David tersenyum bangga mengetahui pasien yang mengunjungi tempatnya praktek sekarang datang seorang diri dan tanpa ditemani orang lain. Itu artinya kemajuannya sangat baik. Setelah diperiksa luka-luka ditubuh Saga sudah sembuh dan hanya menyisahkan bekas-bekas kecil yang akan memudar sendirinya sejalan dengan waktu. David hanya perlu meresepkan beberapa kombinasi salep untuk menyamarkan luka tersebut agar tidak mengganggu pandangan orang lain.
"Ada yang ingin kautanyakan?"
Saga menatap wajah pemeriksanya dengan saksama. "Masih soal ingatanku, apakah aku akan mendapatkannya kembali secara menyeluruh atau aku harus menunggu sampai waktu yang tidak kuketahui?"
David mengangguk. "Aku paham kecemasanmu. Namun sejauh ini, apa ada yang mengganggu kegiatanmu sehari-hari?"
Saga menggeleng sebagai jawaban.
"Kalau memang begitu, kau hanya perlu bersabar. Untuk kasusmu, mendapat kesembuhan seperti sekarang sudah sangat baik. Mungkin kau memang tidak ingat namun saat kesadaranmu masih sebentar hilang sebentar muncul, Novalin sangat takut dan terus-terusan menggangguku."
Saga tersenyum maklum. "Ah, apakah kau juga mengenalku sebelumnya?"
Untuk pertanyaan itu David hanya menghela napas. "Selain fakta bahwa kau adalah salah satu orang penting dipusat kota, aku sama sekali tidak mengenalmu sebelumnya. Kau dibawa kesini dalam keadaan yang cukup stabil namun untuk kesadaran penuh seperti sekarang, tidaklah semudah itu. Aku hanya ingat Novalin mendatangiku dengan membawa sebuah surat rujukan dari rumah sakit sebelumnya dan memintaku untuk membantu memulihkan kondisimu sampai sehat."
"Lantas bayarannya? Mustahil kau hanya menolong cuma-cuma bukan?"
David tidak tersinggung sedikitpun dengan pertanyaan semacam itu. Sejak lama dia mengambil tanggung jawab sebagai seorang tenaga medis sudah barang tentu sering dianggap berbeda oleh penerima layanannya. "Untuk kasus sepertimu, kuakui bayarannya memang beda. Karena surat yang dibawa Novalin juga sudah menjelaskan semua. Tetapi untuk warga di desa, aku memang tidak memungut biaya apapun. Tanyakan saja kalau tidak percaya."
Saga menghela napas sebentar. "Aku tidak perlu minum obat lagi kan?"
David mengangguk. "Untuk sekarang, sepertinya tidak. Namun aku tetap meresepkan obat anti nyeri kalau-kalau sakit kepalamu timbul lagi."
Saga pikir itu tidak ada salahnya. Setelah mengantongi resep tersebut Saga hendak beranjak namun David menahannya lagi. "Kau sudah bicara dengan Novalin. Aku pikir dia sudah memberitahumu tentang rencanaku."
"Memberitahu soal apa?"
David menjelaskan rencananya untuk meminta bantuan Saga bekerja membantu para nelayan disekitar desa. David pikir dengan bekerja, aktivitas Saga akan kembali seperti semula. Novalin memang belum setuju karena khawatir kondisi kesehatannya. Sementara bagi David, Saga harus dibuat kembali melakukan aktivitas yang cukup banyak sehingga dengan demikian dapat memicu ingatannya. Mustahil lelaki itu hanya tinggal dan mengerjakan pekerjaan rumah semata. Sementara dari bentuk fisik Saga cukup unggul.
"Sepertinya itu ide yang bagus. Kapan aku bisa melakukannya?"
David berdeham. "Kau perlu izin Novalin, Ga."
Saga terdiam mendengar itu. "Baiklah aku akan tanya padanya. Nanti akan kuhubungi lagi. Terima kasih." Pamit Saga meninggalkan ruang pemeriksaan yang berlokasi dilantai dasar rumah milik David. Sambil berjalan keluar, Saga memikirkan hal tersebut.
Meminta izin Novalin? Mengapa rasanya terasa ganjil. Apakah karena sekarang mereka sudah bersama, hidup sebagai suami istri sehingga apapun yang dilakukan harus dibicarakan bersama. Saga memang ingat Novalin juga melakukan hal yang sama ketika dia hendak memulai pekerjaannya dipanti. Namun apakah Saga juga berkewajiban melakukan hal yang sama?
^
Suaminya lebih banyak terdiam. Itu membuat Novalin bertanya-tanya apalagi yang salah diantara mereka. Dia mencoba bertanya pada putranya namun jawaban putranya juga sama dengan pikirannya yang buntu. Malah Javier balas bertanya, apakah Daddy-nya memang lebih banyak bicara sekarang? Karena bagi Javier, Daddy-nya itu tidak banyak bicara. Hanya menjawab ketika dia bertanya.
"Ga, makanannya keasinan?"
Saga menoleh dari piring dan menggeleng. "Kenapa?"
Novalin menggangguk dan iseng melirik putranya. Memberi kode agar meninggalkan meja makan. Javier mengangguk dan langsung beranjak menuju bagian teras.
"Apa yang terjadi pas pemeriksaan Ga. Semua baik-baik saja kan?"
Saga menatap Novalin dan mengangguk. "Semua baik-baik saja. Kamu lihat aku sekarang kan?"
"Baiklah. Anggap aja aku yang berlebihan mikirin kondisi kamu." Kata Novalin hendak beranjak namun tangan Saga memegangnya. Novalin berhenti dan memutuskan untuk duduk kembali.
"Hm, David mengusulkanku untuk bekerja ditempat nelayan."
"Kamu tidak setuju? Biar aku yang bicara dengannya."
Saga menggeleng dan menipiskan bibirnya. "Bukan itu yang kupikirkan. Kalau aku bekerja, aku tidak tahu jam kerjanya. Apakah Javier tidak masalah ditinggal sendiri kalau kita semua meninggalkan rumah?"
Novalin mendesah. Cara Saga mengutarakan pemikirannya membuat Novalin merasa lelaki ini semakin banyak mengalami perubahan. Dia sendiri tidak tahu apakah ini benar atau tidak, hanya saja Novalin yakin kali ini Saga terlihat tulus. "Itu bukan masalah Ga. Javier bisa menyusulku ke panti dan menunggu sampai aku selesai dari sana."
Saga menatap Novalin dengan saksama. "Apakah itu tidak merepotkanmu? Aku paham Javier memang bukan anak kandungku namun tetap saja, aku pikir kita harus berbagi tanggung jawab."
Novalin merasa hatinya benar-benar menghangat sekarang. Tidak. Novalin harus segera sadar akan realita. "Tenang saja, Ga. Aku bisa mengatasi semua. Kalau kamu memang ingin segera bekerja, aku tidak akan melarang. Asal kamu tetap sehat." Kata Novalin sambil mengedipkan satu matanya.
Saga tersenyum dan menyentuh telapak tangan istrinya diatas meja. "Kalau kamu bilang begitu, aku oke."
^
Pertama kali Saga mendatangi tempat yang ditunjukkan David, dia mengira dia akan menjadi seorang nelayan dan mengaruhi lautan untuk mencari ikan. Kenyataannya dia bekerja sebagai salah satu bawahan bos yang bertugas mengelola hasil tangkapan nelayan.
Beruntung Saga bisa menyesuaikan diri dengan baik. Meski tidak semudah pemikirannya. Dia harus memanggul tangkapan dalam jumlah besar, membawanya dari perahu di pantai menuju rumah penampungan ikan. Memonitoring jumlah yang masuk dan ikut belajar cara mengatur distribusi ke sejumlah pasar.
Untuk hari pertama itu saja Saga harus bolak balik membantu kuli membawa sepuluh bakul karena cuaca sedang bagus sehingga hasil tangkapan banyak. Bosnya menginstruksikan bahwa posisi Saga untuk sekarang hanya bersifat sementara. Karena keadaan di lautan tidak ada yang dapat memprediksi. Bila hasil tangkapan sedikit maka Saga tidak perlu datang. Karena sudah dipastikan dia takkan diupah. Saga pikir tidak salahnya untuk tetap ikut. Karena dia memang menginginkan pekerjaan tersebut. Sebisa mungkin Saga menggunakan tubuhnya dengan baik. Dia menghindari menggunakan sisi sebelah kiri.
Saga mengangkat memakai tangan kanan namun dia cukup ingat agar menyesuaikan kedua bobot sama rata. Mustahil dalam kondisi demikian, dia ikut melukai bahu kanannya juga. Sebuah pemikiran mendadak melintasi benaknya. Mengapa lukanya hampir sebagian besar pada sisi kirinya. Bila benar dikehidupan sebelumnya dia berurusan dengan mafia maka bukan hal mustahil mereka mengincar jantungnya.
Saga bergidik tanpa sadar. Sepertinya kehidupan dimasa lalunya cukup buruk.
"Saga, ayo kesini." panggilan itu menyentak dirinya dari lamunannya. Dia melanjutkan tugasnya kembali. Pekerjaannya baru kelar saat hari beranjak sore. Saga pamit untuk pulang. Beberapa rekannya ikut membalas sapaannya. Karena mereka masing-masing pulang menuju rumah mereka. Saga menghela napas. Rumah mereka memang terletak paling ujung dibanding rumah-rumah lain. Oleh karena itu mereka sulit mendapat tetangga.
Begitu tiba didepan halaman rumah, Javier sudah menantinya dengan cengiran khasnya.
"Hai Dad."
"Hai jagoan. Apa yang kaulakukan disini?"
Javier terkekeh. "Jav menunggu Dad pulang. Kenapa lama sekali Dad?"
Saga mengacak rambut ikalnya. "Karena hari ini aku sangat sibuk. Bagaimana kalau kita bermain sebentar dipantai?"
Kepala Javier mengangguk setuju. Saga lantas mengganti sepatunya dengan sendal kemudian berlarian mengikuti jejak Javier menuju bibir pantai. Langit sore menjadi pemandangan yang sulit dilewatkan. Saga tak terkira akan mengajak putra tirinya itu bermain bersama. Karena dia pikir, tidak ada yang bisa dibawa dari tempat kerjanya, padahal Javier sudah menantinya. Kelak kalau nanti dia sudah mendapat penghasilan maka dia pasti akan membelikan sesuatu pada putra tirinya tersebut.
"Apa yang Dad pikirkan?"
Saga menoleh dari lamunannya. Javier sudah mencipratkan air laut ke wajahnya. Dia lantas membalas melakukan hal serupa. Tidak peduli dengan tubuhnya yang ikut basah. Keduanya saling kejar-kejaran di sepanjang bibir pantai.
^
Novalin memanaskan air sebelum memindahkannya ke dalam ember besar. Saga sedang menantinya didepan dapur dengan wajah masam. Sudah seharian Saga beraktivitas. Bahkan sempat bermain dengan Javier. Tubuhnya terasa amat kotor dan penuh peluh. Dia ingin segera mandi namun Novalin melarangnya. Bagi Novalin, Saga butuh istirahat sebentar sebelum menyentuh air hangat. Karena Novalin tahu tubuh akan lebih rileks bila mandi air hangat.
Saga tidak bisa mendebat banyak. Pada akhirnya dia setuju dengan kata istrinya tersebut. Novalin bahkan sudah menyiapkan pakaiannya di dalam kamar. Saga akhirnya melangkah ke kamar mandi sementara Novalin beralih tugas mendengar cerita Javier dan membantu mengontrol pekerjaan rumah puteranya.
Saat malam tiba, Novalin menghampiri Saga diranjang. Benar saja, mata lelaki itu sudah terpejam tenang. Novalin menghela napas. Padahal dia baru saja ingin bertanya lebih jauh tentang pekerjaan lelaki itu namun usahanya sia-sia.
Novalin meletakkan kepalanya dibantal dan menatap wajah tenang Saga. Perjalanan yang mereka lalui cukup panjang. Siapa yang menduga akhirnya Novalin akan menjalani kehidupan bersama lelaki yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.
"Apa yang kamu pikirin, Nov?"
Novalin tersentak dengan pertanyaan itu. Dia pikir Saga sudah lebih dulu tidur. Namun yang ada sepasang mata hitam itu mendadak terbuka untuk menatapnya.
"Aku gangguin kamu?"
Saga menghela napas dan malah mengulurkan tangan membiarkan Novalin masuk dalam dekapannya. Entah bagaimana, sejak mereka mulai tidur bersama kadang mereka saling merangkul. Novalin tidak menolak karena dalam pelukan itulah Novalin selalu tahu bahwa hidup mereka memang baik-baik saja.
"Kamu terus menatapku, ada yang mau kamu tanya?"
Novalin mendongak sebentar menatap wajah Saga. "Kamu baik-baik saja?"
Sudut bibir Saga tertarik. "Tentu saja, Nov. Tenang saja. Tapi aku benar lelah sekarang. Jadi sebaiknya kita tidur sekarang."
Novalin mencebikkan bibirnya. "Kita memang harus tidur."
Saga menggosokkan dagunya pada rambut Novalin. "Sekali lagi kamu gangguin aku, kamu akan tahu resikonya."
Entah mengapa kalimat itu langsung membuat Novalin menunduk dan menyembunyikan wajahnya didada suaminya. Saga tersenyum. Tentu saja dia tidak benar-benar mengancam. Mereka sama-sama tahu apa yang terjadi diantara mereka dan untuk sampai pada jenjang yang lebih tinggi dari sekedar pelukan, mereka masih memiliki waktu.
Saga sendiri tidak ingin memaksa. Hubungannya dengan Novalin baru berjalan mulai sekarang. Malam itu mereka tertidur dengan senyum mewarnai bibir mereka.
^
Butuh waktu penyesuaian bagi Saga dalam menjalankan tugasnya. Cuaca sedang bagus sehingga jumlah tangkapan stabil. Hal itu membuat kontrak Saga diperpanjang. Bos senang dengan cara kerja Saga, belum lagi daya ingat lelaki itu yang tajam. Padahal kalau diceritakan, apakah ada yang akan percaya bahwa lelaki itu hidup dengan ingatan masa sekarang dan bukan ingatan lamanya.
"Saga, ada beberapa rombongan dari kota yang akan mendatangi tempat kita. Pastikan ikan segar yang mereka lihat."
Mendengar itu Saga langsung bergerak menuju pada tempat ikan terbaik berada. Dia meminta rekannya berdua untuk melakukan sortir ulang. Kedatangan orang-orang dari kota sudah dipastikan akan membawa keuntungan bagi tempat kerjanya.
Sesuai dengan perkiraan, orang-orang tersebut datang saat hari menjelang siang hari. Saga terpaksa melewatkan jam makan siangnya untuk menemani bosnya menjelaskan tentang keberadaan ikan-ikan milik mereka.
Saga berdiri disebelah bosnya yang sedang menunjuk pada kolam buatan mereka. Diantara orang-orang tersebut, seorang lelaki berpakaian gelap menatap ke arah Saga. Pandangannya tidak berpindah sedikit pun. Hanya saja Saga tidak menyadari karena dia sibuk memindahkan ikan yang diinginkan orang-orang kota tersebut ke dalam bakul tersendiri.
Untuk memutuskan rasa penasarannya orang itu langsung mendatangi Saga.
"Apakah ada yang anda inginkan tuan?" tanya Saga sambil menyiapkan bakul kosong.
"Tuan Saga Decode, anda tidak mengenal saya?"
Pertanyaan itu menyentak Saga. Dia menurunkan bakul dari genggamannya dan malah mengulurkan tangannya. "Mohon maaf, karena suatu kondisi, jadi saya tidak begitu ingat. Apakah anda mengenal saya?"
Lelaki itu berdeham. "Anda tidak sedang bercanda bukan?"
Saga menatap lawan bicaranya dengan bingung. Bagian mana dari penjelasannya yang disebut bercanda. Padahal Saga pikir kalau orang itu mengenalnya dengan baik, mendapat penjelasan singkat seperti itu sudah cukup untuk membuat seseorang memahami keadaannya.
Perasaan waspada mendadak menghampiri benak Saga. Kata-kata istrinya terngiang. Dulu dia sempat berurusan dengan mafia. Apakah lelaki ini adalah salah satu yang mengincarnya? Saga langsung mengalihkan pandangan dan menatap sekeliling. Beruntung bosnya segera mendekat dan lelaki itu langsung dibawa menuju tempat berbeda. Saga mendesah. Dia harus meninggalkan tempat itu tanpa menimbulkan masalah.