Peperangan tak mampu dihindari
.
.
.
"Sekarang M hanya bekerja dari kantor pusatnya saja tuan."
Laporan Pedro membuat seringai Saga mengembang. Pandangan lelaki itu masih terhampar pada jalanan dibawah mereka. "Itu artinya dia hanya memiliki satu tempat dan tidak bisa kemana-mana lagi kan?"
Pedro mengangguk. "Tapi tuan, kita tidak tahu rencana M kedepan. Bisa saja dia melakukan cara lain untuk menyelamatkan diri."
Untuk pendapat itu Saga setuju. Hanya saja dia tidak akan semudah itu menyerah. Saga tidak peduli kali ini bila dia harus kehilangan semuanya, termasuk nyawanya. Karena percuma dia hidup, bila tidak ada yang benar-benar tulus terhadapnya. Cukup itu dalam pemikirannya sekarang.
"Bagaimana dengan DS?"
Pedro mengangguk. "Masih tetap mencari keberadaan tuan. Sepertinya tuan Sadam banyak berinvestasi pada DS karena teknologi yang mereka gunakan semakin canggih tuan. Informan disana, kudengar bekerja selama dua puluh empat jam penuh."
Meski enggan mengakui, Saga juga tidak membantah hal itu. Andai dulu dia berhasil meyakinkan almarhum kakeknya, organisasi itu pasti sudah dikuasainya. "Tidak masalah, mereka tetap tidak bisa menyentuhku sekarang."
"Oh ya, keluarga Decode juga akan menyambut kehadiran anggota keluarga baru, tuan."
Saga menghela napas. "Biarkan saja, fokusku sekarang masih pada M. Begitu urusanku dengan M selesai, maka mereka yang akan jadi urutan selanjutnya."
Pedro terdiam lagi. Dia sendiri tidak menyangka Saga bisa dengan mudah mengajukan penawaran dengan pihak kepolisian. Saga cukup berperan sebagai makelar dan kepolisian akan membereskan sisanya. Mereka hanya perlu berhati-hati agar informasi yang mereka berikan tidak berefek domino atau mereka yang akan mendekam dibalik jeruji. Untuk satu itu, Pedro harus mengakui keberanian Saga memang tidak ada duanya.
Mana ada yang sanggup melakukannya kecuali memang orang-orang yang sedang tidak sayang nyawanya. Dan untuk alasan itulah Pedro bersedia mempertaruhkan hidup mati demi mengikuti jejak Saga Decode.
^
Menurut dokter obgyn yang menangani kehamilan Novalin, kandungannya berkembang dengan amat baik. Tanda vital Novalin juga terpantau dalam keadaan normal. Sehingga kecemasan terhadap bahaya yang dapat timbul selama masa kehamilan bisa dihindari sejenak. Monalisa tidak henti-hentinya bersyukur saat menemani Novalin dan mendapat penjelasan itu. Frekuensi mual dan muntah Novalin juga berangsur berkurang. Pola makan wanita itu kembali membaik sehingga penambahan berat badannya juga tidak begitu berlebihan.
"Kita coba makan yang ringan aja dulu kak. Kata kak Octa juga gitu waktu dia hamil kedua. Aku sendiri pas hamil Arthur memang rewel banget sampai Sadam hampir menyerah."
Novalin tersenyum mendengar semua itu namun pandangannya lagi-lagi menerawang. "Aku memikirkan Saga terus, Mona."
Monalisa terdiam sejenak. "Wajar sih kak. Ini kan anaknya kak Saga, kakak pasti akan memikirkannya terus."
Novalin menggeleng. "Bukan pemikiran begitu saja. Aku mengkhawatirkan keadaannya. Firasatku selalu tidak enak saat mengingatnya. Makanya aku harap aku bisa tahu dimana dia sekarang, Mona. Biar aku sedikit tenang."
"Kalau begitu nanti coba kubicarakan dengan Sadam yah. Mudah-mudahan ada jawaban dari DS tentang keberadaan kak Saga."
Novalin tersenyum lega. "Terima kasih Mona."
"Et, selama ada ibu peri disini, calon adik Javier tak perlu khawatir."
Novalin akhirnya tertawa mendengar lelucon yang coba dilontarkan adik iparnya.
^
M mondar mandir diruangannya. Pikirannya melayang pada satu sosok. Dia pikir siapa yang sedang mengusiknya sepertinya tidak main-main kali ini. Penangkapan yang melibatkan anggota-anggotanya, membuat M sulit mendapat bantuan. Tiap usaha yang dilakukan untuk menghubungi kerabat atau rekan-rekannya sama sekali tidak digubris.
M rasa seakan ada konspirasi besar yang ingin menghancurkannya. Ini tidak bisa terjadi. Sekian lama M membangun usahanya tidak mungkin akan lenyap dalam beberapa waktu. Selama ini karena mengantongi kerja sama dengan beberapa pejabat berkerah putih, izin usahanya berjalan lancar. Namun sekarang, ada yang tidak beres.
"Bagaimana keadaan dilapangan?"
Seorang bawahannya menghela napas. "Sepertinya kita juga harus meninggalkan tempat ini M. Takutnya polisi akan segera kesini."
M menggeram. "Lantas siapa yang melakukan ini, Jon? Sadam Decode? Atau siapa, biar kuselesaikan dengan caraku." Tekan M sambil memainkan senjata dalam genggamannya.
Bawahannya menggeleng. "Orang-orang kita sudah cek, sesuai dengan perjanjian saat itu, tuan Sadam tidak menunjukkan aktivitas untuk melacak kita sama sekali. Kecuali saat kita masih menahan tuan Saga."
M mengangguk. Dia cukup tahu tipikal Sadam. Namun siapa yang sedang melakukan ini. "Musuh-musuh kita? Semuanya dalam penjara, Jon. Aku benar-benar tidak habis pikir." Keluh M sambil mengacak rambutnya sendiri.
Bawahannya berdeham lagi. "Tapi menurut orang kita yang berhasil kabur sebelum ditangkap, dia melihat seseorang di TKP persis sebelum polisi datang, M."
Dahi M berkerut. "Seseorang?"
Bawahannya mengangguk. "Saga Decode."
M menarik napas panjang. "Sudah kuduga. Kalau bukan adik, ya kakak. Bajingan. Harusnya kupisahkan saja kepalanya dari badan dan kujadikan pajangan diruanganku." Geram M sambil menembak satu peluru ke udara.
Bawahannya kembali terdiam menunggu instruksi. M memandang sekali lagi kursi yang tak lagi didudukinya. "Oke, kita tinggalkan tempat ini. Jangan ke rumahku. Sebagian dari kita berpencar. Kembali ke pasar. Aku akan mengunjungi rumah lama kakakku. Sepertinya aman disana. Kita butuh bersembunyi sebelum menangkap tikusnya."
"…"
M menatap bawahannya sekali lagi dengan dingin. "Kita bunuh semua Decode kali ini."
^
Sadam Decode memijit pelipisnya. Menurut informan DS, jaringan mafia yang pernah menahan Saga sedang berurusan panjang dengan polisi. Sadam tentu saja tidak ingin ikut campur dengan orang-orang itu karena memang bukan kepentingannya. Namun yang menjadi concern-nya adalah keberadaan Saga ditengah-tengah masalah tersebut.
"Sepertinya, Saga ingin memulai peperangan langsung dengan mafia-mafia itu."
Octa juga mendengar langsung laporan tersebut namun tidak banyak menanggapi. Tugasnya hanya menunggu instruksi. "Kita harus merahasiakan ini dari Novalin, well kandungannya sudah cukup besar. Kalau kabar ini sampai ke telinganya, pasti akan berdampak buruk."
Sadam mengangguk. "Mona juga, Ta. Dia lebih cepat panik."
Meski engan mengakui, namun Octa setuju dengan hal itu. Sekarang kedua orang penting dalam Decode Company itu masih berada dalam kantor DS. Memikirkan solusi untuk masalah tersebut. Sadam menghela napas. "Kadang aku heran, apakah Saga memang sengaja melakukan semua ini. Imbasnya akan ada pada keluarga kita."
Sadam menggeleng membayangkan kedepannya. Bila peperangan berlangsung, sudah tentu akan ada yang keluar sebagai pemenang atau yang kalah. Selanjutnya baik dari kedua pihak akan saling mengumpulkan kekuatan untuk berlawanan lagi terus menerus. Seperti lingkaran setan yang tidak memiliki akhir. Belum selesai, Monalisa sudah menghubunginya. Sadam mengambil jeda untuk berbicara disudut ruangan.
Octa menatap bos besarnya itu dengan penasaran. Karena begitu telepon selesai Sadam berbalik dengan raut masam. "Terjadi sesuatu?"
Sadam memijit kembali pelipisnya. "Barusan, Mona bilang Novalin ingin sekali menemui Saga. Bawaan bayi dalam kandungan katanya."
"Bertemu disituasi seperti ini?" Octa mengangkat alisnya dengan tidak percaya.
Sadam hanya menggeleng.
^
Javier memeluk tubuh Novalin dengan penuh sayang. Dia bahkan melupakan fakta bahwa perut ibunya kian membesar. Novalin tidak menyangka akhir-akhir ini Javier sudah lebih banyak ingin berdamai dengannya dibanding sebelum-sebelumnya. Bawaan kehamilan membuat Javier terkadang menjauhi Novalin dan lebih memilih bercengkerama dengan Monalisa atau anggota keluarga lain didalam rumah.
"Ada apa sayang?"
"Jav dengar Mommy dari dokter. Mommy sehat-sehat kan?"
Novalin mengelus kepala putranya dengan penuh kasih. "Iya sayang. Mommy baik-baik saja. Adik kamu juga, sehat-sehat kata dokter."
Javier tersenyum, iseng bocah itu menempelkan kepalanya ke perut besar ibunya. "Oh iya Mom, Dad akan datang kan pas lahiran adik?"
Novalin menggigit bibirnya tanpa sadar. Tentu saja, itu juga dambaannya. Tidak hanya Javier, dirinya sendiri amat merindukan lelaki itu. "Iya kita doakan ya sayang. Oh iya Mom mau ke tante Mona bentar ya," kata Novalin teringat akan permintaannya tadi. Mungkin seperti yang Javier utarakan. Dibanding bertemu sekarang ada baiknya bila mereka bertemu saat menjelang proses kelahirannya kelak. Rasanya itu lebih pas. Saga pasti akan sangat bahagia mengetahui hal tersebut.
Novalin berjalan keluar dari kamarnya dan beranjak menuju sisi rumah utama. Tempat Sadam dan Monalisa tinggal. Novalin memang sengaja berjalan kaki secara perlahan karena dia tidak ingin tubuhnya menjadi lemah akibat keberatan perutnya. Melihatnya berjalan seorang diri membuat pelayan dalam rumah menjadi was-was. Pada akhirnya seorang pelayan ikut menemaninya hingga keduanya tiba didepan kamar Sadam dan Monalisa.
"Ah, maaf Nyonya saya lupa. Tuan Sadam dan Nyonya Mona berada diruang baca tadi. Soalnya temen saya barusan mengatur suhu udara ditempat itu."
"Sadam dan Mona?"
Pelayan itu mengangguk. "Saya temani sampai ke ruang baca ya Nyonya."
Mau tak mau Novalin setuju. Keduanya lanjut berjalan beberapa langkah hingga sampai didepan pintu ruang baca yang setengah terbuka. Dari kejauhan terdengar suara-suara percakapan dari dalam.
"Tapi situasinya sedang tidak bagus sekarang Mona."
"Ada yang kamu sembunyiin!"
Sadam terdengar mengelak dan mencoba menjauh tetapi Monalisa tidak kalah cepat. "Ceritakan semua sama aku, atau aku bakalan marahan sama kak Octa. Kamu mau kami bertengkar lagi Dam? Belum cukup dulu kamu bikin kami berantem juga."
Sadam menghela napas panjang. "Demi Tuhan yang berkuasa, dengar sayang ini bukan situasi untuk bercanda. Aku tidak bisa mengabulkan permintaan kamu. Bukannya aku tidak bisa menemukan Saga sekarang. Hanya saja urusan dengan mafia-mafia itu sama sekali belum selesai. Pikirku, Saga sepertinya ingin memulai perang langsung dengan mafia-mafia itu."
Monalisa tersentak. "Jangan bercanda sayang. Bukannya waktu itu kamu bilang sendiri, kalau mereka tidak akan mengusik kak Saga lagi?"
Sadam gantian berdecak. "Saga-lah yang memulai kali ini sayang."
Novalin menoleh ke arah pelayan yang masih memegang lengannya. Seakan menyadari arti pandangan tersebut, pelayan itu ikut membawa Novalin kembali menuju kamarnya sendiri. Sepanjang perjalanan tersebut langkah Novalin terasa berat.
Potongan perdebatan kecil tadi membuat Novalin merasa tekanan darahnya mendadak lebih turun dari normal. Apa yang sebenarnya sedang Saga lakukan diluar sana. Tidakkah dia memahami situasi mereka. Apakah lelaki itu sudah melupakan semua yang terjadi diantara mereka sehingga dia lebih memilih untuk mengajak perang dengan mafia-mafia itu. Apakah Saga tidak sayang nyawanya lagi?
Kepala Novalin tertunduk pada perutnya. Dan tanpa sadar air matanya menetes. Pelayan yang berjalan disebelahnya shock. Buru-buru dia mencari tisu dan membantu Novalin agar berhenti sejenak. Novalin sadar emosinya jadi tidak stabil. Menerima lembaran tisu dari pelayan tersebut membuatnya merasa sedikit lebih tenang.
"Nyonya tidak apa-apa?"
Novalin mengabaikan pertanyaan itu, ganti menatap sebuah pintu disudut ruangan dekat tangga. "Pintu apa itu?" tanya Novalin asal.
Pelayan tersebut mengikuti arah pandangan Novalin. "Oh itu ruang penyimpanan senjata tuan besar, Nyonya."
"Senjata?"
Pelayan itu mengangguk. "Tuan besar suka mengoleksi senjata Nyonya untuk dibuat pajangan."
Novalin terdiam mendengar informasi tersebut. Selanjutnya mereka kembali berjalan menuju kamarnya. Tak lupa mengucap terima kasih, Novalin segera menutup pintu kamarnya.
^
Pandangan Novalin belum juga menutup. Padahal Javier disebelahnya sudah terlelap sejak tadi. Novalin bersyukur akhirnya Javier mau tidur dengannya lagi. Namun disisi lain pikiran Novalin hanya terarah pada ayah dari bayi dalam kandungannya.
Hasil USG sudah dia kantongi. Anaknya akan lahir dalam dua bulan kedepan, bila tidak ada kendala. Memikirkan proses kelahiran tidak begitu penting. Novalin memiliki Monalisa dan juga Sadam. Namun itu dirasa masih belum cukup. Dia membutuhkan kehadiran Saga. Sekian lama waktu berlalu, dia amat merindukan lelaki itu.
Tanpa sadar Novalin menghapus air matanya. See, dia menangis lagi dengan sangat mudah. Novalin berusaha tidak berpikir buruk mengenai Saga. Namun apa yang akan dia lakukan, seandainya lelaki itu mendadak pergi untuk selamanya dari hidupnya? Novalin tidak sanggup membayangkannya.
Sekali dalam hidupnya, dia sudah kehilangan suami pertamanya. Dengan situasi yang tidak jauh berbeda, masakan takdir dengan tega mengulangi hal yang sama pada hidupnya? Novalin harus segera menemui Saga. Apapun yang terjadi. Dia harus menggagalkan apapun rencana yang ingin lelaki itu lakukan. Novalin bukan semuda dulu, yang diam saja ketika sesuatu yang buruk terjadi pada suami pertamanya. Dan dia hanya terduduk menerima kabar kematian itu. Novalin yang sekarang memiliki banyak hal disekitarnya.
Novalin menimbang, kepada siapa dia harus memulainya. Karena kalau salah sedikit bukan tidak mungkin gerak geriknya akan diawasi langsung oleh orang-orang penting dalam Decode Company.