Cinta dan caranya bekerja
.
.
.
Novalin menelan ludah. Saga sedang berlari kecil mendahului Javier. Keduanya berlalu melewatinya dari depan pintu. Mereka tampak menikmati matahari sore sebelum melepas sendal masing-masing. Javier langsung berlarian menuju pintu belakang dan berdiri dibawah pancuran. Saga menyusulnya dan ikut membersihkan kaki.
Sengaja Saga mengabaikan pandangan Novalin padanya. Sehabis membantu Javier, mereka kembali menuju ruang tengah. Saga mengangkat tubuh Javier ke udara dan bocah itu protes karena merasa dikerjai tiba-tiba.
"Mandi sekarang yuk." Usul Saga.
"Oke Dad. Tapi…" belum sempat Javier melancarkan drama untuk mencegahnya mandi seperti biasa, Saga sudah mengendusi tubuh bocah itu dan pura-pura akan pingsan.
"Dad, Jav tidak sebau itu. Dad bohong." Protes Javier ketika tubuhnya sudah kembali ke lantai.
"Tanya Mommy kalau tidak percaya." bisik Saga dan Javier ikut menatap Novalin yang terpaku.
"See, saking joroknya Mommy sampai diam, ayo taruhan sayang siapa yang lebih dulu masuk kamar mandi, dia menang kali ini." Mendengar itu Javier langsung berderap menuju kamar mandi tanpa menunggu aba-aba. Novalin berbalik menuju kamar putranya, dia harus menyiapkan baju ganti putranya.
Novalin menatap sekali lagi ke sisi lemari tempat baju Saga setelah selesai dari kamar Javier. Tangannya gatal ingin menyiapkan juga hanya saja batinnya melarang. Tidak. Saga jelas sudah mendapatkan kembali ingatannya. Cepat atau lambat, lelaki itu akan meninggalkan mereka. Menghilang darinya maupun Javier. Novalin mungkin mudah melupakan tiap kenangan mereka tetapi Javier? Ini tidaklah mudah. Itulah salah satu alasan Novalin sempat menentang semua rencana pengasingan itu sedari awal. Siapa sangka, akhirnya akan seperti ini.
"Aku mau pakai kaus hijau dan celana training bolong, sayang."
Novalin berbalik. Saga sedang menatapnya dari pintu kamar. "Anda… bisa menyiapkannya sendiri." Kata Novalin terbata.
Saga terkekeh. "Kenapa, sayang? Kamu seperti melihat hantu saja. Aku masih suami kamu, remember?"
Novalin menggeleng dan hendak menjauh namun Saga langsung menariknya mendekat. "Buatlah semua seperti biasa Novalin atau aku akhiri semua sekarang."
Novalin menggigit bibir bawahnya dan mengikuti perintah itu. Saga sudah menghilang dan tak berselang terdengar suara tawa dari kamar mandi. Dua orang lelaki berbeda usia itu akhirnya selesai mandi. Lebih tepatnya Javier yang keluar duluan ke arah Novalin sementara Saga kembali menutup pintu untuk membasuh badannya.
^
Waktu beranjak hampir malam, Javier menghabiskan satu porsi makan malamnya dan pamit untuk tidur duluan. Novalin menemani putranya hingga di ranjang. Javier tak hentinya bercerita tentang aktivitasnya bersama Saga seharian penuh. Novalin mendengar itu dengan mata berkaca. Karena sibuk meracau, Javier akhirnya tertidur dengan kondisi mulut masih setengah terbuka. Novalin menghapus air mata dan menyelimuti tubuh putranya. Tak lupa memberi kecupan didahi mungilnya.
"Maafkan Mommy sayang. Tapi orang itu bukan Dad lagi. Dan dia akan pergi sebentar lagi." Bisik Novalin. Tanpa diketahuinya Saga berdiri dibalik pintu kamar dan mendengar itu dari luar.
Lelaki itu ingin menemani Javier tetapi Novalin menolak. Wanita itu lebih dulu mengambil alih dan membawa Javier pergi begitu saja. Saga kesal, Novalin akan mengubah permainan dengan seenaknya. Saga tidak benar-benar mencintai anak itu. Lagi pula, Javier bukan darah dagingnya dan sejak dulu Saga tidak pernah menyukai anak-anak. Apa yang terjadi dalam rumah kecil ini jelas salah. Tetapi Saga sedang menikmati tiap momen kesalahan yang sedang diciptakannya sendiri.
Novalin terlalu defensif terhadapnya. Memang bukan salah Saga ketika ingatannya mendadak kembali dan Novalin akhirnya menyadari itu. Saga mendesah, sejak dulu dia memang sulit menyembunyikan sesuatu. Kemampuannya dalam hal acting sangat payah. Siapapun yang melihat akan tahu, kapan dia menyukai sesuatu atau tidak.
"Anda belum tidur tuan?"
Saga berbalik dari jendela dan mendapati Novalin tengah berdiri didepan pintu kamar mereka. Saga cukup lega karena Novalin pada akhirnya tetap masuk dalam kamar mereka. Saga mulai berpikir kalau seterusnya Novalin akan menolak berada dalam satu ruangan dengannya. Kecuali ada Javier didepan mereka. Padahal Saga sama sekali tidak menginginkan hal itu.
"Aku takkan kemana-mana, Nov."
Novalin tertegun mendengar itu. Dahi wanita itu berkerut. "Apa maksud anda?"
Saga melipat kedua tangan didepan dada. "Katakan satu hal, pernikahan kita itu, sah bukan?"
Novalin menatap sebentar ke arah figura yang sempat dilirik lelaki itu dan mencoba memahami maksud pertanyaan itu sebelum menjawab. Novalin tidak tahu apakah Saga memang sudah mengingat semua dengan amat jelas atau hanya sebagian yang diketahuinya.
"Katakan saja, Nov. Dimatamu, pernikahan kita itu, sah atau rekayasa?"
Novalin mendesah. Tentu saja, itu pernikahan sah. Berapa kali dia harus diperhadapkan pada pertanyaan yang sama. Semua bukti dokumentasi itu berasal dari pihak tuan Sadam yang mengaturnya dengan amat baik. Kalau Saga memutuskan akan pergi dari kehidupannya dan melupakan pernikahan itu Novalin akan mengajukan pembatalan pernikahan ke gereja maka semua selesai. Namun bila Novalin mengatakan tidak sah, makanya semua mungkin lebih mudah. Tetapi itu sama saja menambah daftar kebohongan diantara mereka. Apa yang terjadi diantara mereka sampai sekarang berjalan dengan tidak begitu benar. Tak perlu membuat semakin keruh.
"Sah tuan."
Saga mengangguk. "Karena itu, tidak bisakah kita cukup menjalaninya?"
"Tuan, maafkan saya, tetapi saya tidak mengerti."
Saga maju dan menarik pinggang Novalin mendekat. Novalin terkejut namun tak bisa mundur karena tatapan Saga sedang menguncinya. "Aku takkan meninggalkan kalian, Novalin. Mulai sekarang aku adalah suami kamu dan ayah bagi Javier. Kita akan hidup selamanya disini dan tidak ada yang akan mengganggu kehidupan kita lagi. Bukti apalagi yang belum cukup untukmu?"
Mata Novalin membulat. Saga pasti menyinggung soal simpanan mereka dalam kotak tersebut. Tapi akal sehat Novalin masih belum mampu menerima semuanya. "Apa yang membuat anda berpikir seperti itu?"
Seringai Saga hadir. "Karena aku sudah memiliki semua, untuk apa aku harus melepas hal ini." Sesudah mengatakan itu Saga menunduk dan mengambil satu ciuman dari bibir lembut Novalin. Meski ragu awalnya, Novalin perlahan membiarkan dirinya terbawa suasana yang dibangun orang amat membencinya sejak dulu.
^
Pagi itu tampak lebih baik dibanding pagi-pagi lainnya. Selain cahaya matahari dan udara hangat, Novalin terkejut ketika terbangun mendapat sisi disebelahnya sudah kosong. Perlahan dia melirik penunjuk waktu diatas nakas dan tersadar waktunya sudah tertinggal. Javier pasti sudah lebih dulu bangun.
Novalin segera bangkit, melepaskan diri dari selimut tebal yang menutupi tubuhnya dan mulai mencari pakaiannya. Dari sana Novalin merapikan sebentar penampilannya sebelum keluar. Menuju ruang belakang langkah Novalin terhenti.
Javier sedang duduk menikmati sarapan dengan Saga disampingnya.
"Kau tahu, sejak umur 10 tahun kakek mulai mengajar Dad melakukan semuanya. Belajar menyetir, memanah bahkan menembak untuk berburu binatang di hutan…"
"Kapan Dad akan mengajariku melakukan itu juga?"
Saga menatap Javier sambil menimbang. "Tergantung dari Mommy. Kalau Mommy mengizinkan setelah sekolah kita akan melakukannya."
Dahi Javier berkerut. "Tapi kita tidak punya mobil disini Dad."
Saga terkekeh. "David kan menyetir kalau kesini, mobil itu saja yang kita pinjam."
Javier tampak ingin setuju namun diurungkan lagi. "Om David bekerja Dad, kalau mobilnya kita pinjam bagaimana dia akan menolong orang lain?"
Saga mengangkat bahu, "Tenang saja dia adalah orang kaya, takkan sulit membeli mobil lain kalau kita meminjam satu itu…"
"Selamat pagi sayang."
Pembicaraan keduanya terhenti ketika Novalin memutuskan bergabung dimeja makan. Siapa menyangka Saga dapat membuatkan sarapan untuk mereka pagi itu. Selama ini dia pikir Saga bukan termasuk lelaki yang mau repot-repot.
"Aku sudah memasak makanan sendiri sejak masih SMA kalau kau ingin tahu."
Novalin melirik ke arah lelaki itu dengan takjub. Sejak kapan dia bertanya. Dia hanya menatap wadah berisi nasi goreng dengan irisan telur semata dan tidak komentar apa-apa.
"Oh ya, semalam Jav mimpi apa?"
Javier meletakkan sendok diatas piringnya. "Tidak ingat Dad, kenapa?"
Saga mengangguk. "Takutnya semalam Jav tidak bisa tidur karena Mommy dan Dad berisik."
Novalin langsung tersedak makanan yang sedang dikunyahnya. Javier langsung menjerit kaget. Cepat-cepat dia menyerahkan segelas air kepada ibunya sementara ayahnya mengusap punggung Novalin dengan gerakan lembut.
"Mommy tidak apa-apa? Kenapa bisa tersedak?" tanya Javier dengan raut bingung.
"Mungkin Mommy makan terlalu lahap, J." kata Saga dengan senyum kemenangan.
Novalin tak mampu berkata-kata, dia hanya bisa melirik tajam kearah Saga yang masih tersenyum menggoda.
^
"Aku hanya bercanda."
Novalin berpaling menatap wajah lelaki disebelahnya dengan kesal. Hari ini dia sedang libur karena mengganti jadwal temannya yang punya urusan, sementara Saga memutuskan tidak berangkat kerja. Saga sudah mengantongi izin untuk dua hari itu. Bosnya juga tidak protes. Karena Saga selalu dianggap pembawa berkah untuk usaha mereka. Hanya Javier seorang yang berangkat menuju sekolah. Saga malah berdalih tubuhnya lelah karena tidak tidur semalaman. Padahal Novalin paling tahu kalau semalam mereka sama-sama begadang dan bukan menjadi kesalahan satu pihak semata.
"Aku tahu, tapi jangan didepan Javier, Ga. Dia masih belum paham hubungan kita."
Tangan Saga berhenti membantu Novalin membereskan jemuran kering mereka. "Kamu masih belum menerima hubungan ini, kenapa?"
Novalin mendesah. "Bukan begitu, aku hanya perlu menjelaskan dengan hati-hati pada Javier. Kamu bisa saja pergi sewaktu-waktu dan aku tidak mau membuat Javier…"
"Kamu tidak percaya apa yang kukatakan kemarin? Aku tidak akan kemana-mana, Novalin Decode."
Novalin meringis. Memang belum ada yang memanggilnya dengan nama belakang itu seperti cara Saga menyebutnya. Ingatannya melayang pada kejadian semalam dan ketika mereka sama-sama saling menyebut nama setelah melewati klimaks masing-masing.
Saga terdiam sejenak dan mundur. "Maaf sepertinya aku memang lupa siapa diriku sebenarnya. Mungkin kamu benar, dengan tidak menerimaku. Aku tahu bagaimana buruknya perilaku dulu."
Novalin tanpa sadar menjatuhkan pakaian yang baru saja dilipatnya. Saga benar-benar marah padanya sekarang. Novalin merasa bersalah. Dia pun berbalik dan mengejar lelaki itu hingga masuk ke dalam kamar.
^
Langkah Javier semangat menuju jalan pulang. Mengetahui kedua orang tuanya sudah berbaikan maka dia amat senang. Paling tidak cerita yang pernah Luna banggakan padanya sudah menimpa hidupnya sendiri. Javier sekarang punya ayah yang melengkapi kehidupan mereka. Ulang tahunnya takkan sepi lagi. Karena sekarang dia bebas merayakan bersama kedua orang tuanya. Tuhan amat baik baginya.
"Selamat siang Mom dan Dad!" teriak Javier.
Saga keluar menyambut kehadiran putra tirinya tersebut. Dia mengangkat tas Javier sementara bocah itu menanyakan ibunya. "Novalin masih memasak, jagoan."
"Ya, padahal Jav lapar banget Dad. Tumben Mommy telat masak Dad."
Komentar itu membuat Saga segera mengalihkan perhatian bocah itu. Dia mengajak putranya ganti baju dan menuju bagian samping rumah. Pengerjaan pencuran waktu itu sudah selesai sekarang Saga malah ingin membuat sebuah peralatan yang baru memanfaatkan teknologi yang ada disekitar mereka.
Sementara di dapur, Novalin mengeluh. Bagaimana bisa mereka lagi-lagi mengulang kejadian semalam hanya karena Saga, yang dia pikir marah terhadapnya, berusaha dia bujuk. Novalin benar-benar merasa dibodohi lelaki itu bukan sekali dua kali.
Beruntung dia ingat kapan waktu puteranya akan pulang sehingga dia segera meminta Saga untuk mengakhiri permainan ranjang mereka. Sekali lagi Saga membuatnya berpikir lebih keras untuk berhadapan dengan puteranya sendiri.
Novalin menghela napas. Tidak ada bedanya. Dulu dia pikir dia sangat takut bila harus jatuh pada pesona suaminya yang kehilangan ingatan. Karena bila Saga mendadak hidup dalam ingatan lamanya maka semua mimpi indah yang tanpa sadar Novalin dambakan akan hancur berantakan. Sekarang, ketika ingatan lelaki itu kembali, dia malah secara sukarela menyerahkan diri pada lelaki itu. Novalin tahu semua spontanitas itu tidak terjadi secara cuma-cuma. Dia jelas menaruh perasaan terhadap Saga. Memungkirinya? Mustahil.
Sekarang tergantung pada lelaki itu. Apakah lelaki itu memang memiliki perasaan yang sama dengannya atau hanya menggunakan dirinya sebagai pemuas semata? Pemuas, rasanya itu terlalu kejam. Novalin cukup ingat bagaimana Saga memperlakukannya. Mereka bukan lagi anak-anak. Dan Saga tidak menyakitinya sama sekali.
"Makanannya sudah?" pertanyaan itu menarik Novalin dari lamunannya.
"Sebentar lagi, Ga." Jawab Novalin sambil menuangkan tumisan sayur ke dalam wadah.
Saga mengangguk. "Butuh bantuan tidak, Javier sudah sangat lapar."
Novalin menghela napas. "Salah siapa memang."
"Aku tidak bermain solo, sayang." Bisik Saga sambil bersiul.
"SAGA!"