Chereads / LEGACY Series / Chapter 9 - KEPINGAN SEMBILAN

Chapter 9 - KEPINGAN SEMBILAN

Antara dua orang yang menjaga jarak, ada godaan yang sukar ditampik

.

.

.

Kepala Javier menengok ke atas, tangannya menengadah. Tetes demi tetes air hujan kembali membasahi bagian belakang rumah mereka. Cuaca memang sedang tidak bersahabat. Sejak berita tentang perubahan iklim dan para nelayan jadi kesulitan mencari makanan dari hasil laut, mereka diingatkan oleh ketua warga terkait kemungkinan pemadaman lampu maupun keterbatasan air bersih. Seakan belum cukup sekarang rumah kecilnya juga kebocoran.

Javier beranjak menuju dapur dan meraih baskom dari sana. Bocah itu beranjak dan meletakkan baskom persis pada titik air hujan menetes.

Novalin baru selesai membereskan kamar mandi menghela napas melihat tingkah putranya. Dimatanya Javier sedang bosan karena tidak diizinkan main diluar rumah semenjak musim hujan tiba.

"Sayang, masuk ke dalam aja dari pada kena hujan juga."

Javier menggeleng dan menunjuk pada perbuatannya. "Rumah kita belum langsung roboh kan Mom?"

Novalin terkekeh, "Belumlah. Lagian kalau mau tampung jangan dari bagian belakang rumah sayang, diatas itu atapnya udah lapuk. Air yang kamu tampung itu keruh nanti tidak bisa dipakai. Mending baskomnya dibawa aja ke teras." Usul Novalin memberi pengertian. Javier memandang ibunya dan genangan yang terkumpul dalam baskom. Semakin lama warna yang tercipta bukan jernih melainkan kekuningan. Javier ikut-ikutan mendesah.

"Ya sudah deh Mom, aku angkat baskom ini tapi lantainya jadi kotor. Lantainya kan dari kayu, kena air terus bisa rusak kan?"

Novalin mengangguk kagum, tak sulit membuat Javier paham. "Gini aja urusan ini biar Mommy yang kerjain. Udah Jav pindahin dulu baskomnya."

Javier akhirnya melakukan apa yang Novalin katakan. Anak itu memindahkan baskom ke depan, namun dia tak lupa mengosongkan isi baskom tadi ke wastafel. Javier melewati ruang tamu. Ada Saga duduk tenang disofa, membaca koran dalam diam. Javier ingin menyapa tetapi dia teringat dengan masalah tadi.

Benar saja ketika kembali Javier menemukan ibunya sedang menaiki kursi untuk menutupi kebocoran atap tersebut.

"Mom, kenapa nggak suruh Daddy saja?"

Tangan Novalin terhenti sesaat. Dia menoleh menatap penasaran diwajah puteranya. "Kalau bisa Mom atasi kenapa harus panggil Daddy sayang. Ini bukan masalah besar kok."

Javier memajukan bibirnya dengan gemas, tangannya dilipat didepan dada. "Justru karena sudah ada Daddy, mestinya biar Daddy yang kerjakan saja Mommy."

Novalin mengigit bibir. Mustahil meminta Saga melakukan tugas rumah tangga semacam ini. Novalin belum mau mencari masalah dengan lelaki itu. "Nggak papa, Jav. Kan Mom pernah bilang jangan manja. Hal ini mudah kok."

Javier menggeleng. "Tapi kan udah ada Daddy, Mom. Mom harus hati-hati kursinya jadi cepat licin tahu."

Novalin tetap melanjutkan tugasnya. Dia hanya perlu memasukan beberapa lembaran kardus lama untuk menahan sementara tetesan air barulah dia keluar untuk memperbaiki dari luar. Mustahil dia mengambil jalan keluar rumah dalam keadaan deru hujan yang terus menyambar bersamaan petir. Javier akan memandorinya secara serius.

"Tenang saja, Mom bisa kok…" belum selesai Novalin menyelipkan potongan persegi kardus tersebut kakinya sudah terselip diatas permukaan kursi yang licin. Tubuhnya melayang tanpa keseimbangan. Jeritan melengking Javier terdengar namun Novalin terkejut. Dia pikir tubuhnya sudah akan memar atau kemungkinan besar patah bila menyentuh ubin kayu. Nyatanya dia malah jatuh dalam dekapan seseorang.

"Saga?"

"Kamu perlu dengerin perkataan anak kamu, Nov."

"Iya Mommy dengerin Daddy."

Wajah Novalin memerah. Bukan hanya karena lengan kokoh Saga yang menahannya dengan sangat tepat namun juga karena puteranya turut membela tindakan tersebut. Benar, itu mencegahnya agar tidak terluka. Tapi satu hal yang mustahil Novalin pungkiri adalah perasaannya sendiri. Ini tidak benar. Lama kelamaan Novalin bisa jatuh dalam pesona lelaki itu. Padahal dia baru saja bersyukur mengingat Saga belum mendapatkan kembali ingatan lamanya. Entah mengapa sisi lain dalam dirinya berdoa, semoga saja ingatan tersebut tak pernah kembali sekalian.

"Biar aku yang urus masalah ini." Kata Saga setelah menurunkan tubuh Novalin perlahan.

"Emang kamu bisa?" Novalin sangsi. Dia cukup tahu siapa Saga sebenarnya.

Satu alis Saga terangkat. "Berapa lama kamu mengenalku?"

"Hore, Daddy bakalan bantuin Mommy. Ayo Mommy biarin Daddy kerja." Teriak Javier semangat. Saga menatap Javier dan mengacak rambut anak itu. Javier kemudian disuruh mengawasi baskomnya didepan rumah. Rupanya semua pergerakan mereka tak luput dari perhatian Saga. Ditinggal Javier, Saga beranjak menuju pintu belakang. Novalin tetap mengekor sampai Saga berbalik.

"Diluar hujan, Novalin. Biar aku saja yang mengurus. Kau tak usah ikut."

Novalin masih enggan tetapi akhirnya menurut. Saga keluar menembusi deru hujan. Meraih tangga dari belakang rumah dan mulai naik menuju atap rumah. Novalin cemas karena selain hujan, angin kencang dan udara dingin benar-benar buruk. Sesekali kilat muncul dan dia cukup sangsi Saga dapat menyelesaikan permasalahan tersebut.

Novalin mengambil payung dan memutuskan untuk menyusul. Pandangannya mencari tubuh Saga ditengah terpaan hujan. Saga melakukan apa yang dapat dikatakannya. Lelaki itu berhasil mengatasi kebocoran itu. Dengan semangat dia bahkan melambaikan tangan kemenangan ke arah Novalin.

Novalin mendesah lega. Menanti lelaki itu beranjak turun. Namun belum sampai ke dasar, kaki Saga terselip pada anak tangga yang licin. Tubuh besarnya jatuh menyentuh tanah berpasir.

"SAGA!!!"

^

Novalin menatap puteranya yang mondar mandir tak tentu. Seakan merasa bersalah Javier perlahan pamit mundur dari kamar ibu dan ayahnya. Tak lupa sebelum menutup pintu bocah itu mengucapkan kata maaf.

Novalin sempat berpikir untuk menjelaskan nanti, hanya saja posisinya sendiri tak mampu bergerak lebih jauh. Sejak terjatuh tadi, Saga tampak sulit untuk bangun kembali. Itu membuat Novalin terpaksa memapah lelaki itu dengan susah payah masuk ke dalam rumah.

Saga mengatakan ingin mandi dan mengganti semua bajunya namun Novalin menggeleng. Keterbatasan air membuat mereka tidak dapat memakai air secara cuma-cuma. Karena itulah Novalin mengusulkan untuk mengganti baju yang basah dan mengelap badannya yang kotor terkena pasir dan air hujan tadi.

"Tapi aku tidak mau tidur dalam keadaan kotor."

Novalin menghela napas. "Keadaan sekarang bukan untuk foya-foya air, Ga. Sudahlah begini saja cukup." Saga berdecih sebelum akhirnya menerima kain pemberian Novalin sementara wanita itu membantunya melepas bajunya. Saga memilih duduk diatas kursi daripada mengotori tempat lain. Novalin mengatakan akan memindahkan kursi tersebut setelah selesai digunakan. Saga memang seorang maniak kebersihan. Dia tahu rumah mereka menjadi lebih bersih bila lelaki itu seorang diri didalamnya.

Novalin bisa membawa lelaki itu ke kamar mandi dan meninggalkannya disana tetapi belum lima menit Saga sudah menjerit mengatakan satu kakinya tidak kuat berdiri lebih lama. Mau tak mau Novalin menyerah dan turun tangan dengan membantunya dikursi.

Saga bergantian mengelap tubuhnya hingga dia merasa sudah cukup bersih. Terkadang Novalin harus membantu membersihkan punggungnya. Selama kegiatan itu berlangsung tak henti-hentinya Saga bicara mengenai pentingnya mandi memakai air bersih.

Novalin berpura-pura tuli tetapi tak sanggup menahan matanya dari pemandangan indah alih-alih membantu lelaki itu. Dada bidang dan perut rata yang terasa amat menggoda. Bagaimana postur itu tetap bertahan padahal mereka sudah tinggal cukup lama dan Saga jarang berolahraga. Apakah dia memang tercipta dari sana dengan bentukan demikian? Kalau itu benar, maka Tuhan boleh dikatakan curang. Memahat seseorang sedemikian sempurnanya. Apalagi orang itu adalah suami sahnya saat ini.

"Oke tinggal bawahannya. Nov sini bentar." Pinta Saga lantas meminjam bahu dan lengan wanita itu untuk menumpu dirinya.

Novalin mendengus. Rasanya seperti merawat Javier dalam versi berbeda usia. Perlahan tangannya dipegang satu tangan Saga sementara lelaki itu mengambil ancang-ancang untuk meraih pundak Novalin.

Belum sempat berhasil berdiri sempurna, kaki Novalin terpeleset akibat tetesan air hujan dari tubuh Saga. Keduanya terjatuh menyentuh lantai. Posisi Novalin dilantai sementara sebagian sisi tubuh Saga menimpanya dari atas.

Novalin pikir selain bokongnya yang nyeri kepalanya juga pasti akan hancur. Namun keberadaan tangan Saga dibelakang kepalanya lagi-lagi menyelamatkannya. Mata Novalin terbuka dan wajah lelaki itu persis diatasnya.

Mereka saling menatap satu sama lain.

Saga merasa tak punya kuasa untuk berdiri sebaliknya dia malah menurunkan kepalanya hingga bibirnya menyapu permukaan bibir lembut milik istrinya. Dia tak percaya ketika wanita itu menerima ciuman tanpa sengaja itu dan imbasnya mereka malah jatuh dalam permainan bibir yang lebih lama.

"Mom, aku sudah memanggil Om David kesini." teriak Javier dari depan pintu kamar mereka. Seperti dua orang terlepas dari sihir mereka langsung saling menjauhkan diri.

^

David menatap kedua orang itu bergantian. Seakan sedang tertangkap basah melakukan sebuah perbuatan kriminal respon kedua orang itu selalu berlainan. David menanyakan bagian mana yang terluka, jawaban pun berbeda.

Saga merujuk pada kakinya yang terasa nyeri, sementara Novalin lebih mengkhawatirkan bahu lelaki itu. Menurutnya patah tulang waktu itu membuat suaminya lebih mudah kehilangan keseimbangan saat membantu mengurus masalah atap.

Saga menatap istrinya dengan gemas. Dia mengatakan keseimbangan berhubungan dengan kaki dan bukan luka lama yang sudah sembuh sejak seminggu lalu.

"Ya sudah, biar aku periksa saja semuanya. Kalian tidak perlu berdebat." Putus David lantas melakukan tugasnya. Javier tetap menanti dari pintu karena dia masih tidak enak dengan ayahnya. Dia pikir ayahnya hanya berusaha menolong. Padahal ayahnya memang baru benar-benar sembuh kurang dari seminggu ini.

Menyadari kecemasan diraut puteranya, Novalin lantas mundur dan membawa puteranya duduk di ruang tengah. "Kenapa sayang?"

"Apakah luka Dad tambah parah? Aku benar-benar tidak tahu Mom."

Novalin tersenyum menenangkan. "Tidak papa, tunggu saja sampai om David selesai periksa. Tapi Mom jamin Dad tidak apa-apa kok."

"Darimana Mom tau, bukannya tadi Mom teriak sangat kencang. Aku pikir, Dad takkan bangun lagi seperti sebelumnya."

Novalin menggeleng. Dia memang sempat panik karena peristiwa tersebut namun dia harus menjelaskan pada putranya tentang kejadian tersebut sehingga putranya tidak perlu merasa ketakutan secara berlebihan.

"Tidak sayang. Tadi Mom hanya kaget. Makanya Mom teriak. Cuman tadi pas dikamar Mom sudah cek, Dad baik-baik saja. Dad takkan tidur panjang lagi sayang, percaya sama Mommy?"

Javier menghela napas, meski belum sepenuhnya yakin bocah itu mengangguk dan menatap ke pintu kamar ayahnya. David keluar setelah melakukan tugasnya. Dia menjelaskan beberapa hal pada Novalin tetapi inti dari semuanya Saga baik-baik saja. Memang kakinya hanya keseleo tapi hal itu tidak sampai fatal. Cedera di bahu juga sudah berkurang intensitas nyerinya karena masa penyembuhan. Saga sendiri meyakinkan kalau perkembangannya sekarang sudah jauh lebih baik dibanding sebelumnya.

"Mom, boleh Jav bicara dengan Dady?"

Novalin mengangguk. Wanita itu kembali mengantar David menuju pintu depan. Javier memutar tubuhnya ke dalam kamar ayahnya. Dia mengintip dan Saga langsung memanggil namanya. Pergerakan bocah itu semudah ibunya, kalau Saga pikir.

"Ada apa?"

Javier mendekat ranjang tempat Saga duduk menyandar. "Aku minta maaf Dad. Aku tidak tahu kalau Dad akan terluka lagi. Tapi Om David sudah baik-baik saja."

Saga menahan senyumnya menyaksikan ketulusan bocah itu. Dia tahu sejak dia mulai sadar kembali hingga saat ini pandangan kekaguman dari mata anak itu tidak berkurang sedikit pun. Padahal sejauh ini Saga merasa tak melakukan sesuatu yang special untuk mereka, dia dan ibunya. Tetapi kehadiran anak itu mau tak mau mendorongnya agar bisa lebih cepat sehat.

"Memang, aku sudah tidak selemah dulu, kakiku akan pulih lagi."

"Yes, Jav senang dengar Dad sudah sembuh lagi."

Seringai Saga hadir. "Tapi untuk sementara ini, aku butuh bantuan kalau melakukan sesuatu…."

"Katakan saja Dad. Aku akan membantu Dad."

"Oke, kalau begitu izinkan aku tidur dengan Mommy mulai malam ini. Biasanya kan, kau selalu ditemani Mommy."

Javier menatap permintaan tersebut dengan bingung. Sejak kecil dia selalu ditemani ibunya. Karena memang dia tidak memiliki siapa-siapa untuk bercerita dengannya. Hanya Novalin yang akan mendongengkan dia sampai dia tertidur lelap.

"Bagaimana?"

Javier masih tetap diam. Saga menghela napas didepannya. Masa dia harus mengalah hanya untuk anak kecil? Ini mustahil. Dia hanya perlu kehadiran ibu anak itu dan ternyata tidak semudah itu mendapatkannya.

"Kalau kau tidak mau artinya…"

"Baiklah Dad."

Saga mengangguk tenang. Dia meletakkan tangannya dikepala Javier. "Itu bagus, karena kau sudah besar. Kalau kau ingin menjadi anakku, maka kau harus cepat besar. Jadi tidur tidak perlu ditemani lagi."

Javier tersentuh dengan perlakuan itu. Namun dia mencoba memahami sesuatu. "Tapi kalau memang sudah besar harus tidur sendiri kenapa Mommy harus tidur dengan Dady?"

Saga menahan napas sebentar. Anak ini kenapa tidak setuju saja tanpa perlu bertanya sana sini. Saga mengintip sekilas ke ujung pintu. Mudah-mudahan Novalin belum kembali. Bukan apa-apa dia hanya pikir jawabannya mungkin takkan mudah disetujui wanita itu.

"Karena Mommy dan Daddy sudah menikah sayang. Tiap orang dewasa yang sudah menikah akan tidur dalam kamar yang sama."

"Kenapa bisa begitu?"

"Karena memang aturannya seperti itu."

Javier semakin semangat mendengarnya. "Aturan dari mana Dad?"

Saga mencoba menimbang sebelum menjawab. Tanpa diketahuinya Novalin sudah mendengar semua pembicaraan mereka. Dia memang sengaja tidak ingin muncul karena dia ingin menilai sejauh mana ingatan Saga sekarang. Apakah dibelakangnya lelaki itu akan diam-diam mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sukar dijelaskan pada putranya.

Kenyataannya sekarang Saga benar-benar akan melakukan perannya sebagai seorang suami. Novalin tidak tahu akan seperti apa dia menghadapinya.