Chereads / LEGACY Series / Chapter 17 - KEPINGAN TUJUH BELAS

Chapter 17 - KEPINGAN TUJUH BELAS

Dua sisi mata uang

.

.

.

Rapat bersama para eksekutif berakhir lebih lama dari perkiraan, membuat langkah Sadam Decode terasa sangat lambat menuju ruangannya. Sayang belum sampai disana, pimpinan Decode Security sudah menghadang jalannya.

"Ada apa Octa? Kenapa tidak menelponku saja."

Octa menghela napas memerhatikan wajah adik iparnya yang tampak bete, sambil tetap menyusul langkah Sadam masuk ke dalam ruang kerjanya. "Barusan aku mendapat telepon, Novalin meminta back up namun lokasinya tidak sempat dia katakan. Informan DS melacak sumber telepon dan nomor yang menghubungi DS itu adalah sebuah rumah sakit dekat pelabuhan."

Sadam terpaku dengan penjelasan itu. "Rumah sakit? Bukankah, di desa sudah ada dokter yang menangani?"

Octa mengangkat bahu. "Belum tahu situasinya, Dam. Sekarang kita harus bagaimana?"

Sadam menatap figura keluarga besar Decode pada salah satu sisi tembok ruangannya. "Lakukan saja apa yang mereka minta, tapi tetap waspada Ta. Kita tidak tahu apa yang Saga rencanakan sekarang."

Octa mengangguk dan meminta izin meninggalkan ruangan bos besarnya. Selepas itu Sadam langsung mengambil ponsel dari balik saku jasnya dan menghubungi seseorang.

^

Bertengkar bukanlah sebuah hal yang baik untuk situasi sekarang, pikir Novalin sambil tetap menyabarkan diri menghadapi sikap Saga. Dia tidak habis pikir dengan apa yang ada dalam benak Saga begitu mereka akhirnya berpindah ke RS lain dan Javier mendapat kamar perawatan berbeda. Masalahnya, biaya yang mereka keluarkan tidak sedikit. Dan untuk malam ini saja, Novalin tidak tahu harus kemana agar mereka bisa beristirahat. Mustahil mereka berdua sama-sama menemani Javier dan tidur beralaskan lantai rumah sakit.

"Jangan dekat-dekat denganku." Kata Novalin begitu Saga menghampiri tempatnya duduk. Javier sudah tidak demam. Informasi terakhir dari dokter, hasil pemeriksaan darah puteranya menunjukkan adanya infeksi pada saluran pencernaan. Itu membuat Novalin tidak bisa tidak menyalahkan diri. Padahal dia ingat, dia cukup protektif terhadap urusan makanan putranya. Bagaimana bisa anaknya malah diserang penyakit seperti itu.

"Aku juga dengar penjelasan dokter. Sebenarnya, Javier memang pernah cerita padaku kalau didepan sekolah ada jajanan baru yang menarik perhatian anak-anak."

Novalin menatap Saga sebentar. "Iya Ga, aku tahu. Tapi Javier tidak pernah kubekali uang jajan karena aku tahu hal-hal semacam itu mudah terjadi. Javier sudah paham alasanku dan dia tidak lagi protes."

Saga menunduk menatap lantai rumah sakit. "Kamu boleh menyalahkanku, Nov. Ini memang salahku. Waktu aku tahu, ulang tahunnya sudah semakin dekat, aku memang memberinya sedikit uang jajan dan…"

"Kamu… apa?"

Saga menipiskan bibirnya. "Maafkan aku, Nov. Aku bersalah disini."

Novalin sama sekali tidak bereaksi. Dia hanya menatap Saga dengan tatapan tidak percaya. Meski lelaki itu sudah mengatakan maaf namun tetap saja masalah ini takkan berakhir sesederhana kata itu. Sangat keterlaluan. Saga bertindak terlalu jauh. Perannya sangat sempurna sebagai seorang suami tetapi sebagai ayah, itu belum cukup. Memang seharusnya sedari awal, Novalin harus mengingatkan lelaki itu mengenai batasannya.

"Lain kali, jangan pernah ikut campur urusanku atau anakku, Saga Decode."

Saga memejamkan mata sesaat. Kata-kata itu terdengar amat menyakitkan. Memang benar, itu semua kesalahannya. Tetapi bukan berarti Novalin bisa bebas mengatakannya seperti itu. Biar pun Javier bukan darah dagingnya, tapi tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga tetap tidak berubah.

"Kamu benar, Nov. Mungkin memang benar, aku harus pergi dari kalian." Putus Saga lantas menuju pintu ruangan Javier, tanpa berbalik sedikit pun.

Novalin menatap kepergian lelaki itu tanpa sempat mencegatnya. Emosinya masih belum reda dan Saga sepertinya tidak paham sama sekali. Pertengkaran pertama ini tidak pernah Novalin bayangkan sebelumnya.

"Mom…" panggilan itu mengusik Novalin dari pemikirannya. Dia menoleh pada puteranya yang menatapnya diatas ranjang rumah sakit dengan wajah pucat.

"Ya sayang, ada yang sakit biar Mom panggil dokter?"

Javier menggeleng. "Dad dimana, Mom?" tanya Javier memandang sekeliling dan menyadari tidak ada sosok ayahnya.

"Dad sedang keluar sebentar sayang. Ada apa?"

Javier memegang tangan ibunya. "Jav, tidak suka Mom dan Dad bertengkar."

Novalin meringis. Lagi-lagi dia lupa kalau putranya sangat peka terhadap situasi diantara mereka. Dia bahkan tidak ingat kalau dia masih diruang perawatan putranya sendiri. "Maafkan Mom sayang. Tadi Mom cemas karena demam kamu belum turun."

"Tapi Dad yang gendong Jav sampai kesini Mom."

Novalin merasa matanya berair lagi. Sebisa mungkin dia menahan diri agar tidak menangis. Javier butuh dukungan penuh darinya sekarang. Otomatis dia tidak boleh terlihat lemah. Lagi pula ini bukan kali pertama Javier jatuh sakit. Bedanya dulu, dia masih bisa menangani semua sendiri tetapi sekarang dia malah menyalahkan semua pada lelaki itu. Memang ada beberapa peraturan khusus yang selalu Novalin terapkan terhadap putranya. Dan semua itu belum sempat dia diskusikan bersama Saga. Peran Saga masih tergolong baru dalam keluarga kecil mereka. Novalin tidak tahu harus bagaimana memperbaiki semuanya.

"Iya sayang, mau makan sedikit tidak? Biar cepat sembuh, terus kita bisa pulang?" tawar Novalin namun puteranya menggeleng. Novalin mencoba menggunakan sisa kesabarannya yang ada dan membujuk sekali lagi agar Javier mau menurutinya.

^

Malam semakin larut. Saga memandangi langit gelap dan cahaya bintang dari taman rumah sakit. Dia tidak beranjak dari tempat itu. Selain karena persediaan uang dalam kantongnya menipis, dia cukup tahu salah sedikit saja maka nyawanya akan melayang. Orang-orang M ada dimana-mana. Bukan hal sulit menemukannya, apalagi dalam situasi serapuh ini. Rapuh?

Saga merasa dirinya baik-baik saja. Kesehatannya pun stabil. Namun hatinya sedang tidak baik. Pikirannya juga tidak bisa bekerja semestinya. Saga hanya mencoba menyenangkan anak tirinya tetapi imbasnya tidak terpikirkan sejauh ini. Apa yang Novalin katakan tidak meleset. Namun bukan berarti Saga akan lari dan pergi begitu saja. Pengecut tidak pernah ada dalam dirinya.

"Thanks God."

Saga menoleh. Novalin sudah menghampirinya dan langsung memeluk bahunya.

"Aku pikir, kamu benar-benar pergi, Ga." Bisik Novalin dengan cemas.

Saga tersentuh. Dia menyentuh pelan tangan Novalin dan menarik wanita itu ke dalam pelukannya. Membiarkan Novalin bersandar disana dan terdiam.

Mereka hanya berpelukan beberapa saat sebelum Saga teringat akan kesalahannya lagi. "Aku benar-benar minta maaf Nov."

Novalin mengangkat kepalanya dan memandangi wajah Saga dengan mata berair. "Aku juga salah Ga. Aku hanya terlalu panik. Seharusnya kita tidak perlu bertengkar. Javier tidak suka akan hal itu."

"Baiklah, nanti aku akan jelasin ke dia besok. Untuk sekarang kita bisa tidur di guest house. Rumah sakit ini menyediakan guest house untuk keluarga pasien, biayanya cukup murah kalau hanya semalam. Kurasa besok pagi Javier pasti sudah membaik." Kata Saga sambil menoleh ke arah sebuah bangunan disebelah rumah sakit. Novalin mendesah lega sebelum mengangguk setuju. Keduanya beriringan menuju guest house yang dimaksud Saga.

"Javier, tidak apa-apa ditinggal sendiri? Kalau dia butuh sesuatu gimana?" tanya Saga begitu Novalin beranjak keluar dari kamar mandi.

"Javier memintaku mencarimu. Dan dia berjanji kalau mau apa-apa, dia akan mengatakan pada perawat. Aku juga sudah menitipkannya pada perawat yang bertugas malam ini. Mereka maklum Ga."

Saga menghela napas lega. "Syukurlah. Satu sisi kamu beruntung Nov. Javier adalah anak yang patuh dan amat baik."

Novalin tidak membantah hal tersebut. Dia hanya meletakkan kepala diatas bantal persis disebelah suaminya yang sudah lebih dulu berbaring dengan posisi kedua tangan dibelakang kepala. "Makanya aku tidak ingin dia kenapa-napa Ga. Aku hidup berdua dengan dia sejak lama. Sekarang kamu sudah ada bersama kami… aku hanya masih butuh penyesuaian."

Saga tersenyum mendengar itu. Tentu saja dia paham, tidak heran bagaimana Novalin protes terhadapnya. Sebuah pemikiran aneh menghampiri benak Saga. Kelak, bila Novalin menjadi ibu dari anak-anaknya apakah Novalin akan tetap sama melakukan semua seperti caranya membesarkan Javier? Sejujurnya ketika Novalin pernah menyinggung tentang kehidupan keluarganya, Saga enggan mengungkapkannya. Karena sedari kecil, dia pikir kasih sayang yang dia terima selalu memiliki batasan tertentu. Seakan dia dibesarkan namun memiliki ruang tertentu. Tidak ada baginya kebebasan mengutarakan apapun seperti yang dapat Javier lakukan pada Novalin. Mengungkapkan apalagi sampai merengek seperti yang dilakukan anak-anak lain, amatlah mustahil terjadi pada Saga kecil.

"Apa yang kamu pikirkan Ga?"

Saga menunduk dan menyadari Novalin masih belum juga tertidur melainkan menatapnya dengan tatapan ingin tahu. "Ada yang mengganjal pikiranku, tapi aku tak mau merusak suasana diantara kita lagi, Nov."

"Mengenai Javier? Aku rasa aku memang butuh waktu Ga. Tapi aku tidak sepenuhnya nyalahin kamu. Tanpa kamu, semua bakalan lebih buruk buat aku."

Senyum Saga mengembang. Dia menunduk dan mengecup jidat Novalin dengan rasa sayang. "Bukan itu Nov. Aku hanya penasaran. Seperti apa ayah kandung Javier. Walau aku tidak suka membayangkannya, tapi tetap saja mengapa kalian tidak lagi bersama. Apakah kalian bercerai?"

Saga tahu pertanyaan itu mengusik Novalin karena detik berikutnya istrinya perlahan turun dari dadanya dan telentang seperti biasa. "Kami tidak berpisah karena cerai, Ga."

"Lantas dimana dia sekarang, mengapa dia meninggalkan kalian?"

Novalin menipiskan bibirnya. Tatapan wanita itu berubah menerawang. "Karena Tuhan yang memisahkan kami, Ga. Javier lahir beberapa hari sebelum kabar kematian ayahnya. Aku masih muda kala itu, Ga. Jadi tidak ada yang bisa kulakukan selain menjaga Javier semata."

Saga terdiam sesudahnya. Dalam kepalanya memang sudah ada beragam asumsi mengenai hal tersebut. Namun soal kematian, ini baru. Tidak ada yang menyukai kematian. Semua orang mencintai kehidupan mereka. Untuk beberapa kasus, mungkin menyebabkan sebagian orang membenci kehidupan mereka. Bagi Saga sendiri, dia tetap harus hidup. Dengan atau tanpa cinta. Karena dia terbiasa dibesarkan tanpa cinta yang berlebih membuatnya hanya perlu bertahan. Pantas, Novalin juga Javier begitu mengusahakan kesembuhannya. Namun tetap saja, itu artinya Novalin pernah mencintai lelaki itu cukup dalam. Entah mengapa perasaan itu membangkitkan kecemburuan tersendiri dalam benak Saga.

"Kamu sangat mencintainya?"

Novalin menoleh mendengar pertanyaan itu. Perlahan dia mengangguk dan benar saja Saga langsung berpaling ke sisi lain ranjang. Novalin menghembuskan napas panjang. "Ayolah Ga. Itu dulu sekali. Sekarang dipikiranku, hanya ada Javier dan kamu semata."

Saga berusaha menahan senyumnya karena mendadak dia menikmati waktunya menjahili istrinya meski kondisi mereka sedang tidak seperti biasa. Beberapa jam lalu mereka masih bertengkar padahal.

"Ga… kamu percaya kan sama aku?"

"Tidurlah, Nov. Javier membutuhkan kita besok." Kata Saga lantas memejamkan mata namun dia sama sekali tidak terkejut ketika tangan Novalin sudah melingkari dadanya. Wanita itu benar-benar menempel padanya dan mau tak mau Saga lega. Paling tidak dia memenangkan banyak hal sekarang. Dia punya istri yang tidak bisa meninggalkannya dan seorang putra yang sangat memujanya. Dia bersyukur, paling tidak siapapun suami Novalin sebelumnya sudah melakukan hal yang baik karena memberinya semua kemudahan terhadapnya seperti sekarang. Apakah itu artinya orang sepertinya layak mendapat kesempatan kedua dalam hidupnya yang gelap?

^

"Aku sudah jadi jagoan lagi, Dad."

Saga mengangkat satu alis mendengar itu. "Jagoan itu makannya harus habis. Lagian sekarang, Javier sudah besar. Tahun depan sudah mau sepuluh tahun, makan saja masih tidak habis."

Javier mencebikkan bibir mungilnya. "Makanannya tidak enak Dad. Tidak seperti makanan yang Mom buat."

Saga pura-pura mengangguk, "Kalau memang benar makanan Mom enak, kenapa Jav harus makan jajan tidak sehat didepan sekolah?"

Javier menunduk kepala dan menatap nampan makanannya yang masih terisi penuh. "Aku akan habiskan makanannya Dad."

Saga mengangguk lagi. "Tentu saja, biar kita bisa segera pulang. Sebentar siang dokter akan datang periksa Jav."

Javier menoleh sekilas ke arah pintu ruang perawatannya. "Iya Dad. Mungkin sebentar lagi. Dokternya baik Dad. Suster juga, menjenguk Jav semalam sebelum Jav tidur. Susternya tempelin alat ke telinga Jav dan bilang kalau Jav sudah tidak demam lagi." Jelas Jav disela-sela suapan makanan dari Saga. Bocah itu menjelaskan cara kerja perawat dan Saga mendengarkan dengan sabar. Mereka perlahan menyetel tv dalam kamar perawatan sambil sesekali mengajak anak lain disebelah ranjang Javier bicara. Saat iklan tayang, tanpa sengaja Saga melirik layar tv dengan serius. Tawaran perumahan elit yang dikembangkan Decode Company ada disana. Saga masih ingat, itu adalah salah satu idenya yang kini terwujud meski bukan tangannya yang melakukan.

Novalin sedang mengurus ke bagian administrasi. Sebelum ke kamar perawatan Javier, Saga sudah menekankan kepada Novalin agar tidak coba-coba menghubungi siapapun dan mengatakan keberadaan mereka. Novalin sempat ingin berdebat namun Saga menekankan hal tersebut membuat Novalin mau tak mau menurut.

"Kamu percaya tidak sama aku, Nov?" tekan Saga dengan menatap Novalin sungguh-sungguh. Dia tidak peduli bila aura intimidasinya kembali dan memberi ketakutan bagi Novalin karena kenyataannya wanita itu hanya mengangguk.

"Bagus, jangan coba-coba hubungi DS atau siapapun juga."

Novalin masih enggan menjawab sampai Saga memotong lagi. "Serius, Nov, kamu ingin tahu semuanya? Akan kujelaskan saat kita pulang nanti. Tapi untuk saat ini lakukan saja apa yang kukatakan."

"Baiklah. Kalau kamu bilang begitu."

Saga tidak lupa mengecup kepala istrinya untuk menegaskan kalau dia tidak ingin dibantah. Saga punya pemikirannya tersendiri dan untuk saat ini tidak melibatkan pihak luar untuk urusan keluarga mereka adalah keputusan yang tepat bagi Saga. Kadang dia sendiri heran, bagaimana dia bisa mengendalikan Novalin untuk menurutinya. Apakah itu memang bakat alamiahnya seperti dulu saat dia memperlakukan bawahan-bawahannya? Tidak. Novalin bukan seperti bawahannya. Wanita itu lebih dibanding mereka. Dia cukup tenang, wanita itu tidak mendebatnya.