Chereads / LEGACY Series / Chapter 25 - KEPINGAN DUA PULUH LIMA

Chapter 25 - KEPINGAN DUA PULUH LIMA

Dendam dan permintaan maaf

.

.

.

Hidup memang tidak sebercanda itu, tetapi bagi Saga hidupnya terkadang menyimpan lelucon yang tidak masuk akal. Tubuhnya bisa dibilang hancur. Babak belur. Berantakan. Jangan tanyakan soal nyeri, rintihan, ringisan bahkan kesakitan karena Saga pikir dia sudah mencapai titik mati rasa. Waktu untuk memulihkan diri, kali ini akan sangat lama. Saga sendiri tidak yakin dia bisa selamat.

Suara-suara petugas medis yang berdengung ditelinganya berulang kali mengingatkan bahwa dia memang masih hidup. Dia sedang ditangani. Itu artinya dia belum mati. M tidak jadi membunuhnya. Tetapi dibanding semua itu, Saga tidak bisa melupakan fakta bahwa sebentar lagi dia akan menjadi seorang ayah.

Novalin tidak mungkin berbohong. Mustahil wanita itu hamil dengan orang lain, sementara status pernikahan mereka masih ada. Meski dari mulutnya sendiri, Saga meminta agar kontrak pernikahan diantara mereka berakhir tetapi jauh didalam lubuk hatinya dia tidak menginginkan hal itu terjadi. Dia mencintai wanita itu. Jelas. Tidak terbantahkan.

Pilihannya untuk menjauh adalah keputusan finalnya demi keselamatan mereka bersama. Tetapi ketika wanita itu hadir, membawa senjatanya dan berusaha menyelamatkannya meski tengah mengandung, disitulah Saga merasa dia menjadi seorang pecundang besar. Semua kesalahan dan dosa-dosanya kembali menari-nari dalam benaknya. Dengan sangat hebat, hingga Saga merasa air matanya tidak berhenti mengalir.

Dia memang bersalah. Pada kehidupannya. Maupun kehidupan orang-orang disekitarnya. Tetapi dia tidak juga bisa meminta kematian segera menjemputnya. Lalu semua akan selesai. Tidak semudah itu. Dia punya tanggung jawab. Meski Pedro berulang kali mengingatkannya bahwa semua itu bukan wewenangnya karena identitas sesungguhnya dari istri dan putra tirinya namun tetap saja. Pedro sendiri sudah tiada. Satu lagi yang menghantam benak Saga dengan cukup keras.

Ditengah-tengah kesadarannya yang berangsur menghilang Saga merasa mendengar sebuah suara yang memanggil namanya. Suara itu membawa ingatannya ke masa kecilnya. Dia terjatuh sesudah berlatih bela diri, belakang lehernya sempat berdarah. Seorang wanita mengangkat tubuhnya dan memberikan pengobatan pada lukanya.

"Maafkan ya sayang. Maafkan Mama yang tidak bisa jagain kamu. Maafkan Papa yang tidak begitu perhatian sama kamu. Maafkan kakek yang melatihmu dengan amat keras. Maafkan kakakmu yang selalu kelihatan lemah. Maafkan adikmu yang tidak bersalah, Saga. Saga harus kuat. Ingat di pundakmu ada warisan keluarga. Kelak, Saga akan menjaga kita semua." Suara Sheila Decode amat lembut. Usai mengatakan itu, seluruh ingatan Saga mendadak gelap gulita.

Dia tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya.

^

Monalisa menangis sampai terduduk diatas bangku ruang tunggu rumah sakit. Sadam tidak henti-hentinya berbisik untuk menenangkan istrinya. Wanita itu amat terpukul. Kakak iparnya sedang koma diruang intensif. Sementara istri kakak iparnya langsung masuk ke ruang operasi. Tim dokter berusaha menolong ibu maupun bayi dalam kandungannya. Jelas mempertahankan kehamilan amat mustahil. Karena ketika dibawa, perdarahan cukup banyak menimpa jalan lahir Novalin. Wanita itu bahkan sudah tidak sadarkan diri.

"Dam… aku takut." jerit Monalisa tidak tahan.

"Tenanglah, kita berdoa semoga baik-baik saja sayang."

Monalisa semakin meracau, "Javier gimana Dam. Anak itu sangat baik, Ga. Kak Novalin… Kak Saga…"

"Stt, udah jangan bicara yang tidak-tidak. Pokoknya kita serahkan sama tim dokter saja." Tegur Sadam sambil tetap merangkul Monalisa yang amat rapuh. Tak berselang Octa muncul bersama suaminya. Kedua pasangan itu menemani Sadam dan Monalisa yang tak kunjung berhenti menangis. Octa menggantikan tugas Sadam menenangkan Mona, sementara Sadam dan Leon, suami Octa, membahas keputusan atas kasus Margin Harlon yang sudah dilimpahkan kepada kepolisian. Leon menjamin, hukuman terhadap Margin akan sampai pada pengadilan dan mereka tidak akan menyerah sampai wanita itu mendapatkan hukuman yang pantas.

Monalisa akhirnya dibawa pulang lebih dulu oleh supir dan seorang pengawal dari DS karena Arthur mencari keberadaan ibunya. Octa selanjutnya menemani Sadam. "Dam, ada yang ingin kutanyakan."

Sadam menoleh dan menatap Octa yang berdiri disebelah Leon. "Ada apa?"

"Kau tahu siapa Novalin sebenarnya?"

Sadam menggosok ujung hidungnya sebentar. "Apa maksudmu sebenarnya?"

"Istriku hanya ingin tahu, apakah kau memang tahu semua sejak awal dan ini adalah bagian dari rencanamu?!" jawab Leon mewakili Octa yang langsung menahan lengan suaminya.

"Kalau aku bilang, aku tahu, apa yang akan kalian lakukan?" jawab Sadam dengan tenang.

"Kau benar-benar keterlaluan." Geram Leon namun Octa menahan lagi suaminya. "Yang, sudahlah. Kita di rumah sakit." Octa mengingatkan.

Sadam memandangi kedua pasangan itu dengan tenang. "Kalian boleh menyalahkanku sekarang, tetapi Monalisa adalah satu-satunya alasanku melakukan semua ini."

Mereka sama-sama terdiam. Apa yang terjadi pada kehidupan mereka sebelumnya memang cukup berat. Mereka semua tahu akan hal itu. Bedanya baik Octa dan Leon memilih untuk tidak membahas sementara Sadam tetap pada tujuan awalnya.

"Kuharap semua selesai sampai disini Dam." Kata Octa akhirnya dan Sadam mengangguk setuju.

"Aku tahu Ta. Batasanku masih ada, tidak seperti dia." Tunjuk Sadam ke arah ruang perawatan. Tempat dimana Saga masih mendapat penanganan.

^

Novalin membuka matanya kembali. Tak perlu menebak karena dia tahu dia berada diranjang rumah sakit. Novalin mendadak menyentuh perutnya. Bobot perutnya mendadak berkurang. Permukaan perutnya tidak sekencang biasanya. Panik, Novalin langsung mencoba duduk namun rasa pusing langsung menghantamnya, membuatnya mau tak mau berbaring kembali.

"Kakak, pelan-pelan dulu. Jangan langsung bangun."

Suara Monalisa mengingatkan membuat Novalin mendesah. "Anakku, gimana Mona. Jangan katakan kalau…" suara Novalin hilang berganti dengan tangisan namun Monalisa segera memeluk bahunya sebentar.

"Anak kakak selamat kok. Sekarang masih dirawat di ruang NICU kak." Jawab Monalisa membuat Novalin langsung menghela napas lega.

"Maafin aku, Mona. Aku tidak bisa menjaga kandunganku dengan baik." Isak Novalin lagi.

Monalisa menggeleng. "Kadang kita memang harus melakukan sesuatu untuk kebahagiaan kita kak."

Novalin memejamkan mata sebentar. Menghapus air mata dipipinya. "Saga gimana, Mona?"

Monalisa menelan ludah. "Kak Saga… baik-baik saja kak."

Dahi Novalin berkerut. "Lantas dimana dia, kenapa dia tidak menjengukku. Mona?" suara Novalin berubah menjadi isakan kecil lagi.

Monalisa menggaruk belakang kepalanya. "Karena kak Saga belum sadar kak. Kak Saga masih koma di ICU."

Tanpa sadar Novalin menerawang sembari menghapus air matanya. "Lagi?"

Monalisa langsung menawarkan Novalin untuk menyantap makanan rumah sakit yang sudah dibuatkan khusus untuknya. Sebelum Novalin menolak, Monalisa mengingatkan tentang pentingnya ASI pada bayi. Untuk mendapat ASI yang bagus, maka kualitas konsumsi seorang ibu harus baik pula. Mau tak mau Novalin menurut. Meski harus disuapi dan berulang kali menghapus air matanya.

^

Javier merasa takjub karena adiknya sudah lahir lebih cepat dari perkiraan. Karena itu hari ini dia berkesempatan melihat secara langsung adiknya tetapi harus ke rumah sakit. Setelah dijelaskan oleh Sadam, Javier maklum dan merengek ingin melihat juga. Pada akhirnya dia bersama Sadam menuju ruang perawatan bayi. Dua lelaki berbeda generasi itu memasuki pelataran rumah sakit dan mendapat perhatian beberapa orang yang melihat.

Javier hanya diberi kesempatan untuk menengok dari jendela bening. Wajah mungil adiknya terpasang beberapa selang. Javier sempat sedih melihat itu semua tetapi rasa sedihnya berangsur sirna ketika raut kecil itu menampilkan lengkungan khas dibibir mungilnya.

"Dia senyum Om?"

Sadam mengangguk. "Cantik kan?"

Javier ikut menganggukkan kepala, masih terus mengamati adiknya. "Siapa nama adikku, Om?"

Sadam menghela napas. "Sila. Namanya Sila Decode, Jav."

Javier menggumamkan nama itu beberapa kali. "Kapan Sila akan pulang, Om?"

Sadam ikut menatap ke inkubator tempat Sila diletakkan. "Tergantung sayang. Setelah kondisinya membaik pasti dia akan pulang bersama kita."

Javier mengangguk lantas menatap pamannya lagi. "Jav mau lihat Dad, Om. Boleh?"

Sadam tersenyum kecil dan mengangguk. Keduanya beranjak dari ruang NICU menuju koridor ICU. Pada akhirnya Javier bisa menerima kenyataan bahwa ayahnya sudah berhasil ditemukan meski harus mendapat perawatan panjang. Tetapi Javier tidak sedih sama sekali. Mulut kecilnya bercerita pada Sadam tentang bagaimana Saga berhasil bertahan sampai bisa pulih kembali ketika mereka masih tinggal di desa.

Sadam tersenyum memaklumi. "Tentu saja, kakakku adalah orang yang kuat, Jav. Dia akan segera pulih kok."

"Yes, Jav bisa main lagi dengan Dad."

Sadam mempertimbangkan sesuatu. "Kalau ayahmu sadar, Jav. Kamu mau tinggal bersama di desa lagi?"

Entah mengapa kepala Javier mengangguk. Sadam kembali tersenyum. Selepas dari sana mereka lanjut menemui Novalin di ruang perawatannya.

Novalin baru saja selesai memompa ASI yang masih belum cukup banyak ketika dua orang itu mendadak menghampiri ruangannya. Sadam menjelaskan keinginan Javier dan Novalin mengangguk maklum. Selama proses di rumah sakit, Javier memang hanya tertahan dirumah. Dan belum diizinkan bertemu sama sekali.

"Hai sayang."

"Mommy, Jav sudah lihat adik dan Dad tadi. Adik tadi senyum Mom. Cantik sekali kalo kata Om Sadam." Mulut Javier langsung berceloteh sementara Novalin mendengarkan dengan sabar. Dia amat menyayangi Javier karena anak itu sama sekali tidak rewel. Diam-diam Novalin berdoa memohon pengampunan atas semua yang terjadi pada kehidupannya dan semoga saja kedepan Javier tidak perlu mengetahui hal-hal yang akan mengganggu kehidupannya.

"Bagaimana dengan Margin, Sadam?"

Sadam menangkat wajah dari majalah rumah sakit yang dia baca sepintas. Javier sedang keluar membeli makan siang bersama Mona. "Sudah mendekam di penjara, Nov."

"Maafkan aku yang ceroboh Dam."

Sadam menggeleng. "Semua sudah selesai, Nov. Tidak ada yang salah disini. Sudah menjadi takdirnya."

Mau tak mau Novalin mengangguk. Sadam mendadak mendekati ujung ranjangnya. "Aku tadi sudah menanyakan pada Javier. Apakah dia bersedia hidup di desa lagi. Dia sama sekali tidak keberatan. Kau sendiri gimana Nov. Setelah kakakku sadar dan Sila pulih, apakah kau juga ingin hal yang sama?"

Novalin menghela napas panjang. "Ingin mengasingkan kami kembali Dam?"

Sadam terkekeh, "Kali ini terserah kalian, Nov. Tapi kurasa masih mustahil bagi Saga, bila ingin tinggal bersama denganku dan Mona di rumah utama."

Untuk hal itu Novalin juga berpikir sama. Tetapi dia mendadak memikirkan hal yang lain. "Tapi Sadam… Aku mewakili Saga, ingin menyampaikan maaf. Meski aku tahu kau sengaja melakukan rancangan yang buruk ini pada keluarga kecilku tapi pasti ada alasan dibalik itu semua. Karena itulah, aku ingin minta maaf. Jangan ada dendam lagi, Sadam."

Sadam menatap ke langit-langit rumah sakit. "Itulah alasanku memilihmu Nov menjadi patner Saga. Karena aku tahu, kelak kau akan membawanya ke jalan yang baik. Buktinya, kau bisa minta maaf menggantikan dia padahal kau sama sekali tidak bersalah disini."

Novalin menunduk menatap selimut rumah sakit yang menutupi tubuhnya. "Mau bagaimana lagi, aku tidak bisa menemukan orang lain yang seperti dia, Dam."

Sadam tertawa tetapi menyadari posisi mereka dirumah sakit, tertawa dirasa amat janggal. "Maaf bukannya menertawai keadaan, tapi Saga memang amat beruntung. Baiklah, keputusan selanjutnya kuserahkan saja padamu. Biar bagaimana pun Saga sudah mendapatkan kembali bagian dalam warisannya. Karena anakmu tentu saja."

"Terima kasih, Sadam."