Chereads / LEGACY Series / Chapter 18 - KEPINGAN DELAPAN BELAS

Chapter 18 - KEPINGAN DELAPAN BELAS

Perisai Keluarga

.

.

.

Kantor Decode Security sedang ramai. Sejak peristiwa telepon dari salah satu anggota senior DS, semua orang bergerak untuk mencari keberadaan mantan wakil ketua DS tersebut. Octa melangkah meninggalkan ruangannya karena mendapat tamu yang tidak begitu diharapkannya.

"Ada apa, Mona. Kenapa mendatangi kantor lagi?"

Monalisa menghela napas. Dia melirik kakaknya dengan cuek. "Karena kalau bukan disini, susah banget aku temuin kakak. Kata staf, semua orang sedang mencari keberadaan kak Novalin. Untuk alasan apa sih kak?"

Octa mendesah, segera menarik adiknya masuk ke dalam ruangannya. Dia hampir lupa kalau Monalisa memiliki kecenderungan tidak peduli terhadap situasi maupun keadaan. "Karena Novalin menelponku dan minta back up. Mereka berada di rumah sakit menurut informan DS."

"Rumah sakit, artinya ada yang terluka parah dong kak. Aneh sih kenapa Sadam diam saja,"

Octa menipiskan bibirnya. "Aku juga masih mencari. Saat orang-orang kita menuju rumah sakit yang dimaksud kemarin, mereka sudah tidak disana. Menurut mata-mata di desa, mereka juga belum kembali. Sadam bilang kita masih belum tahu apa yang Saga rencanakan."

"Semoga mereka baik-baik saja, Kak. Kalau ada apa-apa, jangan sampai aku tidak tahu ya kak."

Octa, meski enggan, terpaksa mengangguk. Sadam pasti akan menceramahinya setelah ini karena melibatkan Monalisa juga.

^

Novalin dan Javier sama-sama menatap Saga dengan heran. Lelaki itu membawa mereka ke sebuah rumah kumuh yang letaknya tidak jauh dari ibukota. Rumah itu amat kumuh dan lebih jelek dibanding rumah lama mereka sebelumnya.

"Kita akan tidur disini malam ini." kata Saga sambil membuka pintunya dengan mudah.

"Tapi Dad, rumahnya kecil sekali."

Saga tersenyum bersalah. "Sementara saja jagoan. Besok pagi baru kita pulang ke desa."

"Kenapa tidak sekarang saja, Dad?"

Saga menyalakan lampu dan membuka salah satu jendela agar sirkulasi dalam ruangan tidak menjadi pengap. "Karena ini sudah mau sore, kapal ke desa sudah tidak ada. Besok pagi-pagi sekali, kita berangkat." Janji Saga.

Novalin hanya melirik Saga dan menggeleng tidak percaya. Mau tak mau dia menata alas tidur untuk Javier. Karena rumah itu hanya memiliki satu ranjang maka Novalin pikir putranya akan menempati tempat itu. Saga juga tidak akan masalah kalau ikut tidur dengannya dilantai. Selanjutnya dia membersihkan beberapa barang berdebu dalam rumah kecil itu. Novalin masih tidak habis pikir, alasan suaminya menolak bantuan dari DS. Padahal bisa saja saat ini mereka tidur disuatu tempat yang layak.

"Sebenarnya ini rumah siapa Ga?" tanya Novalin setelah duduk diatas lantai berasal karpet tipis dan menatap Saga yang masih mengatur lampu dibagian kamar mandi dan dapur kecil disisi dalam rumah.

"Kamu ingat pertama kali kita bertemu?"

Novalin terdiam. Mengingat-ingat kapan dia menemui putera kedua keluarga Decode ini. "Saat pelantikan tuan Shaka menggantikan tuan Vladimir?"

Saga terkekeh sebelum ikut duduk bergabung dengan Novalin. Javier sudah dibiarkan berbaring diatas ranjang. Putra mereka sedang serius membaca majalah dari rumah sakit yang diserahkan perawat sebagai oleh-oleh karena Javier sudah boleh pulang dan sangat tidak menyusahkan.

"Bukan sayang. Waktu kamu jadi pengawalku."

Novalin langsung mengangguk. "Saat kamu lagi cari tempat tinggal kan?"

Saga menatap ke dalam rumah kecil itu. "Ini rumah yang awalnya Pedro carikan buatku tinggal. Aku memang sangat kesulitan namun kamu tahu kan aku bagaimana, makanya aku keluar dan mencari hotel."

"Tentu saja Ga. Makanya aku tidak percaya kamu bisa membawa kita ke tempat semacam ini. Maksudku, kamu adalah seorang maniak kebersihan. Sedang tempat ini amatlah jauh dari standar kamu."

Saga menatap Novalin dengan serius. "Kita punya Javier disini Nov. Jangan bikin aku cium kamu sampai lemas."

Novalin meringis dan buru-buru melirik ke arah Javier yang masih tidak terganggu membacanya. "Jangan aneh-aneh deh."

Saga terkekeh sambil memainkan jemari Novalin. "Itu karena kamu sangat mengenalku."

Novalin menggeleng berusaha keluar dari intrik yang sedang Saga lancarkan. "Kamu belum mengatakan alasan kamu menolak bantuan dari DS. Ada apa sih?"

Saga menghela napas. Dia melirik ke arah Javier. Novalin ikut memandang ke arah yang sama dan pada akhirnya diam. Biar bagaimana pun Javier masih kecil untuk memahami masalah yang sedang mereka hadapi sekarang. Setelah beberapa jam berlalu, Javier akhirnya tertidur. Saga memastikan tidak ada nyamuk yang menghampiri tubuh putra tirinya. Dia memastikan posisi selimut tipis yang diletakkannya tidak menganggu tidur bocah itu.

Novalin masih duduk dan memandangi langit malam dari bingkai jendela kecil disebelah ranjang Javier.

"Sudahlah Ga, tidak perlu ditengok kayak gitu nanti Javier bisa terbangun."

Saga membalas tatapan Novalin dari sudut matanya. "Tempat ini kecil, Nov. Kalau besok saat perjalanan pulang, mendadak Javier demam lagi karena gigitan nyamuk siapa yang akan paling panik disini."

Novalin menghela napas sebelum menarik tubuh Saga dan memeluknya. "Oke, aku tidak akan panik lagi, selama ada kamu. Gimana?"

Saga menggeleng. "Semua yang dikatakan dimulut hanya bertahan selama situasi masih baik-baik saja."

Novalin mencebikkan bibirnya, tak tahan dia mencium bibir Saga agar tidak selalu protes. Saga turut membalas ciuman itu sampai dia memundurkan diri. "See, kamu mulai lagi, Nov." kata Saga sambil mengatur napasnya sementara Novalin terkekeh.

"Kamu belum jawab pertanyaanku, Ga."

Saga berdeham, membersihkan tenggorokannya. "Aku tidak tahu apakah kamu masih berpikir kalau aku masih punya rencana terhadap DS atau tidak. Hanya saja, kamu sadar tidak apa yang terjadi pada kita sampai sekarang ini penyebabnya adalah satu hal yang sama."

Novalin terdiam. Sungguh, dia tidak memahami maksud ucapan lelaki itu dan korelasinya dengan DS. Bagaimana Saga mengambil kesimpulan seperti itu.

"Jadi dengan kata lain, kamu ingin bilang kalau penyebab semua ini adalah DS? Tapi mengapa?"

Saga memainkan tangan Novalin dalam tangannya. "Kenapa kita diasingkan, Nov?"

Novalin menjelaskan kembali. "Karena nyawa kamu terancam, Ga. Makanya kita harus sembunyi. Mafia-mafia yang menginginkan nyawa kamu, ada dimana-mana."

Saga mengangguk. "Kalau memang bersembunyi, mengapa harus di desa yang amat terpencil. Decode punya beberapa rumah yang tidak ditinggali diberbagai daerah, kurasa kamu lebih tahu soal aset-aset itu. Mafia-mafia itu hanya berada dipinggiran kota Nov. Mereka bukan jaringan teroris yang ada sampai diseluruh daerah."

"Tapi itu semua demi keamanan kamu, Ga."

Seringai Saga hadir dan kepalanya menggeleng. "Bukan sayang. Bukan demi keamanan aku, tapi DS ingin aku benar-benar seakan menghilang."

"No! Ya ampun Ga, kamu salah sangka. Kalau memang mereka ingin seperti itu, mustahil ada David yang merawat kamu sampai pulih lagi. Semua itu murni dilakukan untuk kamu kembali sehat, Ga."

"Kenapa kamu tidak dibekali alat komunikasi dan hanya sekotak uang?"

Novalin terdiam sejenak dengan pertanyaan itu. "Karena tuan Sadam bilang, aku harus memastikan kamu tetap hidup dan jangan sampai ketahuan kalau kamu masih mendapat bantuan dari Decode. Takutnya mafia-mafia itu bisa melacak keberadaan kamu lewat komunikasi yang kulakukan."

Saga mengecup tangan Novalin sebentar. "Mereka hanya mafia Nov. Mengejarku lewat alat komunikasi, bukankah itu berlebihan? Apa tujuan mereka. Uang? Bukankah Sadam sudah membayar mereka?"

Novalin masih sulit membantah. Tetapi membayangkan apa yang sementara dijelaskan Saga membuatnya tidak mampu memikirkan lebih jauh. Benar ketika menyetujui kesepakatan dengan pimpinan Decode Company itu, tidak ada yang dia pikirkan selain keselamatan Saga. Karena Saga adalah majikannya, merangkap suaminya kala itu. Apapun yang terbaik untuk Saga akan dilakukannya.

"Maksud kamu, tuan Sadam sengaja melakukan ini agar kamu benar-benar menghilang dari lingkup Decode?"

Saga mengangkat bahu. "Entah itu memang motifnya atau bukan, yang jelas aku takkan pernah percaya padanya Nov. Sampai kapanpun juga. Aku tahu apa yang dia lakukan, Nov. Kami adalah dua orang yang sama."

Entah karena jendela yang dibiarkan terbuka atau bukan, yang pasti bulu kuduk Novalin mendadak merinding. Kalau memang apa yang dikatakan Saga tidak keliru, itu artinya kedepan yang Novalin hadapi bukan lagi hal yang mudah.

^

Novalin dan Javier sudah menyelesaikan sarapan mereka. Saga sedang mengurus tiket kapal untuk mereka pulang. Sarapan Saga masih Novalin pegang karena lelaki itu ingin memastikan mereka mendapat tempat yang layak selama enam jam perjalanan. Mereka memang terbatas secara budget. Andai uang mereka cukup Saga akan menyewa sebuah kapal cepat yang membutuhkan waktu tempuh yang lebih singkat.

"Dad belum makan Mom?"

Novalin menggeleng. "Iya Jav, makanya Mom masih pegang ini sarapannya Dad. Ah iya lupa, Jav bisa tunggu sebentar disini. Mom mau beli air mineral dulu. Harga air dikapal dan disini beda." Kata Novalin sambil meletakkan tas bawaannya pada Javier selagi dia bergerak menuju pedagang angkringan didekat tempat mereka duduk.

Saga berjalan kembali kepada Javier seorang diri dan melirik sarapan puteranya yang sudah habis. "Nanti kalau lapar selama perjalanan, beli makanan dikapal saja ya?"

Javier mengangguk setuju. "Dad tidak makan dulu, sarapan punya Dad masih di Mom. Mom lagi beli air buat Dad."

Saga melirik ke sekeliling. Mencari keberadaan Novalin namun entah mengapa wanita itu mendadak tidak terlihat. Saga menghela napas. Firasatnya mendadak tidak enak. "Mom ke arah mana tadi, Jav?"

Putranya menunjuk ke arah pedagang angkringan dekat tempat duduk mereka. Saga bergerak cepat, dia membawa barang-barang mereka dan meminta Javier mengikutinya. Putranya, meski bingung, tetap saja menyusul kemana Saga membawanya.

Lelaki itu berhenti pada pos keamanan Pelabuhan dan berbicara sebentar dengan penjaga disana. Menjelaskan situasi mereka dan petugas itu mengangguk. Saga lantas menunduk ke arah Javier. "Jav, nanti tunggu disini ya. Nanti sama petugas disini. Aku harus mencari Mom sebentar. Tiket kapal ada disini, kapal berangkat lima belas menit lagi."

Javier mendengar itu semua dan mengangguk patuh. Petugas yang ditunjuk Saga tersenyum ke arahnya. Javier ditunjukkan sebuah kursi dan bocah itu memilih duduk disana. Saga lanjut mencari keberadaan Novalin ditengah kerumunan orang.

Saga harus mempercepat langkahnya karena jam keberangkatan kapal sudah sangat dekat. Uangnya sudah tidak memungkinkan untuk membeli tiket lagi. Dia harus bekerja beberapa hari kedepan untuk mendapat kembali upahnya.

Diantara langkah-langkahnya dia menghampiri seorang wanita yang sedang menawar pada pedagang. Saga menepuk bahu wanita itu namun ketika berbalik, orang itu bukan Novalin. Saga buru-buru minta maaf dan lanjut mencari. Ketika pengumuman keberangkatan kapal terdengar, Saga menoleh ke arah pos keamanan.

Sosok yang dicarinya sedang berbicara dengan petugas keamanan dan Javier ikut berbicara. Saga menghela napas lega. Dia baru akan berjalan kembali ke arah mereka ketika beberapa orang langsung menghadangnya. Saga tak sempat menghindar saat belakang kepalanya kembali dihantam sesuatu dan kesadarannya menghilang.

^

Petugas keamanan Pelabuhan memandangi Novalin dan Javier dengan bingung. Entah apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga kecil itu. Tadi-tadinya ayah bocah kecil itu meminta agar putranya dititip sebentar karena dia ingin mencari ibu bocah itu. Sekarang ibu bocah itu muncul dan malah mempertanyakan hal yang sama.

Novalin mendesah, kapal yang hendak mereka tumpangi sudah pergi begitu saja. Dirinya dan Javier masih tetap di pos keamanan tanpa keberadaan Saga. Pada akhirnya Novalin tidak bisa melakukan apa-apa selain menghubungi DS. Pilihannya tidak ada lagi. Bila benar, DS merencanakan sesuatu terhadap kehidupan Saga, yang otomatis melibatkannya, maka mereka dipastikan harus memiliki jalan keluar dari masalah ini juga.

"Decode Security, ada yang bisa dibantu?"

"Katakan, Novalin Decode ingin bicara dengan Mrs Octavia Ramoes sekarang juga!" Novalin tidak peduli bila nadanya kali ini sedikit keras dari biasa. Javier disampingnya sampai heran karena jarang sekali melihat ibunya marah. Mau tak mau bocah itu memeluk perut ibunya. Novalin tersadar akan situasi hanya mengelus pundak putranya.

"Dengan Octa disini, ada apa Nov?"

"Kirim supir untuk menjemputku dan putraku di Pelabuhan, Ta. Tuan Saga menghilang."

"Wait… kamu dan putra kamu, tuan Saga menghilang… aku tidak paham Ta."

Novalin menghela napas. "Aku tidak punya waktu untuk jelasin di telepon Octavia. Lakukan saja permintaanku sekarang, bisa?!"

"Oke oke, tunggu tiga puluh menit lagi…"

"Kelamaan, aku butuh yang segera, Ta." Putus Novalin membuat suara erangan terdengar dari seberang. "Fine, 20 menit lagi, kalian dijemput." Telepon langsung ditutup. Sesudahnya Novalin langsung menunduk pada Javier.

Novalin menimbang sejenak namun pada akhirnya dia tetap meminta pada putranya agar tetap diam selama mengikuti ibunya kali ini. Novalin mengingatkan Javier supaya tidak sembarangan menjawab pertanyaan dari orang asing. Apapun yang ditanyai nanti. Javier bingung, dia tidak paham tetapi Novalin memohon sekali lagi.

"Ini demi kebaikan kita, sayang. Jav, masih mau ketemu dengan Dad kan?"

Kepala Javier otomatis mengangguk. "Dad dimana memang Mom?"

Novalin mendesah sebentar. "Dad menghilang Jav. Ada yang mau melakukan sesuatu yang jahat sama Dad. Kita berdua akan mencari Dad. Mom meminta bantuan dari kantor Mom, tapi Jav tidak boleh bicara apapun kecuali Mom yang beri kesempatan. Bisa sayang?"

"Baik Mom."

Novalin teringat sesuatu. "Itu juga berlaku untuk tante Mona ya, sayang."

Javier menatap ibunya dengan heran. "Tapi Mom, tante Mona kan baik sama Jav?"

Novalin tersenyum kecil. "Untuk sementara ini saja sayang, demi Dad, oke?"

Mau tak mau Javier mengangguk. Novalin menghela napas. Memanjatkan doa dalam hati kecilnya, memohon pengampunan atas apa yang barusan yang diajarkan kepada putranya. Tapi bila tidak melakukan itu, maka semua dipastikan akan berantakan. Tidak berselang sebuah SUV mewah masuk daerah Pelabuhan. Semua mata terpana memandang kehadiran kendaraan itu ditengah-tengah situasi Pelabuhan kecil yang kumuh.

"Ayo, Jav. Jemputan kita sudah datang."

Javier dibuat bingung namun dia tetap menurut kemana ibunya membawanya. Setelah berpamitan pada petugas keamanan Pelabuhan, keduanya beriringan menuju mobil tersebut. Sambil menenteng air mineral dan sarapan milik ayahnya, Javier menoleh sebentar ke belakang. Ke arah keramaian orang-orang dalam Pelabuhan. Berharap ayahnya sedang berdiri disana, namun tidak ada yang melihat ayahnya lagi.