan maka jarak antaranya dia dan adiknya adalah sepuluh tahun. Javier akan senang-senang saja.

Sementara Saga masih belum juga jelas keberadaannya. Mustahil Novalin akan mengulang kembali hal yang sama dalam hidupnya. Tidak, Novalin menggeleng tegas. Pengalamannya bersama almarhum suami pertamanya adalah yang pertama dan yang terakhir. Mustahil Tuhan membuat hidupnya berakhir sama.

Tanpa sadar Novalin menyentuh perut ratanya dan menatap cermin. "Kalau Tuhan memang memberi kamu dihidup Mommy dan Daddy sekarang, maka biarlah Tuhan membuat kamu tumbuh menjadi anak yang baik dan disayang semua orang." Kenang Novalin mengelus perut ratanya. Sesudahnya dia segera membereskan semua peralatan yang dia gunakan. Informasi ini harus dia simpan secara rapat-rapat agar tidak sampai ketahuan. Paling tidak sampai keberadaan Saga jelas dan mereka bisa menentukan langkah hidup mereka selanjutnya. Novalin menghapus sisa air mata diwajahnya sebelum keluar dari kamar mandi.